Jilid 10

4.4K 52 2
                                    

Dengan amat tekun dan rajin Lin Lin menghafalkan ilmu yang tertulis pada tiga belas helai kertas tipis yang ia da­patkan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw itu. 

Memang segala sesuatu sudah menjadi takdir Tuhan. Ketika masih hi­dup, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sengaja menciptakan tiga belas jurus ilmu silat sakti ini yang merupakan inti sari dari­pada isi tiga buah kitab pusaka Sam-po-cin-keng, bahkan dipilih jurus-jurus yang dapat mengatasi isi kitab itu, kare­na ketika menciptakan ilmu ini, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan memang bermaksud untuk menurunkannya kepada Beng-kauw untuk menghadapi puterinya yang murtad. 

Dengan demikian, ilmu ini ia tinggalkan untuk Beng-kauw. Akan tetapi, biarpun sudah lama tongkat pusaka yang dijadi­kan tempat penyimpanan wasiat ini ber­ada di tangan Liu Mo ketua Beng-kauw yang baru, namun belum pernah dapat ditemukan oleh Liu Mo atau tokoh Beng-kauw yang lain. Sekarang, tanpa disengaja sama sekali, Lin Lin dapat menemukan wasiat ini dan mempelajarinya. Bukankah ini jodoh namanya?

Karena ia termasuk seorang anak yang cerdas, Lin Lin segera dapat meng­hafal wasiat ini di luar kepala, dan ia dapat menduga bahwa ilmu mujijat ini tak boleh sekali-kali diketahui orang lain. Maka setelah ia hafal benar, yaitu se­lama lima belas hari di atas perahu, ia segera merobek-robek tiga belas helai kertas tipis itu dan menebarkan sobekan-sobekan kecil ke sungai.

"He, apakah itu?" bentak Hek-giam-lo dan tubuhnya tahu-tahu sudah berada dekat Lin Lin. Betapapun juga, iblis hi­tam ini merasa curiga karena selama setengah bulan ini, Lin Lin tak pernah keluar, juga tidak pernah memperdengar­kan protes atau memperlihatkan sikap rewel. Kini tiba-tiba gadis itu keluar dan menebarkan potongan-potongan kertas banyak sekali ke sungai.

Akan tetapi ia terlambat mencegah atau memeriksa karena potongan-potongan kertas yang amat kecil-kecil itu sudah melayang-layang ke permukaan sungai, seperti kupu-kupu terbang melayang lalu hingap di atas air. Hek-giam-lo merasa penasaran, tubuhnya berkelebat dan ba­gaikan seekor kelelawar besar, tubuhnya melayang ke permukaan air, tangannya menyambar dan dengan gerakan kedua kakinya, tubuh itu membalik kembali ke atas perahu. Beberapa potongan kertas berada di tangannya.

Diam-diam Lin Lin kagum bukan main. Benar-benar sakti Hek-giam-lo ini dan merupakan lawan yang berat sekali. Ia harus berhati-hati dan tidak boleh sem­brono, biarpun sudah memiliki hafalan ilmu mujijat yang ia dapatkan dari dalam tongkat pusaka Beng-kauw. Dengan se­pasang mata bersinar penuh ejekan ia memandang Hek-giam-lo yang sudah melihat potongan-potongan kertas itu. Lin Lin tadi sudah berlaku hati-hati sekali sehingga kertas yang dirobek-robek itu hanya merupakan potongan sebesar ibu jari. Memang ada satu dua huruf di tiap potongan kertas, akan tetapi apa arti­nya? Dan untuk dapat mengumpulkan potongan-potongan kertas itu serta me­masangnya kembali seperti semula, tak mungkin dapat dilakukan orang!

"Apa ini....?" Hek-giam-lo meneliti potongan-potongan kertas itu, menoleh ke arah Lin Lin dengan perasaan ingin tahu sekali.

"Kenapa kau tidak mau menduga-duga? Coba terka. Hek-giam-lo, kau yang terkenal sebagai seorang di antara Enam Iblis, sakti dan cerdik, masa tidak bisa menduga apa adanya surat yang kurobek-robek menjadi potongan-potongan kecil itu?" Suara Lin Lin mengejek dan mem­permainkan karena setelah ia menguasai ilmu itu, timbul kembali kejenakaan dan kelincahannya.

"Tuan Puteri, harap jangan main-main! Hamba telah diberi tugas oleh kaisar untuk menjaga Tuan Puteri dan membawa Paduka sampai ke Khitan dengan selamat. Sebagai calon ratu, Tuan Puteri harus hamba jaga teliti dan tidak boleh sekali ada rahasia. Surat apakah, tadi?"

Lin Lin tersenyum, matanya mengerling penuh ejekan. "Kiranya Hek-giam-lo yang terkenal cerdik itu tidak dapat menduga? Hemmm, kalau kau memang amat ingin mengetahui, bolehlah kuberi tahu. Surat yang kurobek-robek tadi adalah surat dari.... kekasihku. Nah, puaskah kau? Jangan kau ingin tahu apa isinya. Rahasia dong!" Lin Lin bersikap nakal dan mempermainkan sehingga diam-diam Hek-giam-lo mendongkol juga.

"Paduka maksudkan surat dari Lie Bok Liong pemuda tolol itu?"

Lin Lin menghela napas panjang dan seketika ia menghampiri pinggir perahu dan pandang matanya mencari-cari ke tepi pantai. Disebutnya nama pemuda itu mengingatkan ia akan penderitaan Bok Liong yang mati-matian membelanya.

"Bukan, bukan dia. Liong-twako ada­lah seorang yang amat baik, gagah per­kasa dan ia amat mencintaku. Akan tetapi bukan dia...." Mulutnya tidak melanjutkan kata-katanya, akan tetapi hati­nya berbisik, "Bukan dia orang yang merampas hatiku, bukan dia orang yang kucinta...."

"Kau mencari dia?" kini suara Hek-giam-lo yang penuh ejekan sehingga Lin Lin terkejut sekali. Selama setengah bulan ia bersembunyi di dalam perahu saja. Bagaimana jadinya dengan Bok Liong? Jangan-jangan pemuda yang nekat itu menyerbu lagi dan dibunuh oleh Hek-giam-lo.

"Di mana dia? Kauapakan Lie Bok Liong twako?" bentaknya dengan mata terbuka lebar.

"Paduka cukup cerdik, mengapa tidak menduga sendiri?" Kini Hek-giam-lo yang mengejeknya.

Lin Lin membanting-banting kakinya. "Hek-giam-lo, aku tahu kau seorang iblis yang tidak segan-segan melakukan segala macam kejahatan di dunia ini, akan tetapi aku pun tahu bahwa kau terlalu sombong untuk bersikap pengecut dan membohong terhadap seorang gadis cilik macam aku! Nah, apakah kau telah mem­bunuh Lie Bok Liong?"

Hek-giam-lo menggeleng kepalanya. "Orang macam dia, perlu apa aku mem­bunuhnya? Dia sudah mau mampus dan sekarang tentu sudah mampus kalau saja gurunya, pelukis sinting itu tidak da­tang dan membawanya pergi."

Berseri wajah Lin Lin. "Apa kaubilang? Empek Gan datang? Tentu kau telah dipukulnya? Mengapa dia tidak membunuhmu?"

Hek-giam-lo mendengus marah. "Badut tolol itu mana berani? Dia datang mem­bawa pergi muridnya, tergesa-gesa dan ketakutan."

"Kau bohong, aku tidak percaya!"

Hek-giam-lo hanya mengangkat bahu, lalu membalikkan tubuh meninggalkan Lin Lin ke kepala perahu. Lin Lin menoleh ke sana ke mari, akan tetapi pandang mata para anak buah perahu yang mentertawakannya membuat ia gemas dan dengan marah ia kembali memasuki bilik perahu. Hatinya panas dan ingin ia mem­berontak dan pergi dari perahu. Akan tetapi ia tidak bodoh. Ilmu baru yang didapatnya belum terlatih masak-masak, pula di atas perahu tidak berani ia sembarangan bergerak. Sekali perahu diguling­kan sehingga ia terjatuh ke dalam air, ia takkan dapat melawan pula. Ia harus bersabar dan menanti kesempatan baik.

Dengan makin tekun Lin Lin mulai melatih diri, siang malam ia melatih diri. Bukan main girang hatinya ketika pada setiap gerakan pukulan, terasa ada angin pukulan yang antep dan dahsyat menyambar keluar dari tangannya yang terbuka. Dinding bilik perahu sampai berguncang dan hal inilah yang membuat Hek-giam-lo menjadi curiga sekali dan malam itu, menjelang subuh, men­dadak Hek-giam-lo membuka pintu bilik dan menerobos masuk.

Baiknya ketika itu Lin Lin sudah melatih jurus yang ke sembilan. Jurus ini dilakukan dengan duduk, merupakan pu­kulan jarak jauh yang dilakukan sambil duduk. Pukulan kedua tangan itu merupa­kan gerakan lingkaran sehingga angin pukulannya memutari tubuhnya dapat menghantam lawan yang berada di mana­pun juga tanpa mengubah kedudukan tubuh yang duduk. Untuk melatih jurus ini, Lin Lin duduk di atas pembaringannya, maka ketika tiba-tiba pintu biliknya terbuka, ia tidak menjadi gugup, melainkan menghentikan pukulan-pukulannya dan bersikap seperti orang bersamadhi, sikap yang sudah lajim dilakukan oleh ahli-ahli silat tinggi apalagi waktu menjelang subuh adalah waktu terbaik untuk bersamadhi.

Melihat "tuan puteri" itu duduk ber­samadhi, sama sekali tidak bergerak, Hek-giam-lo tidak berani mengganggu. Akan tetapi getaran-getaran pada din­ding bilik sekarang berhenti. Makin curi­galah iblis itu. Ia menutup pintu bilik dan melompat keluar, menyelidik di sekeliling perahu, bahkan ia menyelidiki ke darat. Akan tetapi ia tidak menemukan sesuatu.

Kecurigaan Hek-giam-lo ini yang mengganggu latihan Lin Lin. Pada ke­esokan harinya, secara mendadak Hek-giam-lo menghentikan perahu, lalu meng­ambil keputusan untuk melakukan per­jalanan ke utara melalui darat! Hek-giam-lo sudah timbul curiga, tidak ha­nya pada diri Lin Lin, melainkan curiga kalau-kalau ada orang pandai yang hendak merampas Lin Lin dan tongkat pu­saka Beng-kauw daripadanya. Hal ini mungkin saja, apalagi setelah muncul Gan-lopek yang membawa pergi muridnya dari pantai.

"Aku tidak mau melakukan perjalanan di darat!" Lin Lin membentak marah. "Lebih enak melalui air, tidak lelah dan dapat tidur nyenyak!"

"Tidak bisa, Tuan Puteri. Air sungai ini akan membawa kita ke laut, sedang­kan Khitan letaknya bukan di laut. Kita harus mendarat sekarang juga. Jangan khawatir, untuk Paduka, hamba akan menyediakan seekor kuda yang baik."

Tentu saja keberanian yang diajukan oleh Lin Lin ini hanya pura-pura belaka. Sesungguhnya ia ingin melakukan per­jalanan dengan perahu agar ia leluasa melatih ilmunya. Dengan perjalanan melalui darat, ia akan kelihatan terus, di bawah pengawasan Hek-giam-lo dan tentu saja tidak akan ada kesempatan untuk berlatih.

Namun Lin Lin cukup cerdik untuk membantah terus karena hal ini tentu akan menimbulkan kecurigaan. Selain itu, biarpun ia kini tak mungkin dapat berlatih lagi, namun terbukalah kesempatan baginya untuk melarikan diri, sungguhpun ia takkan sembrono melakukan hal ini kalau tidak mendapatkan kesempatan yang baik.

Kesempatan ini tak pernah ia dapat­kan karena Hek-giam-lo selalu menga­walnya sendiri dengan hati-hati dan teliti sekali. Ia diberi seekor kuda pilihan yang baik sedangkan Hek-giam-lo berjalan cepat di belakangnya. Lin Lin cukup maklum bahwa melarikan kudanya itu akan percuma, tidak saja di situ ter­dapat banyak kuda-kuda yang cepat, akan tetapi juga orang sakti macam Hek-giam-lo tak mungkin dapat ditinggal lari di atas kuda. Untuk nekat melarikan diri dan melawan, akan sia-sia belaka dan akibatnya hanya membuat perlakuan mereka terhadapnya kurang baik. Kini biarpun ia merupakan seorang setengah tawanan, namun mereka, bahkan Hek-giam-lo sendiri, selalu bersikap menghor­mat. Ia selalu diberi hidangan yang lezat dan selalu diperhatikan keperluannya.

Beberapa pekan kemudian, pada suatu sore, tibalah mereka di perbatasan yang menjadi wilayah bangsa Khitan. Suku bangsa Khitan adalah bangsa perantauan di sebelah utara, sering kali berpindah wilayah sesuai dengan keadaan dan mu­sim. Mereka terkenal sebagai bangsa yang gagah berani dan pandai menung­gang kuda, pandai melakukan perang.

Hek-giam-lo menghentikan rombongan­nya dan menyuruh orang-orangnya men­dirikan kemah di tempat itu, yaitu di sebuah padang rumput yang luas. Ia sendiri lalu menunggang kuda untuk menga­barkan kepada rajanya tentang kedatang­an Puteri Yalina! Pada waktu itu, karena tekun mempelajari bahasa bangsanya, sedikit-sedikit Lin Lin sudah pandai ber­bahasa Khitan. Memang ada hubungan darah, maka bahasa ini baginya amat mudah dipelajari. Maka ia mengerti akan perintah Hek-giam-lo dan terbukalah kesempatan baik baginya. Hek-giam-lo pergi meninggaikan rombongan itu!

Akan tetapi pada saat Hek-giam-lo pergi, datanglah serombongan wanita cantik yang ternyata adalah dayang-da­yang yang serta-merta melayaninya. Me­reka ini terdiri dari selosin orang wanita muda yang cantik, mereka datang mem­bawa makanan asing yang enak, mem­bawa pakaian-pakaian indah dan perhias­an untuk Sang Puteri Yalina, calon per­maisuri!

