BUKU 17. PUSAKA PULAU ES I

13.8K 104 1
                                    

Pria penunggang kuda itu menghentikan kudanya dan memandang ke sekeliling dan dia terpesona. Memang pagi itu indah bukan main. Di sekeliling tempat itu terdapat bukit-bukit berjajar-jajar. Bukit-bukit di timur masih nampak gelap karena matahari baru muncul meng­intai dari balik punggung mereka. Akan tetapi bukit-bukit di barat sudah mulai menerima sinar matahari pagi yang kuning keemasan.

Nampak kabut menyingkir perlahan dihalau sinar matahari pagi. Sinar matahari pagi yang masih lembut namun sudah garang itu menerobos di antara kabut, sungguh merupakan keindahan yang sukar untuk dilukiskan. Keindahannya lebih terasa di dalam hati daripada di dalam mata. Burung-burung beterbangan mulai meninggalkan sarang, dan masih ada sempat berkicau di antara ranting-ranting pohon, membuat suasana makin ceria gembira dan mendorong seseorang untuk ikut bernyanyi-nyanyi. Matahari pagi mulai muncul dan sinarnya menghidupkan segalanya, membangunkan semuanya yang tadinya terlelap tidur dalam kegelapan sang malam. Nampak beberapa ekor kelinci dan kijang menyeberangi semak dengan hati-hati sekali, telinga mereka membantu mata yang menoleh ke kanan kiri, kemudian mereka melanjutkan jalan menuju ke semak lain. Tidak ada seorang pun manusia lain kecuali si penunggang kuda yang meng­hentikan kudanya di atas puncak sebuah bukit kecil itu.

Kekuasaan dan kecintaan Tuhan sungguh mengalir sepenuhnya di pagi hari itu, terasa sekali di dalam hati. Dan orang itu merasa bahwa dirinya menjadi satu dengan segala keindahan itu, menjadi bagian tak terpisahkan dari isi alam mayapada yang demikian indah. Dia merasa dirinya kecil sekali, kecil tidak ada artinya, padahal biasanya dia merupakan orang penting yang diperhatikan, dihormati dan dilayani banyak orang.

Pria itu masih muda. Paling banyak dua puluh lima tahun usianya. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Rambutnya dikuncir menjadi sebuah kuncir yang gemuk panjang, ujungnya diikat sutera kuning. Rambut itu di atasnya disisir rapi dan mengkilap karena minyak rambut yang harum. Dahinya lebar, sepasang alisnya hitam tebal berbentuk golok. Sepasang matanya mencorong seperti mata burung Hong, hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk indah dengan bibir mengarah senyum mengejek. Dandanannya menunjukkan bahwa dia tentu seorang bangsawan muda yang kaya-raya.

Siapakah pemuda tampan gagah yang pakaiannya perlente dan pesolek ini? Dia memang bukan orang sembarangan. Dia adalah seorang pangeran! Pangeran Tao Seng namanya, putera dari Kaisar Cia Cing (1796-1820). Kenapa dan mau apakah seorang pangeran berada di antara pegunungan di tempat yang begitu jauh di utara itu, seorang diri pula? Pangeran Tao Seng memang seorang petualang besar. Sejak kecil dia bukan saja mempelajari ilmu kesusastraan, bahkan juga belajar ilmu silat dengan tekun sehingga setelah menjadi dewasa, dia menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Dan agaknya dia tertarik oleh riwayat kakeknya, Kaisar Kian Liong yang di waktu mudanya suka merantau dan memasuki dunia kang-ouw mencari pengalaman. Demikian pula dengan Tao Seng. Agaknya dia mewarisi jiwa petualang dari kakeknya ini. Seringkali dia merantau seorang diri saja, mengandalkan ilmu silatnya untuk melindungi dirinya. Dia sudah seringkali menjelajahi dunia kang-ouw dan mengumbar kesenangannya, yaitu senang menggauli wanita-wanita cantik. Mudah saja baginya untuk mendapatkan wanita cantik karena wanita mana yang tidak tertarik kepadanya? Dia masih muda, tampan dan gagah, dan seorang pangeran pula!

Pada pagi hari itu dia tiba di pegunungan utara. Dia tahu bahwa dia memasuki daerah yang dikuasai orang­orang suku Khitan, akan tetapi dia tidak pernah mengenal takut. Apalagi dia juga pandai berbahasa Khitan, bahkan ibunya masih mempunyai darah Khitan. Pula, dengan ilmu silatnya yang tinggi, dia dapat menjaga diri sendiri dengan baik. Apa yang harus ditakuti? Pangeran Tao Seng sudah seringkali menghadapi bahaya namun selalu dapat lolos dengan selamat. Dia seorang petualang besar.

Tiba-tiba dia melihat seorang penunggang kuda mendaki bukti itu dengan cepat. Kudanya bagus dan penunggangnya mahir sekali menunggang kuda. Duduknya tegak dan keseimbangan tubuhnya mantap. Di dekat hutan di sebelah bawahnya, penunggang kuda itu turun dari atas kudanya, mengikat kudanya pada sebatang pohon dan menyusup ke semak-semak dalam hutan itu.

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang