Maka dari itu, Bok Liong menjadi heran sekali ketika ia mengintai dari atas genteng gedung merah bersama Lin Lin, ia melihat bahwa tiga orang pengemis itu mengadakan pertemuan dengan Suma Boan. Hal ini sama sekali tak pernah diduganya.
Suma Boan putera pangeran yang tinggai di An-sui itu berada di sini? Benar-benar di luar dugaannya, yang sejak dahulu berkelana, Bok Liong mengenal siapa adanya Suma Boan, murid It-gan Kai-ong yang lihai.
Akan tetapi ia sama sekali tidak tahu akan rahasia putera pangeran ini. Ia tidak menjadi heran karena Suma Boan berhubungan dengan pengemis, karena guru pemuda bangsawan itu adalah raja pengemis sendiri! Akan tetapi yang membuat ia terheran-heran adalah munculnya pemuda bangsawan itu di gedung merah, karena tadinya ia mengira bahwa tiga orang pengemis itu hendak mengadakan persekutuan atau pertemuan rahasia dengan musuh-musuh Kerajaan Sung. Maka ia kecewa dan memberi isyarat kepada Lin Lin untuk pergi dari situ.
Akan tetapi, sebaliknya wajah Lin Lin menengang ketika ia mengenal Suma Boan. Ia malah memberi isyarat kepada Bok Liong untuk mendengarkan percakapan mereka di bawah, lalu mendekatkan mulut pada telinga Bok Liong sambil berbisik.
"Di rumah dia itulah aku berpisah dengan kedua kakakku."
Mendengar ini, hati Bok Liong tertarik dan ia segera mendekam dan mendengarkan percakapan empat orang itu.
Terdengar Suma Boan bertanya. "Mana Suhu? Kenapa tidak datang dan bagaimana hasilnya dengan surat yang dirampas Hek-giam-lo?"
"Kai-ong-ya tidak berhasil merampas kembali, tapi memberi tahu bahwa surat itu agaknya sudah terampas kembali oleh Siang-mou Sin-ni dari tangan Hek-giam-lo. Sekarang Ong-ya berkenan pergi sendiri menyelidik ke Yu-nan."
"Apa? Suhu mendatangi wilayah Nan-cao?"
"Betul, Kongcu. Pada pertengahan bulan depan, tepat pada bulan purnama, di sana diadakan pesta menyambut hari raya kaum Agama Beng-kauw, sekalian memperingati hari wafat ke seribu dari Kauw-cu (Ketua Agama) yang telah meninggal dunia. Dalam kesempatan ini, tentu saja Kai-ong-ya dapat menghadiri karena para tokoh hitam dan putih semua diterima dengan tangan terbuka oleh Beng-kauw."
"Bagus!" Suma Boan kelihatan girang sekali. "Hanya sayang sekali, kalau Suhu memberi tahu, tentu aku akan ikut ke sana, untuk melihat dan menambah pengalaman."
"Kai-ong-ya berpesan agar Kongcu suka menanti kedatangan Tok-sim Lo-tong yang sudah berjanji akan datang mengunjungi dan sudah siap memberi bantuan untuk menghadapi Suling Emas."
"Hemmm, si keparat itu apakah sudah dapat diketahui Suhu di mana tempatnya kalau ia datang ke kota raja?"
"Menurut Kai-ong-ya, sering kali ia berada di dalam gedung perpustakaan istana."
"Heeeee! Apa itu?" Tubuh Suma Boan berkelebat, diikuti tiga orang pengemis itu yeng sudah melompat keluar dan langsung melayang ke atas genteng.
Kiranya tadi ketika mendengar percakapan di bawah, Bok Liong dan Lin Lin menjadi tertarik sekali. Apalagi ketika nama Suling Emas disebut-sebut, Lin Lin menjadi begitu bernafsu sehingga ia bergerak untuk membuat lubang lebih besar. Karena kurang hati-hati dan hatinya tegang, gerakannya mengeluarkan bunyi dan terdengar oleh telinga Suma Boan yang tajam.
"Keparat, berani kalian main-main di depan Lui-kong-sian?" bentak Suma Boan sambil menerjang maju. Lui-kong-sian atau Dewa Geledek adalah julukannya.
Bok Liong maklum akan lihainya lawan, maka cepat ia memasang kuda-kuda dan menangkis. Dua lengan yang sama kuatnya bertemu dan akibatnya, keduanya terpental melayang dan tentu akan roboh terguling di atas genteng kalau tidak cepat-cepat mereka meloncat turun. Lin Lin yang tahu bahaya, juga mendahului meloncat turun sambil mencabut pedangnya. Baru saja kakinya menginjak tanah, tiga orang pengemis itu sudah menerjangnya dengan tongkat, gerakan mereka cepat dan kuat. Namun Lin Lin sudah memutar pedangnya, tampak sinar kuning bergulung-gulung dari pedang itu menyambut datangnya tiga bayangan tongkat.
Adapun Suma Boan ketika tertangkis oleh lengan Bok Liong, terkejut bukan main dan ia menjadi penasaran. "Siapakah kau? Apa perlunya kau malam-malam datang seperti pencuri?" bentaknya ketika ia sudah berhadapan dengan lawannya di atas tanah. Sayang keadaannya agak gelap sehingga ia tidak dapat mengenal siapa pemuda yang lihai di depannya ini.
"Suma-kongcu, suruh orang-orangmu mundur, dan kami akan segera pergi, tidak akan mengganggumu lagi," kata Bok Liong sambil memandang ke arah pertempuran. Akan tetapi ia tidak khawatir akan keselamatan Lin Lin karena tiga orang pengemis itu telah terdesak hebat oleh sinar pedang kuning yang bergulung-gulung dahsyat.
"Enak saja bicara, berani kau datang untuk memerintahku? Ke nerake kau!" Suma Boan cepat menerjang dengan pukulan-pukulan maut. Keistimewaan pemuda bangsawan ini adalah ilmu pukulan tangan kosong. Tenaganya kuat dan ia memiliki banyak tipu muslihat, juga memiliki beberapa pukulan yang mengandung tenaga beracun. Namun kali ini ia menghadapi lawan yang tangguh, murid seorang sakti pula, maka semua pukulannya dapat dihalau oleh Bok Liong. Karena dia seorang pendekar yang gagah dan memang suka mengadu ilmu, apalagi sudah lama mendengar akan nama besar Lui-kong-sian Suma Boan, Bok Liong juga tidak mau mencabut pedangnya dan melayani lawannya dengan tangan kosong pula. Keduanya sama kuat, sama cepat dan masing-masing mewarisi ilmu-ilmu silat yang tinggi.
Tidak seramai dua orang jago muda ini keadaan Lin Lin dan para pengeroyoknya. Dalam sekejap mata saja, pedangnya telah merobohkan dua orang pengeroyok dan pengemis yang ke tiga lari ketakutan menjauhkan diri! Diam-diam Lin Lin menjadi girang dan juga bangga. Ia pernah dikeroyok orang-orang seperti ini, ketika bersama Bu Sin dan Sian Eng dahulu, dan mereka bertiga amat repot menghadapi pengeroyokan banyak pengemis. Akan tetapi sekarang, biarpun yang mengeroyoknya hanya bertiga, namun dengan pedang curian itu dan dengan ilmu warisan Kim-lun Seng-jin, terasa betapa lemahnya tiga orang pengeroyoknya dan betapa mudah ia merobohkan mereka! Lin Lin menoleh dan melihat Bok Liong masih bertanding hebat dengan pemuda jangkung yang sombong itu.
"Liong-twako, jangan takut, pedangku akan mencabut nyawanya!" seru Lin Lin dan cepat ia menerjang. Sinar kuning berkelebat dan Suma Boan mengeluh sambil membuang diri ke kiri lalu berjungkir balik. Pucat wajahnya karena hampir saja ia menjadi korban sinar pedang yang mengandung hawa dingin seperti es. Ia tadi terlalu memandang rendah. Kiranya selain pemuda lawannya itu hebat, juga gadis itu amat lihai dan ganas ilmu pedangnya.
Lin Lin hendak menerjang lagi, akan tetapi tangannya disambar Bok Liong, ditarik dan pemuda itu berkata, "Moi-moi, mari kita pergi, jangan bikin kacau rumah orang!"
Lin Lin baru teringat bahwa sebetulnya bukan menjadi kehendak mereka bertempur dengan orang-orang itu. Tadi ia terpaksa merobohkan lawan karena ia dikeroyok. Sekarang, apa perlunya bertanding terus? Ia tidak bermusuhan dengan pemuda bangsawan itu. Malah pemuda itu telah berjasa dalam menyebut-nyebut Suling Emas tadi. Ia tahu sekarang ke mana harus mencari Suling Emas, musuh besarnya. Ke kota raja. Di dalam gedung perpustakaan istana! Hatinya girang mengingat akan hal ini dan ia cepat meloneat pergi bersama Bok Liong, menghilang ke dalam gelap. Suma Boan tidak mengejar. Pemuda bangsawan ini cukup cerdik dan hati-hati. Dua orang itu lihai, dan belum ia kenal siapa mereka. Tiga orangnya telah roboh, mengapa ia harus mengejar tanpa bantuan yang kuat?
Setelah berlari jauh meninggaikan kota Pao-teng, Bok Liong dan Lin Lin berhenti untuk mengatur napas. "Wah, untung kebetulan It-gan Kai-ong tidak berada di sana bersama Suma-kongcu. Kalau ada, bisa berbahaya tadi. Sama sekali tidak kuduga bahwa gedung merah itu milik Suma Boan," kata Bok Liong.
"Aku tidak takut! Biar ada jembel tua bangka setengah buta itu aku tidak takut dan akan melawannya mati-matian!" seru Lin Lin dengan suara gagah.
"Kau memang hebat, Lin-moi. Memang tenaga kita digabung menjadi satu, belum tentu si tua dapat berbuat sekehendak hatinya. Tapi Suma Boan itupun tak boleh dipandang ringan. Dia lihai....." Bok Liong menggeleng-geleng kepala dan ia maklum bahwa kata-katanya ini hanya untuk mencegah agar Lin Lin tidak menjadi marah. Padahal ia tahu benar bahwa mereka berdua bukanlah lawan It-gan Kai-ong. Melawan Suma Boan saja, baru seimbang dengan kepandaiannya. Pemuda bangsawan itu harus ia akui amat hebat ilmu pukulannya. Tadi pun ia sudah kewalahan dan hampir mencabut pedangnya kalau saja Lin Lin tak segera maju membantunya.
"Liong-ko, sekarang kita harus kembali ke kota raja. Suling Emas berada di sana, di dalam gedung perpustakaan istana. Wah, kali ini dia tidak akan dapat terlepas dari tanganku!"
Bok Liong mengangguk-angguk. "Memang kurasa kali ini kita akan dapat bertemu dengannya. Akan tetapi sebelumnya, kuminta kepadamu, Lin-moi. Jangan kau terburu nafsu dan lancang menyerangnya kalau kita bertemu dengannya. Aku yang akan bicara dengannya, dan aku dapat mengajukan pertanyaan yang akan memaksanya mengaku apakah dia membunuh orang tua angkatmu ataukah tidak. Tak boleh sembrono dan lancang terhadap seorang seperti dia."
"Aku tidak takut!"
"Memang kau tidak takut, Moi-moi, akan tetapi bagaimana kalau penyeranganmu itu salah alamat? Bagaimana kalau ternyata dia itu tidak berdosa? Bukankah kau menyerang orang yang tidak bersalah kepadamu dan kalau terjadi demikian maka berarti kaulah yang bersalah kepadanya?"
"Baiklah, baiklah, aku akan menutup mulut dan mau menyerahkan urusan kepadamu. Asal aku segera bertemu dengannya dan mendapat kepastian, baru aku puas, Twako."
Bok Liong tersenyum. Ia khawatir kalau-kalau sahabat barunya ini marah dan mengambul. "Marilah, Moi-moi. Kau suka melakukan perjalanan malam begini?"
"Biar malam udara terang, lihat bulan tersenyum di atas tuh!"
Akan tetapi Bok Liong tidak memandang bulan, melainkan memandang wajah yang tengadah, wajah yang baginya lebih daripada bulan sendiri!
"Kau tidak lelah dan ngantuk nanti?"
Lin Lin menggeleng kepala. Maka berangkatlah dua orang muda itu, berjalan kaki di bawah sinar bulan, berendeng mereka berjalan. Bagi Lin Lin, hal ini adalah biasa saja dan tidak mendatangkan perasaan apa-apa. Ia merasa seperti berjalan di samping Bu Sin. Terhadap Bok Liong ia mempunyai perasaan persaudaraan yang tebal dan menganggap pemuda ini seperti kakaknya sendiri. Tentu saja tidak demikian apa yang berkecamuk di dalam rongga dada Bok Liong. Suasana romantis ini mendorong-dorong hasratnya, menekan-nekan hatinya dan membakar darahnya, membuat ia ingin sekali menjatuhkan diri berlutut di depan Lin Lin menyatakan cinta kasihnya yang berkobar-kobar menghanguskan jiwanya. Ingin ia memegang jari-jari tangan yang kecil halus itu. Ingin ia mendekap kepala dengan wajah cantik dan rambut hitam halus harum itu ke dadanya, ingin membisikkan sumpah cinta,ingin ia.... ingin....
"Plakkk!"
"Eh, ada apa, Twako?" Lin Lin berhenti dan menoleh ke samping, memandang heran kepada pemuda yang baru saja menempiling kepala sendiri itu.
Bok Liong sadar, kaget dan gugup. "Oh.... eh.... tidak ada apa-apa, ada nyamuk tadi menggigit pelipisku," jawabnya. Untung bayang-bayang pohon menyembunyikan sinar bulan dari mukanya yang menjadi merah sekali.
"Kau bikin kaget orang saja. Masa menepuk nyamuk di pelipis sendiri begitu kerasnya?" Lin Lin mengomel karena tadi ia dikagetkan daripada lamunannya. Sambil berjalan ia pun melamun, teringat akan cerita Kim-lun Seng-jin akan keadaan dirinya. Betulkah ia seorang Puteri Khitan? Ia seorang puteri, keturunan langsung dari Raja Khitan? Inilah yang ia lamunkan dan ia seperti melihat dirinya dengan pakaian puteri yang indah sekali, berada di dalam gedung istana seperti yang pernah ia lihat bersama Kim-lun Seng-jin, disembah-sembah ribuan orang! Apalagi kalau ia yang menjadi ratu dari bangsa Khitan, ia akan.... akan apakah dia? Inilah yang baru ia pikir-pikir dan rencanakan dalam alam lamunannya ketika tiba-tiba Bok Liong menempiling kepala sendiri dan mengagetkannya serta menariknya turun daripada angkasa ke alam sadar.
"Sayang tidak ada kuda. Kalau kudaku masih ada, kau dapat naik kuda, Lin-moi, dan tidak terlalu lelah."
"Kenapa kaujual kudamu kalau begitu?"
Bok Liong menghela napas. "Perlu dijual.... perlu sekali.... saku sudah kosong, apa daya?"
Lin Lin menggerakkan tangan, sejenak menyentuh lengan pemuda itu.
"Aku tahu. Kau terpaksa menjualnya untuk membelikan sarung pedangku ini dan untuk makan dan sewa kamar, untuk biaya-biaya perjalanan, bukan? Liong-ko, kau orang baik."
Hati Bok Liong berdenyut-denyut girang, akan tetapi ia pura-pura mendengus.
"Ah, yang begitu saja, mana patut diomongkan? Pula, dua orang melakukan perjalanan hanya dengan seekor kuda, canggung sekali. Kita berdua sudah sejak kecil berlatih ilmu lari cepat, untuk apa? Kalau kita mau, kita tidak akan kalah oleh larinya seekor kuda." Mereka tertawa dan melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap.
***
Kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Lie Bok Liong yang melakukan perjalanan malam menuju ke kota raja karena Lin Lin sudah tidak sabar lagi menanti untuk segera dapat bertemu dengan orang yang dianggap musuh besarnya, yaitu Suling Emas. Mari sekarang kita menengok keadaan Sian Eng, gadis yang mengalami hal yang amat menyeramkan hatinya itu.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sian Eng tadinya berhasil melarikan diri dari tempat rahasia di bawah kuburan yang menjadi tempat tinggai Hek-giam-lo, yaitu pada saat Hek-giam-lo bertempur melawan Siang-mou Sin-ni yang datang menyerbu untuk minta dikembalikannya surat rahasia. Akan tetapi malang baginya, di dalam sebuah hutan, selagi ia merasa lega dan mengira telah terlepas daripada cengkeraman iblis itu, tiba-tiba si iblis itu sendiri muncul di depannya, Hek-giam-lo telah berada di situ, seakan-akan telah lebih dulu datang dan sengaja menanti kedatangannya. Ia berusaha menyerang, namun apa dayanya terhadap Hek-giam-lo yang sakti? Di lain detik ia sudah pingsan dan dipondong Hek-giam-lo, kemudian dibawa lari secepat terbang! Kali ini si kedok iblis itu berlaku amat teliti, tak pernah memberi kesempatan sedikit pun juga kepadanya untuk dapat melepaskan diri daripada pengawasannya. Hek-giam-lo bersikap amat menghormat kepadanya, menyebutnya tuan puteri, akan tetapi di samping sikap menghormat ini terbayang sifat memaksa yang tak dapat dibantah lagi. Memaksa agar Sian Eng ikut dengannya dan mentaati segala permintaannya. Akhirnya gadis ini maklum bahwa tak mungkin ia mampu membebaskan diri lagi, maka ia juga tidak lagi mencoba. Selama iblis ini tidak mengganggunya dan memperlakukannya dengan sikap menghormat dan baik-baik, ia pun menurut saja dan hendak melihat apa yang akan terjadi selanjutnya dan ke mana ia akan dibawa.
"Hek-giam-lo, sudah berkali-kali kunyatakan bahwa aku bukanlah puteri raja seperti yang kau sebut-sebut. Aku she Kam, namaku Sian Eng. Kau salah lihat, karena itu harap jangan ganggu aku, biarkanlah aku pergi." Berkali-kali gadis itu mencoba dengan bujukannya ketika mereka berjalan melalui sebuah bukit yang sunyi.
Hek-giam-lo memang pendiam dan tak banyak ia bicara selama dalam perjalanan, sungguhpun ia amat memperhatikan keperluan Sian Eng dan tak pernah terlambat untuk mencarikan makanan dengan pelayanan penuh hormat. Permintaan berkali-kali dari Sian Eng hanya dijawabnya singkat, "Paduka puteri raja kami, memang sejak kecil diambil anak oleh Jenderal Kam." Hanya demikian jawabnya dan selanjutnya ia tidak mau bicara lagi.
Melalui perjalanan yang amat cepat, kadang-kadang Hek-giam-lo memondong dan membawanya lari seperti terbang setelah minta maaf lebih dulu, mereka menuju ke arah timur laut dan pada suatu hari tibalah mereka di daerah yang jauh dari kota, daerah penuh hutan yang amat liar. Kemudian, di tengah-tengah daerah ini, tibalah mereka di sebuah rumah perkampungan dengan rumah-rumah yang kelihatan baru. Inilah perkampungan baru yang dijadikan pusat suku bangsa Khitan, terletak dalam sebuah hutan liar dikelilingi hutan-butan kecil di antara gunung-gunung di perbatasan Mancuria!