Memang watak Lin Lin nakal dan ingin sekali ia mencoba pakaian itu. Maka ketika ia didandani, ia menurut saja. Akhirnya ia tertawa sendiri cekiki­kan ketika melihat bayangannya di cermin. Ternyata ia telah menjadi seorang puteri asing yang pakaiannya aneh beraneka warna, bahkan kepalanya ditutup perhiasan terbuat daripada emas penuh batu permata!

"Pantaskah aku memakai ini?" tanya­nya dalam bhhasa Khitan kepada para dayang yang tertawa-tawa gembira melihat puteri itu cekikikan di depan cer­min.

Mereka serentak menjatuhkan diri berlutut dan menghujani Lin Lim dengan pelbagai pujian. Lin Lin merasa bangga sekali. Alangkah senangnya menjadi ratu, pikirnya. Dilayani, dihormati, dan men­jadi orang terpenting di antara bangsa yang mempunyai laki-laki gagah dan wanita cantik ini. Akan tetapi ketika ia teringat bahwa ia akan dijadikan permai­suri oleh paman tirinya sendiri, yang bernama Kubakan dan sekarang menjadi Raja Khitan, ia bergidik dan cepat-cepat ia melepaskan pakaian asing itu, mengenakan pakaian sendiri. Ia tidak mempedulikan protes para dayang itu, bahkan lalu meloncat keluar dari perkemahan dengan maksud hendak lari.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika selosin orang dayang yang muda-muda dan cantik itu tiba-tiba mengejar dan mengurungnya dengan pedang di tangan. Mereka ternyata bukanlah dayang biasa, melainkan gadis-gadis yang terlatih baik dan kini mereka membentuk barisan pe­dang yang mengurung Lin Lin dengan gerakan yang cekatan dan sigap.

"Harap Tuan Puteri jangan pergi meninggalkan perkemahan ini. Hamba semua telah menerima perintah Sri Baginda untuk menjaga Paduka, Lo-ciangkun (Panglima Tua) tadi memesan bahwa kalau perlu hamba semua harus mem­pergunakan kekerasan mencegah Paduka pergi." Kata seorang di antara mereka.

"Perempuan rendah! Bukankah aku ini ratumu? Berani kau menghalangi kehen­dakku?" gertak Lin Lin dengan marah.

"Ampun, Tuan Puteri. Paduka adalah calon ratu dan hamba sekalian tentu saja mentaati semua perintah Paduka. Akan tetapi lebih dulu hamba harus mentaati Sri Baginda, kemudian Lo-ciangkun, baru Paduka."

"Kalian berani? Hemmm, agaknya sudah bosan hidup. Majulah!" tantang Lin Lin, akan tetapi selosin dayang itu tidak bergerak, hanya tetap mengurung.

"Mana hamba berani menyerang Pa­duka? Hanya kalau Paduka hendak me­larikan diri, terpaksa hamba sekalian harus mencegah."

"Oh, begitukah? Nah, aku mau pergi, hendak kulihat kalian bisa berbuat apa!" Sambil berkata demikian Lin Lin melon­cat ke kiri menerjang dua orang dayang yang menjaga di situ. Akan telapi de­ngan gerakan cepat sekali mereka meng­gerakkan pedang, merupakan dinding pe­dang yang menghalangi perginya. Gerakan mereka jelas membuktikan bahwa dua belas orang dayang ini merupakan tenaga-tenaga terlatih baik dan agaknya mereka betul-betul akan menyerangnya kalau ia bersikeras melarikan diri dari tempat itu. Dan pada saat itu, sudah datang pula para orang Khitan berlari-lari, jumlah mereka lebih dari dua puluh orang!

Bangkit kemarahan di hati Lin Lin. Sebetulnya ia tidak mempunyai rasa ben­ci kepada orang-orang Khitan karena se­telah ia menjadi tawanan Hek-giam-lo beberapa lamanya, ia mendapat kesan yang amat baik terhadap orang-orang Khitan. Mereka adalah orang-orang yang berani, jujur, dan amat setia. Mereka hanya melakukan perintah atasan mereka dan semua tugas mereka jalankan dengan taruhan nyawa.

"He, dengarlah kalian semua!" serunya sambil mencabut pedang dengan tangan kanan sedangkan tongkat Beng-kauw ber­ada di tangan kirinya. "Aku Puteri Ya­lina amat suka kepada bangsaku, akan tetapi aku benci kepada paman tiriku Kubakan yang menjadi raja lalim dan hendak memperisteri aku, keponakannya sendiri! Aku juga benci kepada Lo-ciang­kun Hek-giam-lo yang kejam! Dengarlah, aku bersedia menjadi ratu kalian kalau kedua orang itu sudah tidak ada. Demi arwah ibuku, Puteri Tayami yang gagah perkasa, dan demi arwah kakekku, Raja Kulukan yang bijaksana, aku suka menjadi Ratu Khitan asalkan kedua orang jahat itu sudah tewas! Sekarang, ter­serah kepada kalian, adakah yang masih hendak menangkap aku? Boleh maju!"

Beberapa orang dayang dan beberapa orang penjaga ketika menyaksikan Lin Lin berdiri sambil mengucapkan kata-kata ini penuh wibawa, serta-merta men­jatuhkan diri berlutut. Bahkan disebutnya nama-nama mendiang Kulukan dan Ta­yami membuat beberapa orang dayang menangis.

"Hamba setia kepada Puteri Yalina!" teriakan-teriakan ini terdengar riuh-ren­dah.

Akan tetapi tidak semua dayang dan tidak semua penjaga berlutut dan me­nyatakan setianya, bahkan sebagian be­sar merasa lebih taat kepada Raja Kuba­kan dan lebih takut kepada Hek-giam-lo. Jumlah mereka yang menentang Lin Lin ini ada dua pertiga bagian dan kini sembilan orang dayang menerjang maju dengan pedang-pedang mereka menyerang Lin Lin!

"Trang-cring-tranggggg....!" Terdengar jerit kesakitan dan pedang-pedang beterbangan ketika Lin Lin menggerakkan pedang dan tongkat Ceng-kauw, diputar untuk menangkis disertai pengerahan tenaga sin-kang. Tidak hanya pedang sem­bilan orang dayang itu runtuh beterbang­an, juga sebagian ada yang terguling ro­boh karena hebatnya tenaga tangkisan Lin Lin, sebagian meloncat mundur de­ngan muka pucat. Lin Lin sendiri terheran-heran. Bagaimana tangkisannya bisa begitu hebat? Sama sekali ia tidak men­duga bahwa semua ini adalah berkat ilmu baru yang didapatkannya, yaitu ilmu dari lembaran-lembaran rahasia di dalam tong­kat Beng-kauw.

Namun sembilan orang dayang itu, seperti juga para petugas lain, amat setia kepada tugasnya. Biarpun pedang mereka sudah hilang dan mereka semua maklum bahwa tuan puteri yang mereka harus cegah perginya ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada mereka, mereka tidak mundur dan kini dengan tangan kesong mereka me­nubruk maju dengan maksud menangkap Lin Lin.

Lin Lin tidak tega untuk mengguna­kan senjata menghadapi mereka, maka ia cepat menyimpan pedangnya yang tadi membuat banyak orang Khitan berlutut karena pedang itu adalah Pedang Besi Kuning yang dahulu menjadi pusaka kera­mat Kerajaan Khitan, kemudian dengan dorongan tangan kanannya ia menerima serangan para dayang itu.

"Wuuuttttt....!" Dari tangan kanan Lin Lin menyambar angin pukulan dah­syat karena gadis ini sudah menggunakan tenaga dari ilmunya yang baru yang pernah dilatihnya dalam perahu dan yang angin pukulannya menggetarkan dinding sehingga pernah Hek-giam-lo menjadi curiga.

Hebat akibatnya. Sembilan orang da­yang itu seperti daun-daun kering ter­tup angin, mereka terlempar dan men­jerit kesakitan. Ketika mereka terbanting roboh, hanya enam orang saja yang mampu merangkak bangun dengan muka pucat dan lemah, sedangkan yang tiga orang lagi, yang paling depan, tak dapat bangun lagi karena mereka telah tewas dengan mulut, hidung dan telinga menge­luarkan darah!

Alangkah kagetnya hati Lin Lin. Ia sampai berdiri melongo dan tercengang, hatinya dipenuhi rasa menyesal dan rasa girang. Ia menyesal karena tanpa ia se­ngaja ia telah melukai para dayang, bah­kan membunuh tiga orang di antara me­reka, akan tetapi juga girang karena mendapat kenyataan bahwa ilmu mujijat yang ia dapat dari dalam tongkat Beng-kauw itu ternyata merupakan ilmu yang ampuh! Hatinya menjadi besar sekali dan ia kini menghadapi para penjaga yang belasan orang banyaknya itu dengan ben­takan nyaring.

"Yang berani kurang ajar terhadapku sudah terhukum! Mundur kalian semua, kalau tidak, calon ratumu akan turun tangan besi. Aku sayang kepada mereka yang taat, akan tetapi aku harus mem­basmi mereka yang mencoba menahan kepergianku!"

Sejenak para perajurit Khitan itu ter­tegun. Mereka terheran-heran melihat betapa gadis ini yang tadinya, biarpun cukup lihai, namun masih dapat mereka atasi, kini mendadak memiliki ilmu pu­kulan yang demikian dahsyatnya. Sebagai ahli-ahli silat yang mengerti akan ilmu silat tinggi, belasan orang Khitan itu mengenal ilmu pukulan dahsyat, maka diam-diam mereka menyesal sekali meng­apa Hek-giam-lo sudah pergi dari situ. Biarpun mereka dapat mengandalkan tenaga banyak teman, namun dengan ilmu pukulan sakti seperti itu, agaknya sukar mencegah gadis ini melarikan diri. Mereka tidak takut terhadap Lin Lin biarpun gadis itu memiliki ilmu dahsyat, mereka jauh lebih takut dan ngeri kalau sampai gadis ini lenyap, takut akan ke­marahan dan hukuman yang akan dijatuh­kan Hek-giam-lo terhadap mereka!

"Tuan Puteri, hamba sekalian harus mencegah kepergian Paduka dengan ta­ruhan nyawa!" teriak seorang penjaga dan mereka lalu maju mengurung Lin Lin, merupakan pagar manusia yang tak dapat dilalui begitu saja tanpa membuka jalan berdarah!

Lin Lin menarik napas panjang. "Ka­lian keras kepala!"

Setelah berkata demikian, Lin Lin kembali mengayun tangan kanannya me­ngirim pukulan jarak jauh. Kali ini dua orang laki-laki terguling roboh dan be­berapa orang lagi terhuyung-huyung. Akan tetapi dari kanan kiri dan belakang me­reka mendesak maju, siap untuk meroboh­kan Lin Lin atau kalau mungkin menang­kapnya. Kembali Lin Lin mengirim pu­kulan, kini malah tongkat Beng-kauw di tangan kiri ia pergunakan untuk menyapu kaki mereka. Ada beberapa orang lagi roboh, dan dua orang malah patah tulang kaki mereka terbabat tongkat pusaka Beng-kauw.

"Mundur kalian! Hemmm, apakah kali­an sudah bosan hidup?" bentak Lin Lin karena mereka demikian nekat sudah menyerbu lagi sehingga ia tidak melihat jalan keluar. Kembali beberapa orang ia robohkan dan ia sudah menggerakkan kaki meloncat keluar dari kepungan melalui tempat mereka yang sudah roboh ketika tiba-tiba para pengeroyoknya terpelanting dan terdengar suara orang men­dengus marah.

Lin Lin berdiri tegak dan memandang kepada Hek-giam-lo yang sudah berdiri di depannya! Berdebar jantung gadis ini, akan tetapi ia sama sekali tidak takut, malah ia menentang pandang mata Hek-giam-lo dengan pandangan menantang.

"Tuan Puteri, Sri Baginda sudah me­ngirim joli untuk menjemput Paduka, kenapa Paduka membikin ribut di sini? Apa yang Paduka kehendaki?" Kini suara Hek-giam-lo malah lebih hormat daripada yang sudah-sudah, agaknya hal ini karena mereka sudah dekat dengan Raja Khitan, akan tetapi di dalam suara ini pun ter­kandung kemarahan tertahan.

"Aku mau pergi dari sini! Aku tidak sudi dijadikan isteri paman tiriku! Tua bangka tak tahu malu dia, dan kau tidak tahu diri, hendak memaksa aku menjadi isteri seorang kakek. Hemmm, andaikata kakekku masih hidup, atau ibuku, kau tentu akan dihajar, Hek-giam-lo!"

Kembali iblis hitam itu mendengus. "Tangkap dia!" bentaknya kepada para pembantunya.

Karena Hek-giam-lo sudah hadir di situ, orang-orang itu menjadi lega hati­nya. Kalau sebelum iblis itu datang Lin Lin sampai terlepas dari tangan mereka, pasti mereka akan mengalami hukuman siksa sampai mati yang amat mengeri­kan, akan tetapi sekarang Hek-giam-lo berada di situ, berarti iblis itulah yang bertanggung jawab sepenuhnya. Pula, kehadiran iblis ini membesarkan hati mereka, membuat mereka tidak takut akan kelihaian sang puteri. Serentak mereka maju mendesak, hendak menang­kap Lin Lin.

Lin Lin kembali mengayun tangannya, kini ia tidak hendak menyembunyikan lagi ilmunya. Terdengar Hek-giam-lo mendengus keras dan iblis ini pun meng­gerakkan tangannya sehingga angin pu­kulan yang dahsyat menyambar ke arah Lin Lin, bertemu dengan angin pukulan Lin Lin. Akibatnya, Lin Lin terdorong dan terjengkang ke belakang, akan tetapi Hek-giam-lo juga terhuyung-huyung. Hal ini membuat Hek-giam-lo kaget setengah mati. Dari mana tiba-tiba gadis itu me­miliki sin-kang yang sedemikian hebatnya? Ia berseru keras dan melompat maju, ketika itu Lin Lin juga sudah bangkit kembali dan memutar kedua senjatanya, yaitu Pedang Besi Kuning dan tongkat Beng-kauw.

"Semua mundur, biarkan aku meng­hadapinya!" Hek-giam-lo membentak ke­tika tiga orang pembantunya dalam se­kejap mata saja roboh oleh kedua sen­jata Lin Lin.

