Akan tetapi, ketika tadi ia mendengar ucapan dua orang gadis itu, hati Kiang Liong berdebar gelisah. Ia cerdik dan sekali mendengar kata-kata kedua orang kakak beradik itu, ia sudah dapat menduganya. Tentu dua orang gadis itu kehilangan orang tua mereka dalam perang melawan bangsa Hsi-hsia yang menyerbu Nan-cao. Dan ia menjadi heran dan juga gelisah. Paman gurunya, Kam Bu Sin, memiliki kepandaian tinggi, juga ibu kedua orang gadis itu, yang bernama Liu Hwee, adalah puteri tunggal Ketua Beng-kauw dan memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi lagi. Kalau mereka berdua sampai gugur di medan perang, berarti bahwa fihak musuh memiliki orang-orang yang sakti.
Betapapun cemas dan gelisah hati Kiang Liong namun ia tidak mau keluar untuk membantu Siang Kui dan Siang Hui. Sebagai seorang pendekar ia tentu saja mengerti bahwa membantu orang-orang gagah yang sama sekali tidak perlu dibantu mendatangkan kesan yang tidak baik dan dapat menyinggung perasaan. Maka ia hanya menonton, walaupun siap untuk turun tangan kalau-kalau dua orang gadis itu terancam bahaya.
Dua orang gadis itu mengamuk seperti dua ekor naga. Gulungan sinar pedang mereka yang berwarna putih berkilauan seperti perak, menyambar-nyambar dan para pengeroyok yang hanya terdiri dari orang-orang kasar yang mengandalkan tenaga itu mulai roboh seorang demi seorang. Dalam waktu singkat saja belasan orang roboh mandi darah dan sisanya mulai gentar, bahkan ada yang sudah membalikkan tubuh hendak melarikan diri.
"Cici, jangan biarkan anjing-anjing itu lari!" seru Siang Hui sambil memutar pedang mendesak maju, merintangi mereka yang hendak lari. Siang Kui mengejar ke depan, kedua tangannya bergerak dan robohlah tiga orang lawan yang sudah lari itu, punggung mereka tertusuk senjata rahasia yang berbentuk anak panah. Sisa gerombolan yang hanya tinggal enam orang itu menjadi nekat. Sambil berteriak-teriak liar mereka menyerbu mati-matian, namun kenekatan mereka tiada gunanya karena dengan mudah saja Siang Kui dan Siang Hui merobohkan mereka. Dua puluh satu orang menggeletak malang-melintang di depan dua orang gadis itu yang seakan-akan telah menjadi gila saking marah dan sakit hatinya sehingga kini mereka membacok dan menusuki korban yang masih dapat bergerak-gerak dan berkelojotan sampai semua lawan mereka rebah tak bernyawa lagi! Biarpun Kiang Liong maklum bahwa semua itu terdorong oleh rasa duka kehilangan ayah bunda, namun tetap saja ia menganggapnya terlalu kejam dan tidak baik. Maka kini ia melompat keluar dan berseru,
"Adik-adik....! Cukuplah....!"
Siang Kui dan Siang Hui yang mukanya masih kemerahan dan beringas, membalikkan tubuh dengan sigapnya, siap menghadapi lawan baru. Mula-mula mereka pangling melihat seorang pemuda berpakaian putih yang berdiri di depan mereka dengan sikap tenang dan pandang mata penuh teguran itu sehingga mereka makin mempererat genggaman tangan pada gagang pedang. Akan tetapi ketika mereka melihat alat musik yang-khim tergantung di belakang punggung dan tampak tersembul di belakang pundak pemuda itu, mereka segera mengenal orangnya.
"Liong-twako (Kakak Liong)....!" mereka berseru bergantian sambil berlari maju menghampiri Kiang Liong, wajah mereka yang tadinya merah beringas itu berubah lembut, bahkan agak berseri ketika dua pasang mata itu memandang Kiang Liong dan mereka cepat-cepat menyimpan kembali pedang yang tadi dipakai mengamuk.
"Ji-wi Siauw-moi (Kedua Adik) mengapa berada di sini dan membunuhi orang-orang ini? Ji-wi hendak pergi ke manakah?"
Ditanya begini, tiba-tiba Siang Hui menubruk Kiang Liong sambil menangis. Ketika Kiang Liong berkunjung ke rumah gadis itu enam tahun yang lalu, Siang Hui baru berusia dua belas tahun maka kini bertemu pemuda ini ia seperti lupa bahwa ia kini sudah berusia delapan belas tahun. Ia sesenggukan di dada Kiang Liong yang menepuk-nepuk pundaknya. Melihat adiknya menangis tersedu-sedu, Siang Kui juga menangis, akan tetapi yang lebih tua hanya berani memegang lengan Kiang Liong sambil berkata,
"Ah, engkau tidak tahu, Liong-twako....! Mereka ini adalah musuh-musuh Nan-cao, mereka ini anjing-anjing Hsi-hsia yang telah menyerbu Nan-cao.... dan.... dan.... dalam pertempuran.... Ayah dan Ibu kami telah gugur...."
![](https://img.wattpad.com/cover/95948182-288-k14999.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping Hoo
General FictionBu Kek Siansu adalah sebuah karakter khayalan hasil karya Kho Ping Hoo, dan merupakan serial bersambung terpanjang terbaik di samping seri Pedang Kayu Harum (Siang Bhok Kiam). Ia dikisahkan pada masa kecilnya disebut Anak Ajaib (Sin Tong) karena dal...