Dapat dibayangkan betapa heran dan berdebar hati Sian Eng ketika Hek-giam-lo berteriak-teriak dalam bahasa yang ia tidak mengerti, para penyambut menjatuhkan diri berlutut di sepanjang jalan yang mereka lalui.
"Tengoklah, Tuan Puteri, rakyat kita memberi hormat kepada Paduka," kata Hek-giam-lo, nada suaranya gembira.
Sian Eng melihat orang-orang kasar yang bertubuh tegap dan kuat, wanita-wanita cantik tapi sederhana, juga terdapat sifat-sifat gagah pada para wanita yang berlutut di pinggir jalan itu.
"Kita sekarang ke mana, Hek-giam-lo?"
"Mari menghadap Sri Baginda, Paman Paduka."
"Pamanku?" Sian Eng tidak mendapat jawaban, terpaksa ia berjalan mengikuti Hek-giam-lo yang menuju ke sebuah rumah besar di tengah-tengah perkampungan itu. Di depan rumah besar ini terdapat banyak penjaga, laki-laki berpakaian perang yang kelihatan gagah dan kuat, dengan tombak di tangan dan golok besar di pinggang. Mereka berbaris rapi dan memberi hormat dengan tegak ketika Hek-giam-lo dan Sian Eng lewat. Juga di dalam rumah, di sepanjang lorong, berbaris pasukan pengawal. Kiranya dalam rumah besar itu yang dari luar kelihatan sederhana, sebelah dalamnya amat mewah. Bendera-bendera kecil berkibar di mana-mana, bermacam-macam warnanya. Ketika mereka sampai di ruangan sebelah dalam, pasukan pengawal berganti, kini pasukan wanita yang cantik-cantik dan gagah serta bersinar mata tajam! Namun, baik pasukan laki-laki maupun wanita, semua kelihatannya amat takut dan menghormat Hek-giam-lo.
Melalui pelaporan seorang penjaga yang seperti raksasa wanita, besar dan bengis, mereka diperkenankan memasuki ruangan besar di mana telah menanti seorang laki-laki tampan berpakaian indah, duduk di atas sebuah kursi atau singgasana terbuat daripada gading. Laki-laki ini usianya kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan bermata tajam.
Hek-giam-lo yang menuntun Sian Eng masuk, berkata singkat, "Tuan Puteri, harap memberi hormat kepada Sri Baginda, Paman Paduka." Ia sendiri lalu menjatuhkan diri berlutut dan terdengar suaranya nyaring.
"Hamba datang menghadap, dengan berkah Sri Baginda, hamba berhasil mendapatkan Tuan Puteri yang sekarang ikut menghadap Sri Baginda."
Laki-laki itu ternyata adalah Raja suku bangsa Khitah yang bernama Kubukan. Ia memandang wajah Sian Eng penuh perhatian. Sian Eng yang tidak sudi berlutut, mengira bahwa raja yang tampan ini tentu akan marah karena ia tidak mau memberi hormat, akan tetapi kiranya tidak demikian. Raja itu memandang dengan sinar mata kurang ajar, kemudian tertawa bergelak dan berkata kepadanya dalam bahasa Han yang cukup lancar.
"Nona, marilah mendekat, biarkan aku memeriksa cermat apakah kau benar keponakanku ataukah palsu."
Sian Eng melangkah maju sampai berada dekat dengan raja itu sambil berkata, "Hek-giam-lo tahu bahwa aku bukan keponakanmu. Sudah kuberitahukan berkali-kali tapi ia nekat saja membawaku ke sini. Siapa pun adanya kau, harap kau suka berlaku murah dan bebaskan aku."
Raja itu memandang lagi penuh perhatian, kemudian tertawa sekali lagi. Dari mulutnya berhamburan bau arak yang keras. "Ha-ha-ha, semua orang mengaku keponakanku, ha-ha. Alangkah inginku dapat memeluk keponakanku, dapat meraba lehernya yang halus. Untung kau bukan keponakanku, Nona, kau cukup cantik jelita. Ha-ha, untung....!" Sian Eng terkejut sekali dan ia sudah merasa ngeri ketika kedua tangan raja yang berbulu lengannya itu bergerak hendak merabanya.