Kini Hek-giam-lo sendiri yang maju dan berhadapan dengan Lin Lin yang memandangnya penuh ketabahan. Lin Lin sama sekali tidak jerih. Kalau sebelum ia mendapatkan ilmu muiijat saja ia sama sekali tidak takut, apalagi sekarang. Ilmu itu membuat ia laksana seekor harimau betina mendapat sayap.

"Hek-giam-lo, kaukira aku takut ke­padaku?" katanya dan kini ia menggerak­kam kedua senjatanya dengan gerakan ilmu silat yang ia pelajari dari dalam gulungan-gulungan kertas.

Dua sinar berkilauan menyambar, bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi bersuitan. Hek-giam-lo terkejut dan me­lompat mundur, kedua lengan bajunya bergerak ke depan untuk menangkis.

"Heh, dari mana kau mendapatkan ilmu ini?" bentaknya.

Lin Lin tidak menjawab hanya ter­tawa mengejek sambil menerjang maju lagi. Sayang sekali bahwa dia kurang latihan sehingga biarpun kedua senjatanya mengeluarkan hawa pukulan yang ber­desir-desir, namun ia belum mampu me­ngerahkan tenaga sepenuhnya dan gerakan-gerakannya masih kaku. Namun tak dapat disangkal lagi bahwa terjangannya ini dahsyat sekali sehingga diam-diam Hek-giam-lo menjadi kaget dan kagum. Tokoh sakti ini pun mengerti bahwa jika ilmu gadis ini terlatih baik, tentu gadis ini akan merupakan lawan yang berat dan sedikitnya setingkat dengan kepandaiannya!

Hek-giam-lo adalah seorang yang cer­dik. Ia dapat menduga bahwa ilmu aneh ini tentu didapatkan oleh Lin Lin selama menjadi tawanan di dalam perahu dan ia teringat akan desir angin pukulan pada tengah malam itu di perahu. Kini ia mengerti bahwa pada waktu itu, tentu Lin Lin yang sedang berlatih. Dari mana gadis ini mendapatkan ilmu itu? Gadis itu tidak bertemu siapapun juga, tidak pernah meninggalkan perahu. Tongkat itu? Tongkat pusaka Beng-kauw! Tentu di situlah rahasia ilmu itu.

Dengan gembira karena ingin sekali mendapatkan ilmu aneh ini yang pasti akan dapat menambah kelihaiannya, Hek-giam-lo mempergunakan gin-kangnya menyelinap di antara sambaran sinar sen­jata, lalu mengeluarkan senjatanya yang menyeramkan, yaitu sabit bergagang panjang yang amat tajam.

"Serahkan tongkat pusaka Beng-kauw!" bentaknya sambil menyerang dengan sabitnya. Gerakannya hebat, tenaganya mujijat sekali sehingga Lin Lin terpaksa meloncat mundur karena silau menyaksi­kan kelebatan sinar senjata lawan. Na­mun ia berhasil menangkis senjata lawan dengan senjatanya sendiri yang mem­buatnya kembali terhuyung-huyung dan telapak tangannya terasa sakit sekali. Namun hal ini saja sudah membuat Hek-giam-lo terheran-heran. Hanya ahli silat kelas tinggi saja yang mampu memper­tahankan terjangannya tadi dengan akibat hanya terhuyung-huyung. Tadinya ia memperhitungkan bahwa sedikitnya gadis itu akan melepaskan sepasang senjatanya!

Karena penasaran kembali ia mener­jang dengan sabitnya. Dalam pertanding­an, apalagi kalau menemui lawan tang­guh, Hek-giam-lo lupa segala. Karena Lin Lin dapat menangkis terjangannya tadi membuat ia lupa dan bersemangat se­hingga kini ia menerjang dengan serang­an maut tanpa mempedulikan apakah gadis calon ratu, calon permaisuri raja­nya itu akan mampu menangkisnya.

"Tranggg....!" Lin Lin kembali berhasil menangkis dengan pedangnya, di­bantu pula dengan tongkat, namun kini ia terguling. Alangkah heran hati Hek-giam-lo karena begitu terguling, gadis itu sudah meloncat lagi, malah kini mem­balas dengan serangan-serangan yang tak kalah ganasnya. Ia sampai memekik kaget dan memutar senjatanya untuk me­nangkis. Adapun Lin Lin yang bangkit semangatnya karena hawa sin-kangnya kini ternyata mampu bertahan terhadap ke­kuatan lawan yang tersalur dalam setiap serangannya, kini menerjang dengan ta­bah dan penuh tenaga.

Namun, betapapun juga, karena ilmu barunya itu baru ia kuasai beberapa ba­gian saja, sama sekali belum terlatih, mana ia mampu mengimbangi seorang jago kawakan seperti Hek-giam-lo yang menjadi seorang di antara Enam Iblis Dunia? Sebentar saja ia sudah sibuk se­kali, hanya mampu menangkis ke sana ke mari tanpa mampu membalas kembali.

Hek-giam-lo mendengus dan setelah sekarang Lin Lin tak dapat menandingi­nya, teringatlah ia lagi bahwa gadis ini adalah calon permaisuri raja, maka ge­rakan senjatanya tidak lagi merupakan ancaman maut, melainkan kini ia ber­usaha menangkap gadis itu.

"Lepaskan tongkat!" bentaknya, senjatanya menyambar ke arah dada. Lin Lin kaget sekali karena sambaran itu cepat bukan main. Ia menangkis dengan pedangnya dan.... pedangnya menempel pada senjata lawan, lekat tak dapat di­tarik kembali. Dengan gemas ia meng­gunakan tongkatnya mengemplang kepala lawan, namun tangan kiri Hek-giam-lo menyambut tongkat itu, menangkap dan membetot. Lin Lin tak kuasa bertahan dan terpaksa tongkatnya berpindah tangan. Akan tetapi karena Hek-giam-lo membagi tenaga untuk merampas tongkat, gadis itu berhasil melepaskan pe­dangnya.

"Kembalikan tongkat itu!" Lin Lin berseru keras sambil menusukkan pedang­nya. Akan tetapi kini Hek-giam-lo seperti tidak pedulikan dia lagi. Senjata sabitnya ia pergunakan untuk menangkis, sedang­kan matanya memeriksa tongkat Beng-kauw, mencari rahasianya. Tiba-tiba ia teringat akan kertas yang dirobek-robek oleh Lin Lin dan disebar di sungai. Ia menggeram keras dan membentak.

"Kertas yang kau robek-robek dahulu itu.... surat rahasia apakah itu?" suaranya terdengar penuh kemarahan dan kini ia hanya menyebut Lin Lin dengan "kau" saja.

"Peduli apa kau?" Lin Lin balas mem­bentak sambil menyerang lagi. Akan tetapi sebuah tangkisan membuat ia ter­huyung ke belakang. Kini Hek-giam-lo yang mendesak maju.

"Serahkan rahasia tongkat Beng-kauw kepadaku!"

"Rahasia apa?" Lin Lin menjawab, kaget.

"Rahasia ilmu yang kau pelajari. Cepat!"

"Tidak.... tidak ada....!" Lin Lin gugup karena rahasianya diketahui.

"Jangan bohong! Aku perlu sekali ilmu itu, berikan!" Hek-giam-lo mendesak dan menerjang dengan sabitnya. Serangan ini kuat sekali sehingga ketika Lin Lin me­nangkis, pedangnya terlepas dari pegang­an tangannya dan mencelat.

"Ho-ho-ho, Bayisan, aku bisa mem­biarkan kau merajalela di dunia akan tetapi kalau kau mengganggu puteri dari Tayami, aku yang akan menghalangimu!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan Pedang Besi Kuning yang mencelat dari tangan Lin Lin tadi telah disambar dan berada di tangan orang ini. Ketika semua orang memandang, kiranya yang datang adalah seorang laki-laki tua berkepala botak, bertubuh pendek gemuk, kakinya tidak bersepatu, jenggotnya panjang sampai ke dada.

"Kim-lun Seng-jin....!" Lin Lin berseru girang sekali melihat munculnya kakek ini. Kim-lun Seng-jin mengedip-ngedipkan matanya kepada Lin Lin dengan cara yang lucu, kemudian meng­angsurkan Pedang Besi Kuning.

"Anak baik, Tuan Puteri Yalina yang mulia, kauterimalah pedang ini. Pedang ini memang hakmu. Lekas kau pergi dari sini, belum saatnya kau kembali kepada bangsamu. Biar aku yang menandingi Bayisan yang dahulu mengganggu ibumu dan sekarang hendak mengganggumu lagi."

"Kakek yang baik, terima kasih," kata Lin Lin sambil menerima pedangnya. "Tapi aku tidak mau pergi, aku mau membantumu menghadapi iblis tengkorak ini."

"Heh-heh-heh, bukan saatnya. Ilmumu tadi memang aneh, mujijat dan hebat, akan tetapi masih mentah, kurang terlatih. Pergilah!" Sambil berkata demikian, Kim-lun Seng-jin menendang dan.... karena tidak menyangka-nyangka, tubuh belakang Lin Lin kena ditendang, mem­buat tubuh gadis itu terlempar dan melayang jauh! Anehnya, Lin Lin tidak me­rasa sakit dan tahulah ia bahwa kakek itu tidak main-main, melainkan melihat bahwa perlu sekali ia segera melarikan diri. Karena tadinya memang ingin mem­bebaskan diri dari tangan orang-orang Khitan, Lin Lin lalu lari secepatnya sam­bil berseru.

"Kakek botak, terima kasih! Kelak kalau aku menjadi ratu, kau kuangkat menjadi Koksu (Guru Negara)!"

"Heh-he-he! He, Bayisan, tak boleh kau mengejarnya. Akulah lawanmu, tua sama tua, heh-heh!" kata Kim-lun Seng-jin sambil menerjang maju ketika melihat betapa Tengkorak Hitam itu sudah menggerakkan kaki hendak mengejar Lin Lin. Terjangan kakek botak itu hebat sekali karena ia telah mengeluarkan sen­jatanya yang aneh, yaitu sepasang roda emas yang gemilang dan berputar-putar di tangannya.

Hek-giam-lo mendengus dan meloncat ke kiri menghindarkan diri, lalu berkata nyaring.

"Kim-lun Seng-jin, kau orang buangan dari Khitan, pengkhianat dan orang yang tak tahu malu. Raja sendiri sudah tidak mengakui kau, mau apa kau turut cam­pur?"

"Hueh-heh-heh-heh! Bayisan, kita da­hulu sama-sama perajurit, sama-sama berjuang untuk membela suku bangsa Khitan yang selamanya menjadi bangsa perantau yang disia-siakan dan tak tentu tempat tinggalnya! Akan tetapi sekarang setelah kau menjadi antek nomor satu dari Kubakan yang berkhianat, kau ba­nyak tingkah dan membuka mulut besar! Siapa tidak tahu bahwa sebetulnya ke­dudukan raja atas suku bangsa Khitan berada dalam hak keturunan Puteri Ta­yami? Sekarang Puteri Yalina, keturunan Tayami sudah dapat ditemukan, akan tetapi bukan dia diangkat menjadi ratu, malah akan dikawini oleh paman tirinya sendiri? Si Kubakan. Dan kau berani bilang aku seorang pengkhianat? Heh-heh-heh, tidak lucu!"

"Tutup mulutmu! Kaukira aku takut padamu?"

"Bayisan, dahulu pun antara kita su­dah sering terjadi perselisihan faham, dan biarpun kau lebih muda, tingkat kepandaian kita seimbang. Sekarang se­telah kau menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai, agaknya kepandaian­mu sudah banyak maju, sebaliknya aku makin tua dan makin lemah. Akan teta­pi, jika kau hendak mengganggu Puteri Yalina, aku mempersiapkan tulangku yang sudah rapuh dan kulit dagingku yang sudah lembek untuk melawanmu."

"Tua bangka bosan hidup!" Hek-giam-lo berseru keras dan senjatanya yang menyeramkan itu menyambar, berubah menjadi sinar hitam yang diselingi sinar kilat seperti halilintar menyambar.

Kim-lun Seng-jin maklum akan kesak­tian Hek-giam-lo, maka dia pun tidak banyak cakap lagi, segera menggerakkan kedua tangannya dan sepasang roda emas itu berputar-putar dengan indahnya me­lindungi seluruh tubuh. Berkali-kali ter­dengar suara nyaring dan bunga api ber­pijar menyilaukan mata apabila senjata kedua orang jagoan Khitan ini bertemu. Orang-orang Khitan yang berada di situ melongo, kagum dan tegang. Mereka semua tahu siapa adanya Kim-lun Seng-jin, seorang tokoh tua bangsa Khitan yang dikabarkan meninggalkan kelompok bangsanya dan merantau, dianggap musuh oleh raja yang sekarang, akan tetapi merupakan seorang tokoh besar di masa lalu. Mereka tidak berani membantu karena membantu Hek-giam-lo tanpa di­perintah berarti mencari kematian sen­diri karena dianggap menghina Hek-giam-lo. Selain ini, mereka pun berarti men­cari mati kalau mencampuri pertandingan itu karena gerakan kedua orang sakti itu terlalu cepat bagi mereka. Sukar bagi mereka untuk dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan pandang mata. Yang tampak oleh mereka hanyalah gulungan sinar hitam menyambar-nyambar di anta­ra dua gulung sinar emas, sedangkan dua orang tokoh, itu tidak tampak bayangannya lagi.

Biarpun usianya sudah sangat tua dan kalah tenaga, namun Kim-lun Seng-jin termasuk seorang tokoh sakti yang ber­kepandaian tinggi. Dahulu, sewaktu Hek-giam-lo yang masih bernama Panglima Bayisan masih kecil, Kim-lun Seng-jin sudah menjadi Panglima Khitan yang sukar dicari bandingnya. Bahkan ketika Bayisan sudah menjadi panglima yang jagoan, Kim-lun Seng-jin masih menjadi tokoh di Khitan sampai akhirnya kakek ini pergi dari Khitan karena tidak suka melihat perebutan kekuasaan, sedangkan raja sendiri, ketika itu adalah Raja Ku­lukan ayah Puteri Tayami (kakek Lin Lin), malah menaruh curiga ketika Kim-lun Seng-jin memberi nasihat. Ketika itu, Kim-lun Seng-jin masih bernama Kalisani (baca cerita Suling Emas).