Akan tetapi pada saat itu Hek-giam-lo berkata dalam bahasa Khitan yang tak dimengerti Siang Eng, "Sri Baginda, kali ini tidak bisa salah lagi. Dia itu adalah anak Jenderal Kam. Sayang Jenderal Kam sendiri sudah mampus ketika hamba sampai di sana. Hamba mendengar bahwa anak-anaknya pergi ke kota raja, maka hamba menyelidiki dan berhasil menangkap anak perempuannya ini. Tak salah lagi, dia adalah puteri mendiang Tuan Puteri Tayami."
"Hek-giam-lo, apa yang menyebabkan kau yakin benar bahwa dia ini betul-betul keponakanku? Sudah ada dua orang gadis yang dibawa datang dan perwira-perwira yang membawanya bersumpah bahwa mereka adalah keponakanku. Tapi ternyata bukan. Kau boleh lihat mereka, biarpun mereka berdua itu jauh lebih cocok menjadi keponakan yang kucari-cari daripada gadis ini, toh mereka itu bukan keponakanku!" Raja memberi tanda dengan tepukan tangan dan tak lama kemudian dua orang gadis digiring masuk. Dua orang gadis yang cantik jelita akan tetapi wajah mereka pucat dan di kedua pipi yang halus tampak bekas air mata. Mereka ini berdiri di depan raja dan menundukkan muka.
"Ha-ha-ha, mereka ini keponakanku? Akan tetapi biarpun bukan, kedatangan mereka sedikit banyak menyenangkan hatiku, biarpun hanya untuk beberapa malam. Hek-giam-lo, gadis yang kaubawa ini bukanlah puteri Kakak Tayami."
"Tapi Sri Baginda...."
"Kau mau bukti? Dengar, ketika masih bayi, pernah kulihat keponakanku itu. Pada punggungnya terdapat sebuah tanda merah. Coba kita periksa bersama!" Ia memberi isyarat dan tiba-tiba Hek-giam-lo menggerakkan tangannya. Tahu-tahu ia telah memegang senjatanya yang hebat, yaitu sabit bengkok yang amat tajam itu.
Sinar berkilauan menyambar-nyambar, Sian Eng menjerit ngeri karena merasa betapa tubuhnya dikurung sinar berkilauan. Kemudian, hampir ia roboh pingsan ketika mendapat kenyataan bahwa pakaiannya telah terbang ke kanan kiri disambar sinar itu dan beberapa detik kemudian ia telah menjadi telanjang bulat!
Dapat dibayangkan betapa malu dan marahnya Sian Eng. Ingin ia berlaku nekat dan menerjang mengadu nyawa, akan tetapi rasa malu karena keadaannya yang telanjang itu membuat ia kehilangan tenaga, malah ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan setengah bertiarap di atas lantai untuk menyembunyikan tubuhnya. Tentu saja dengan berbuat demikian, punggungnya tampak jelas dan raja bersama Hek-giam-lo melihat jelas kulit punggung yang putih bersih tiada cacad sedikit pun!
"Ha-ha-ha-ha, kaulihat, Hek-giam-lo? Dia bukan keponakanku, sayang seribu sayang. Tapi lumayan juga, dia cantik manis!"
"Ampun, Sri Baginda. Hamba telah berlaku ceroboh." terdengar Hek-giam-lo berkata, suaranya gemetar penuh sesal.
"Tidak apa, kaucarilah lagi. Gadis ini pasti akan menyenangkan hatiku. Eh, Nona, kau berdirilah." Sian Eng terkejut sekali ketika merasa betapa pundaknya diraba orang yang hendak menariknya berdiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Fiksi UmumBu Kek Siansu adalah sebuah karakter khayalan hasil karya Kho Ping Hoo, dan merupakan serial bersambung terpanjang terbaik di samping seri Pedang Kayu Harum (Siang Bhok Kiam). Ia dikisahkan pada masa kecilnya disebut Anak Ajaib (Sin Tong) karena dal...