Namun, kini menandingi Hek-giam-lo, kakek itu makin lama makin repot juga. Hek-giam-lo selama ini memang memperoleh kemajuan hebat, apalagi belum lama ini ia telah berhasil meram­pas setengahnya daripada kitab simpanan Bu Kek Siansu yang setengahnya lagi dirampas It-gan Kai-ong. Dengan separuh kitab ini ia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sekali sehingga setelah bertempur selama seratus jurus, mulailah Kim-lun Seng-jin terdesak hebat. Kini sinar senjata sabit berkilat-kilat me­nyambar dan setiap gerakan merupakan jangkauan maut yang mengerikan.

Namun anehnya, Kim-lun Seng-jin terdengar tertawa-tawa bergelak, ia me­rasa gembira sekali dengan pertandingan ini. Kakek ini memang selalu merasa khawatir kalau-kalau ia sebagai seorang Khitan, akan tewas di perantauan di ta­ngan jago silat yang banyak terdapat di seluruh penjuru bumi. Akan tetapi se­karang, nasib membawanya kembali ke perbatasan Khitan dan bahkan bertanding dengan seorang tokoh Khitan nomor satu di waktu itu. Lebih-lebih kegembiraannya bahwa ia dapat bertahan sampai seratus jurus lebih, ini saja sudah merupakan kenyataan yang amat menggembirakan hatinya.

"Hueh-heh-heh, Hek-giam-lo. Ternyata namamu kosong melompong! Mana patut bersombong menjadi seorang di antara Enam Iblis Dunia? Ha-hah, menghadapi seorang kakek yang sebelah kakinya su­dah masuk lubang kubur macam aku saja, sekian lamanya belum juga dapat mengalahkan!"

"Ciuuuuuttttt!" Sabit itu menyambar dengan gerakan seperti halilintar. Saking marahnya, Hek-giam-lo mempergunakan seluruh tenaga. Kim-lun Seng-jin cepat menangkis dengan roda emas kiri.

"Cringgggg!" Hebat bukan main pertemuan antara kedua senjata ini, tapi Kim-lun Seng-jin yang cerdik membarengi pertemuan senjata ini dengan melontarkan roda emas kanan ke arah lawan. Karena pembagian tenaga ini, apalagi memang ia sudah amat lemah dan tenaganya kalah kuat, maka roda emas kiri yang bertemu dengan sabit secara hebat menjadi pa­tah, bahkah tangan kirinya terluka oleh sabit yang sempat menyerempetnya. Akan tetapi di lain fihak, Hek-giam-lo yang tidak menyangka akan serangan kilat dari roda emas kanan yang dilontarkan, tak sempat mengelak dan dadanya terpukul.

"Desss....!" Sekiranya bukan Hek-giam-lo yang dihantam lontaran roda emas, tentu sudah pecah dadanya. Akan tetapi Hek-giam-lo sempat mengerahkan sin-kangnya sambil menjerit keras sekali. Roda emas menghantam sebagian dada dan pundak kirinya, terpental kembali dengan keras dan diterima tangan kanan Kim-lun Seng-jin yang juga terluka ta­ngan kirinya, mengucurkan darah dan mukanya pucat. Akan tetapi kakek ini tertawa-tawa gembira sekali.

"Heh-heh-heh, Hek-giam-lo, pecahlah dadamu! Mampuslah, heh-heh-heh!"

Hek-giam-lo muntahkan darah segar, kemudian ia mengeluarkan suara meng­gereng seperti seekor binatang buas, lalu menubruk maju dengan gerakan senjata sabitnya. Tampak sinar berkelebat. Kim-lun Seng-jin berusaha menangkis.

"Tranggggg!" Roda emasnya patah lagi, akan tetapi sabit di tangan Hek-giam-lo juga terlepas dari pegangan. Namun Hek-giam-lo terus maju dan ke­dua tangannya seperti dua cepitan baja sudah mencekik leher Kim-lun Seng-jin. Kakek ini tak bergerak lagi, seketika tewas pada saat tangan yang beracun dari Hek-giam-lo menyentuhnya. Akan tetapi iblis buas itu tidak juga mau me­lepaskan leher lawannya sebelum leher itu patah tulangnya, kemudian ia mem­banting tubuh itu, menyambar sabitnya dan.... pada detik-detik berikutnya tubuh Kim-lun Seng-jin sudah hancur dicabik-cabik sabit! Hanya mukanya yang tidak disentuh sabit. Dari leher ke bawah han­cur sampai kelihatan tulangnya. Anehnya, muka itu tetap saja tersenyum seakan-akan mentertawakan kelakuan Hek-giam-lo yang seperti gila saking marahnya. Hek-giam-lo sendiri terluka, patah tulang pundaknya dan terluka sebelah dalam dadanya. Akan tetapi tidak berbahaya, dan setelah menelan obat pe­nawar, ia cepat melakukan pengejaran ke arah larinya Lin Lin. Akan tetapi, pertandingan melawan kakek Kim-lun Seng-jin tadi memakan waktu cukup lama, sampai seratus jurus lebih, dan tentu saja Lin Lin telah lenyap dari situ, sukar untuk dicari jejaknya. Apalagi gadis ini cukup cerdik untuk mengambil jalan yang sepi, melalui hutan-huan dan selalu menghindarkan diri daripada pertemuan dengan manusia sehingga pengejarnya, Hek-giam-lo, sama sekali tidak men­dapatkan keterangan ke mana arah larinya Lin Lin.

Biarpun hari telah terganti malam, Lin Lin tidak pernah menghentikan lari­nya, menyusup-nyusup hutan liar. Untung baginya, malam hari itu sore-sore bulan sudah keluar, biarpun belum bulat penuh, namun cukup untuk menerangi jalan di dalam hutan. Dengan pedang terhunus di tangan, gadis ini terus melanjutkan perjalanannya, mengarah selatan karena ia tahu bahwa dirinya saat itu berada di utara. Andaikata tidak ada bulan muncul, kiranya sukar juga baginya untuk me­milih arah.

Setelah lewat tengah malam dan keadaan hutan yang dimasukinya gelap sekali karena daun-daun pohon raksasa menutupi sinar bulan, baru Lin Lin meng­hentikan larinya. Ia naik ke atas sebuah pohon raksasa, duduk di atas cabang tersembunyi di balik daun-daun, lalu beristirahat. Enak sekali rasanya duduk beristirahat setelah setengah malam te­rus berlari dengan hati tegang itu. Kini ia merasa lega, bebas dari tawanan Hek-giam-lo. Segera ia duduk bersila sambil melatih samadhi menurut pelajaran ilmu­nya yang baru dan sebentar saja lenyap­lah semua rasa lelah, tubuhnya terasa segar dan dalam sekejap mata saja ia sudah berhasil mendiamkan panca indera­nya, mengheningkan cipta dan mengum­pulkan hawa murni untuk memperkuat tenaga sakti di tubuhnya.

Pada keesokan harinya, setelah mata­hari mulai mengusir embun pagi yang membuat hawa udara amat dingin, baru Lin Lin menyudahi samadhinya, apalagi karena suara kicau burung pagi yang menggembirakan itu tiba-tiba terganggu oleh suara melengking tinggi yang menggetarkan perasaannya. Suara suling! Jan­tungnya berdebar tegang. Suara meleng­king macam itu banyak sudah ia dengar keluar dari mulut orang-orang sakti, di antaranya pernah pula Hek-giam-lo me­ngeluarkan suara seperti itu di kala me­ngerahkan tenaga saktinya. Jangan-jangan Hek-giam-lo sudah mengejar sampai ke situ!

***

Tidak takut, pikirnya! Kalau dia datang dan benar-benar dapat menyusulku, aku harus melawannya sampai mati! Akan tetapi kembali ia mendengarkan dengan teliti. Mengapa suara itu berbunyi terus-menerus? Dan lengking itu membentuk lagu. Suling! Debaran darahnya makin kencang dan dengan hati-hati ia meloncat dari cabang ke cabang, dari pohon ke pohon seperti seekor tupai yang gesit, menuju ke arah suara yang ia tahu tentu amat jauh.

Mernang betul dugaannya. Suara itu sebetulnya datang dari tempat yang cukup jauh dan andaikata tidak kebetulan ia berada di pohon raksasa yang amat tinggi dan tidak dalam waktu pagi yang sunyi dan dingin, agaknya suara itu tidak akan mencapai pendengarannya. Sudah puluhan batang pohon ia loncati, namun belum juga ia sampai di tempat dari mana suara suling itu melayang, akan tetapi makin dekat makin hebatlah getaran suara suling. Lin Lin melompat terus.

"Aaaiiiihhhh....!" Tiba-tiba tubuhnya terguling ketika ia meloncat dari sebuah cabang ke cabang lain. Untung ia masih dapat meraih cabang di bawahnya sehingga tubuhnya tergantung, kemudian dengan hati-hati sekali ia merosot turun dan akhirnya dapat juga ia mencapai tanah, berdiri dengan muka pucat dan cepat-cepat ia mengerahkan sin-kang di tubuhnya sambil duduk bersila! Apa yang terjadi? Kiranya setelah makin mendekati tempat itu suara suling mempunyai getaran sedemikian hebatnya sehingga tanpa ia sangka-sangka dan sadari jantungnya tergetar dan tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas sehingga hampir saja ia tadi terjungkal dari atas pohon besar yang amat tinggi. Kalau saja ia tidak cepat dapat menangkap cabang dan terbanting jatuh, akan celakalah dia.

Setelah mengerahkan sin-kang yang disalurkan terutama ke isi dada dan ke arah sepasang telinga, barulah Lin Lin pulih kembali keadaannya. Ia bangkit berdiri dan maklumlah ia sekarang bahwa suara suling yang ditiup dengan pengerah­an hawa sakti, semacam ilmu luar biasa sekali dan agaknya si peniup suling se­dang menghadapi lawan tangguh, maka sulingnya ditiup seperti itu. Kini Lin Lin menyelinap dari pohon ke pohon, mendekati arah suara suling yang terdengar amat jelas, makin dekat, makin terasa­lah pengaruh suara suling. Biarpun ia sudah menekan perasaan dan membulat­kan kemauan agar jangan memperhatikan, tetap saja ia terseret dan tanpa disadari ia memperhatikan juga. Suara suling itu amat merdu, mengayun sukma, merayu semangat, namun amat menyedihkan karena makin lama diperhatikan, makin mengarah suara orang menangis dengan kesedihan yang luar biasa. Tiba-tiba Lin Lin merasa betapa tenaganya mulai ber­kurang, tubuhnya mulai lemas lagi. Ce­pat-cepat ia menggerakkan kaki tangan dan mengatur napas menurut ajaran ilmunya yang baru dan heran sekali, se­ketika lenyap pengaruh suara suling yang mujijat itu. Ia menjadi girang dan mulai­lah ia melangkah maju dengan gerakan-gerakan ilmu silatnya yang baru. Akhirnya ketika ia keluar dari gerombolan pohon itu, tampaklah apa yang menimbul­kan suara mujijat ini dan jantungnya berdebar keras, hampir ia menjerit gi­rang akan tetapi kembali ia terkejut karena hal ini mengguncangkan jantung­nya dan membuat ia hampir roboh. Ce­pat-cepat ia menguasai perasaannya dan mengerahkan sin-kangnya kembali, berdiri memandang ke depan.

Di sana, hanya beberapa puluh meter di depannya, di sebuah lapangan terbuka di antara pohon-potion itu, tampak Su­ling Emas berdiri tegak dengan kedua tangan memegang dan memainkan suling yang ditiupnya. Di sekelilingnya berdiri sedikitnya lima belas orang yang sikap­nya mengancam, semua membawa sen­jata macan-macam, posisi mereka dalam jurus ilmu silat dengan kedua kaki memasang kuda-kuda, akan tetapi anehnya, mereka itu sama sekali tidak bergerak menyerang Suling Emas, melainkan ber­diri seperti patung batu dengan mata memandang terbelalak seolah-olah ter­pesona oleh Suling Emas yang bermain suling. Wajah mereka tegang, beberapa orang di antara mereka berhasil bergerak sedikit, akan tetapi tidak berhasil ber­gerak terus melanjutkan serangan. Yang lainnya sudah persis patung batu, wajahnya pucat dan tubuhnya seperti mati kaku!

Lin Lin tertegun. Setelah sekarang dekat benar, ia pun merasakan pengaruh luar biasa dari suara suling itu, yang membuat tubuhnya sebentar lemas seben­tar kaku seirama dengan suara suling yang mengalun tinggi rendah! Kembali ia mengerahkan sin-kangnya menurut ilmunya yang baru. Aneh, kini terasa betapa se­gar dan nikmat tubuhnya, betapa suara itu memasuki telinganya seperti musik dari angkasa, merdu merayu dan amat indahnya. Mungkin hal ini terjadi karena kegembiraan hatinya melihat Suling Emas di tempat itu.

Dengan pandang mata penuh kekaguman Lin Lin melihat betapa pendekar sakti itu dengan tenangnya terus menyuling. Tiba-tiba suara suling berubah ketika mata Suling Emas mengerling dan dapat melihat Lin Lin berdiri di situ. Pandang mata itu menjadi berseri dan bersinar-sinar, karena sesungguhnya bukan main girang hati Suling Emas melihat Lin Lin yang disangkanya masih tertawan Hek-giam-lo itu berdiri di tempat itu. Hal yang sama sekali tak pernah disangkanya dan yang tentu saja menggirangkan hatinya karena ia sampai tiba di tempat itu bukan lain karena hendak mengejar Hek-giam-lo, menolong Lin Lin dan merampas kembali tongkat pusaka Beng-kauw.

Kini Suling Emas dengan masih meniup suling melangkah meninggalkan para pengepungnya yang berubah menjadi patung hidup itu. Inilah pengaruh Ilmu Kim-kong Sin-im (Suara Sakti Sinar Emas) yang ia pelajari dari Bu Kek Siansu, yang belum lama ini ia perdalam latihannya bersama kakek dewa itu. 

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang