Jilid 3

4.5K 59 0
                                    

Pada waktu itu, Kakek Sin-seng Losu masih duduk di kursi ketua sambil me­lenggut mengantuk. Akhir-akhir ini, ka­kek yang sudah tua renta dan pikun ini sering kali melenggut dan banyak me­ngantuk. Kini ia telah mengenakan pa­kaian khusus untuk upacara. Jubahnya baru dan indah di bagian dadanya terda­pat gambar sebuah timbangan. 

Inilah tanda bahwa dia sudah meninggalkan ke­dudukan ketua dan kini menjadi penasihat yang mempertimbangkan dan memutuskan segala macam perkara yang tak dapat diputuskan oleh ketua baru. 

Di sebelah kanannya duduk Thai-lek-kwi Ma Kiu, murid kepala bekas tukang jagal babi itu. Wajah murid kepala yang usianya sudah lima puluh tahun ini keren, apalagi jeng­got dan kumisnya kaku seperti kawat, matanya melotot lebar seakan-akan sela­lu mengeluarkan sinar mengancam. 

Di sebelah kanan Thai-lek-kwi Ma Kiu calon ketua baru ini duduk atau berdiri sebelas­ orang adik-adik seperguruannya yang ter­diri dari bermacam-macam orang. Ada Hwesio gundul, ada tosu, ada yang seper­ti petani, ada yang tua dan ada yang muda. Di belakang kursi kakek Sin-seng Losu berdiri seorang petugas yang mem­bawa bendera Thian-liong-pang, bergam­bar naga terbang.

Para tamu yang lebih lima puluh itu semuanya sudah memenuhi ruangan, du­duk di bangku-bangku memutari meja bundar yang sudah disediakan. Pelayan-pelayan sibuk melayani mereka dengan minuman dan makanan. Saat itu, upacara sudah hendak dilakukan, akan tetapi Thai-lek-kwi Ma Kiu mencari-cari dengan pandang matanya, kelihatan tak senang hatinya. Kemudian ia berbisik kepada suhunya yang masih melenggut, setengah tidur setengah bersamadhi.

"Suhu, tamu sudah lengkap, Apakah tidak lebih baik dilakukan sekarang upacaranya?"

"Hemmm....?" kakek itu membuka mata malas-malasan, kemudian menoleh ke arah kirinya, di mana terdapat sebuah bangku yang kosong. "Dia belum datang?" Ma Kiu mengerutkan kening dan menggeleng kepalanya. "Suhu, sudah sejam lebih kita menanti, akan tetapi Siauw-te (Adik Seperguruan Kecil) masih juga belum muncul. Dia, suka pergi ber­buru binatang, suka pergi bermain-main, siapa tahu dia tidak akan datang karena lupa akan urusan hari ini."

"Kita tunggu sebentar lagi." bantah Si Kakek. "Betapapun juga, Siangkoan Li adalah anak tunggal mendiang puteraku, dia cucuku satu-satunya. Sebagai wakil ayahnya yang sudah tidak ada, sepatut­nya dia menyaksikan upacara penting hari ini."

Biarpun di dalam hatinya merasa mendongkol sekali terhadap Siangkoan Li yang memperlambat upacara pengangkat­annya menjadi Ketua Thian-liong-pang namun Ma Kiu tidak berani membantah kehendak gurunya. Siangkoan Li adalah cucu Sin-seng Losu, semenjak kecil anak ini sudah ditinggal mati ayah bun­danya yang tewas dalam pertandingan. Kemudian ia dididik oleh kakeknya dan biarpun ia cucu kakek ini, namun ia juga murid, maka dua belas orang murid ke­pala atau lebih terkenal Dua Belas Naga Thian-liong-pang itu memanggil dia sute (adik seperguruan). Padahal Siangkoan Li masih amat muda, baru dua puluh tahun usianya.

Pada saat itulah Ouw Kiu si Brewok datang melapor. Karena Sin-seng Losu sudah melenggut lagi di atas kursinya, Ouw Kiu lalu melapor kepada Thai-lek-kwi Ma Kiu tentang kedatangan dua orang muda tadi. Tentu saja Thai-lek-kwi Ma Kiu marah sekali, mendengar bahwa dua orang muda yang mengaku berjuluk Mutiara Hitam dan Berandal dan telah membunuh seorang anggauta Thian­-liong-pang berani muncul. Akan tetapi oleh karena saat pengangkatannya seba­gai ketua sudah tiba, ia tidak ingin urus­an yang amat penting artinya bagi diri­nya itu terganggu atau terkacau keribut­an, maka ia menyabarkan hatinya yang panas. Apalagi ketika mendengar laporan Ouw Kiu bahwa dua orang itu datang untuk menonton upacara dan membawa hadiah seekor kuda yang bagus. Maka dia segera berdiri dan menyambut. Melihat kakak tertua ini bangkit, otomatis sebe­las orang adik seperguruan itu bergerak pula dan mengikutinya menyambut.

Terdengar suara nyaring kaki kuda menginjak-injak lantai dan para tamu serentak menengok, disusul suara mereka riuh membicarakan tamu yang baru mun­cul. Tentu saja cara Kwi Lan memasuki ruangan sambil menunggang seekor kuda yang tinggi besar berbulu hitam, amat menarik perhatian dan selain mendatang­kan kaget, juga heran. Akan tetapi di­samping ini, sebagian besar mata para tamu terbelalak kagum karena tidak saja kuda itu amat indah dan gagah, namun penunggangnya lebih menarik lagi, cantik jelita dengan mata bersinar-sinar dan pipi kemerahan, bibir manis tersenyum simpul. Hauw Lam menghentikan tiupan sulingnya, lalu menjura ke arah tuan rumah, diam-diam ia memperhatikan Ma Kiu dan sebelas orang adik seperguruan­nya. Biarpun belum pernah bertemu de­ngan mereka, namun jumlah ini menim­bulkan dugaan di hati bahwa tentu inilah yang disebut Cap-ji-liong yang ditakuti orang itu. Ia tersenyum dan berseru de­ngan suara nyaring.

"Kami, Dewi Mutiara Hitam dan Dewa Berandal...." Sampai di sini Hauw Lam menoleh kepada Kwi Lan yang tersenyum pula lalu melirik kepada semua tamu yang mengeluarkan seruan heran men­dengar sebutan dewa dan dewi tadi, ke­mudian melanjutkan setelah keadaan men­jadi sunyi senyap karena semua orang memasang telinga penuh perhatian untuk mendengarkan apa yang ia katakan selanjutnya, "..... secara kebetulan lewat di Yen-an dan mendengar nama besar Thian-liong-pang yang katanya hendak mengadakan upacara pengangkatan ketua baru. Maka kami ingin sekali menonton keramaian dan Sang Dewi Mutiara Hitam ini berkenan memberi hadiah kuda hitam­nya untuk Thian-liong-pang!"

Mendengar dirinya disebut-sebut se­bagai Sang Dewi Kwi Lan mengerutkan alisnya dan cemberut, melompat turun dari kuda dan berkata, "Harap jangan dengarkan obrolan Berandal ini! Kuda ini memang hendak kusampaikan kepada Thian-liong-pang, akan tetapi bukan ha­diah dariku, melainkan hadiah dari Khi­tan untuk Thian-liong-pang!"

Mendengar ucapan Kwi Lan berubah air muka dua belas orang "naga" dari Thian-liong-pang itu. Ma Kiu segera ber­kata, suaranya berubah ramah, "Ah, ki­ranya Ji-wi adalah utusan dari Pak-sin-ong? Sungguh merupakan penghormatan besar sekali terhadap Thian-liong-pang dan salah paham yang terjadi beberapa pekan yang lalu adalah kesalahan anak buah kami, mohon Ji-wi sudi memaaf­kan."

"Aku tidak tahu apa yang kaumaksud­kan." kata Kwi Lan setelah bertukar pandang dengan Hauw Lam. "Akan tetapi yang jelas, kuda ini bukan sembarangan kuda, melainkan kuda keturunan kuda pribadi Ratu Khitan. Harap Thian-liong-pang suka menerima. anugerah dari Ratu Khitan ini."

Kwi Lan bicara sejujurnya, karena di dalam hati ia tetap condong untuk mem­bela Ratu Khitan yang menurut penutur­an guru dan bibinya adalah ibu kandung­nya sendiri. Akan tetapi Ma Kiu men­dengar ini, mengangguk-angguk dan ber­tukar pandang dengan sebelas orang saudaranya.

"Kami mengerti.... kami mengerti dan terima kasih banyak.... katanya. Tentu saja Kwi Lan tidak mengerti apa yang ia maksudkan, akan tetapi melihat Hauw Lam berkedip kepadanya, ia pun diam saja. Ia lalu melompat turun dari kuda­nya dan memberikan kendali kuda kepada Ma Kiu. Calon ketua itu menggapai se­orang anggauta Thian-liong-pang yang tinggi besar.

"Bawa kuda ini ke kandang dan pe­lihara baik-baik beri makan minum se­cukupnya!"

Orang tinggi besar itu memberi hor­mat dan menerima kendali. Akan tetapi begitu ia menarik kendali, kuda hitam itu yang mencium bau orang baru dan merasai tarikan keras, segera mering­kik, membuka mulut dan menerjang orang tinggi besar itu! Si Tinggi Besar terkejut dan berusaha mengelak, namun terlambat, pundaknya kena digigit sehing­ga ia berkaok-kaok kesakitan dan ketika kuda itu melepaskan gigitannya, daging pundak berikut baju sudah robek dan da­rah membasahi semua bajunya! Tentu saja anggauta ini menjadi kaget dan melepaskan kendali kudanya. Hauw Lam tertawa bergelak. "Sudah kuberitahu, kuda ini bukan kuda sembarangan!"

"Hemm, memang kuda pilihan. Twa-suheng, biarlah aku yang membawanya ke kandang." Seorang laki-laki berusia ham­pir empat puluh tahun, bertubuh kecil kurus, melangkah maju, Dia ini adalah seorang di antara Cap-ji-liong dan begitu Ma Kiu menganggukkan kepala, Si Kurus sudah menyambar kendali kuda, lalu tu­buhnya melayang naik ke punggung kuda hitam. Kuda itu meringkik-ringkik dan meronta-ronta, namun dengan menjepit­kan kedua kaki ke perut kuda, Si Kecil Kurus tetap duduk dengan tenang, bahkan lalu membetot-betot kendali kuda. Kuda hitam makin marah, melonjak-lonjak dan meloncat-loncat tinggi menggerak-gerak­kan punggungnya. Kalau orang biasa ten­tu akan terlempar dari punggung kuda, akan tetapi ternyata Si Kecil Kurus itu lihai sekali. Tubuhnya mendoyong ke sana ke mari, namun ia dapat duduk tegak dan tetap. Akhirnya, setelah hidung dan bibir kuda mengeluarkan darah karena tertarik kendali, baru kuda hitam itu kelelahan dan menurut saja disuruh berjalan keluar dari dalam ruangan tamu!

Ma Kiu lalu mempersilakan dua orang tamu mudanya untuk duduk di bagian depan. Hauw Lam berbisik. "Mereka mengira bahwa kita ini tokoh-tokoh ke­percayaan Jin-cam Khoa-ong dan me­mang biasanya orang-orang Pak-sin-ong ini melakukan perjalanan sambil me­nyamar dan merahasiakan diri, karena selalu menjadi incaran orang pemerintah­an Khitan. Tentu Si Brewok tadi mengira kita berpura-pura menghadapi banyak tamu, maka ia bilang mengerti!" Pemu­da itu tertawa dan Kwi Lan juga ter­tawa geli. Pelayan datang dengan cepat membawa minuman arak wangi dan masakan-masakan lezat dan mahal. Kare­na memang sudah lapar dan sudah lama tidak bertemu makanan lezat, Hauw Lam dan Kwi Lan tidak sungkan-sungkan lagi. Kiranya pemuda jenaka itu adalah se­orang ahli makanan. Sambil mencoba dan mencicipi belasan macam masakan yang datang membanjir! meja mereka Hauw Lam tiada hentinya mengoceh untuk memperkenalkan tiap masakan kepada Kwi Lan.

"Ini kodok goreng istimewa. Kodok macam ini hanya terdapat dalam rawa-rawa dan daerah selatan saja, dagingnya empuk, gurih dan harum sedap. Maka harganya pun amat mahal. Sayang ini yang jantan, kalau yang betina lebih lezat. Akan tetapi kodok betina jarang disembelih orang karena dibutuhkan te­lurnya. Hanya Kaisar yang suka menyu­ruh buatkan kodok betina goreng!" Me­mang luar biasa masakan kodok goreng itu. Berbeda dengan swike biasa, kodok ini digoreng berikut kulitnya yang loreng-loreng, akan tetapi justeru kulitnya itu yang enak, kemripik seperti krupuk udang. Juga berbeda dengan swike biasa, tulangnya enak pula dimakan, tidak ke­ras.

"Wah, ini sop buntut menjangan na­manya! Dimasak sop dengan campuran kacang polong dan jamur kuning. Hebat! Tapi kalau terlalu banyak membuat badan panas dan darah mengalir cepat. Sedikit cukup untuk menghangatkan tu­buh. Dan ini masak tim kaki burung raja air! Kau tahu apa itu burung raja air? Bebek! Ini tim kaki bebek. Enak kenyil­kenyil dan gurih. Wah, yang di sana itu panggang ayam angkasa. Sedap!"

"Apa itu ayam angkasa?" Kwi Lan bertanya, gembira oleh penjelasan yang lucu ini.

"Ayam angkasa? Masa tidak tahu? Burung dara! Enak juga, cobalah."

Sampai kenyang sekali perut Kwi Lan karena pandainya Hauw Lam memper­kenalkan setiap masakan sehingga tak dapat ia bertahan untuk tidak mencicipi­nya.

"Eh, ini masakan apa? Mengapa dagingnya bundar-bundar tapi bukan bakso? Licin....!"

Hauw Lam mengulur leher menjenguk, lalu mengorek dengan sumpit untuk me­meriksa. "Ini....? Waaahh.... gila amat! Ini.... ini bukan makanan wanita! Celaka! yang begini dikeluarkan. Sialan benar!" Ia mengomel panjang pendek tanpa men­jawab pertanyaan Kwi Lan.

Gadis itu tentu saja menjadi tertarik sekali, "Masakan apa sih? Kenapa bukan makanan wanita?"

Heran sekali. Tiba-tiba muka Hauw Lam menjadi merah dan ia tampak ga­gap-gugup dalam menjawab. Padahal biasanya pemuda ini paling pandai bicara. "Masakan.... waaahhh, bagaimana ini....? Ini masakan.... masakan....hemmmm....!" Karena mereka berdua tadi bicara keras tanpa mempedulikan orang lain, tentu saja percakapan terakhir ini pun terde­ngar pula oleh para tamu yang duduk berdekatan. Mereka mulai tertawa-tawa geli menyaksikan sikap Hauw Lam ini.

"Ih, kenapa kau? Sudah mabokkah? Masa menjawab masakan saja begitu sukar? Kalau tidak mengenal, bilang saja terus terang, mengapa susah-susah amat?" Kwi Lan menegur.

"Siapa bilang aku tidak mengenal ma­sakan ini? Semua masakan di dunia per­nah kumakan. Aku pernah memasuki dapur kaisar, pernah ikut dalam perjamu­an Beng-kauw di selatan! Ini masakan.... daging kambing saus tomat!"

"Uhh, hanya daging kambing saja ke­napa tidak dari tadi menyebutnya? Kau bohong agaknya! Kalau benar hanya da­ging kambing, mengapa bentuknya bulat seperti ini? Dan mengapa pula tadi kau hilang ini bukan makanan wanita?"

"Ha-ha-ha-ha! Itu bukan daging kam­bing, melainkan.... peluru kambing. Ha-ha-ha!" Riuh rendah suara ketawa itu.

Hauw Lam dan Kwi Lan menengok. Sejak tadi mereka sudah tahu bahwa tidak jauh dari meja mereka, dalam ja­rak lima meter, terdapat enam orang anggauta pengemis baju bersih yang duduk mengelilingi meja dan sejak tadi memperhatikan mereka berdua. Enam orang pengemis itu rata-rata sudah ber­usia enam puluh tahun lebih, hanya yang dua inilah mereka masih muda dan kini dua orang inilah yang tertawa-tawa oleh ucapan seorang di antara mereka tadi. Pada saat itu, Kwi Lan dengan sumpit­nya telah menusuk dua potong daging kambing itu yang memang berbentuk bundar telur sebesar telur ayam.

"Hanya kambing jantan yang memiliki peluru itu, kambing betina tentu saja tidak punya. Akan tetapi keliru kalau orang bilang wanita tidak boleh mema­kannya, malah sebetulnya itu makanan wanita, apalagi wanita cantik....! Ha-ha-ha-ha!" komentar pengemis muda yang ke dua dan kembali dua orang yang duduknya menghadap kepada meja Kwi Lan tertawa-tawa sambil terang-terangan memandang kepada gadis itu.

Akan tetapi, mendadak dua orang pengemis muda yang sedang tertawa berkakakan itu terhenti ketawanya sete­lah mengeluarkan suara "ha-haaauupp!" dan mata mereka mendelik, tangan kiri mencekik leher dan tangan kanan menun­juk-nunjuk kebingungan ke arah mulut mereka yang ternganga. Tanpa diketahui orang lain saking cepatnya gerakan tangan Kwi Lan, dua buah daging bulat yang tadi berada di ujung sepasang sum­pitnya kini telah menyusup masuk ke tenggorokan dua orang itu melalui mulut yang tadi terbuka lebar-lebar.

Empat orang pengemis lain yang mengira bahwa dua orang temannya ini, tersedak makanan sibuk menolong, menepuk-nepuk punggung mereka dengan keras sambil bertanya-tanya. Akan te­tapi dua orang itu hanya dapat menge­luarkan suara seperti orang gagu karena kerongkongannya tersumbat. Akhirnya seorang di antara mereka terbatuk dan meloncat keluarlah daging bulat seperti telur ayam itu, sedangkan seorang lagi, karena daging itu belum keluar dan ia merasa napasnya hampir putus, dengan nekat lalu memasukkan sumpit ke mulut­nya dan mendorong daging di kerong­kongannya itu terus masuk! Akal ini menolong juga dan terhindarlah ia dari­pada bahaya maut tercekik.

Kwi Lan yang telah memberi hukum­an kepada dua orang pengemis muda yang berani mentertawakannya itu, kedua pipinya menjadi merah. Tidak hanya ka­rena marah, juga karena jengah setelah ia mendengar apa sebetulnya daging bulat-bulat itu. Diam-diam ia memaki tuan rumah yang mengeluarkan hidangan macam itu. Gadis ini memang masih asing dengan segala masakan-masakan kota, apalagi masakan-masakan yang begitu mewah. Semenjak kecil ia hanya makan masakan sederhana yang dibuat Bibi Bi Li. Kini untuk mengalihkan perha­tian dari masakan yang dianggapnya tidak pantas itu, lalu bertanya kepada Hauw Lam yang masih tertawa-tawa, mentertawakan keadaan dua orang pengemis tadi.

"Dan ini, apakah ini? Untuk apa? Kelihatannya seperti darah."

"Bukan darah. Itu namanya kecap, untuk bumbu menambah asin atau manis masakan."

Sementara itu, dua orang pengemis muda yang sudah bebas daripada daging-daging bulat, kelihatan marah-marah, ber­diri dan memandang ke arah meja Kwi Lan sambil melotot. Empat orang kawan­nya yang lebih tua juga sudah menengok semua dan mereka bicara berbisik-bisik satu kepada yang lain, wajah mereka mengancam. Agaknya mereka sedang mempertimbangkan apa yang akan me­reka lakukan terhadap dua orang muda itu tanpa mengganggu jalannya pesta. Mereka berenam hanyalah tokoh-tokoh biasa saja yang datang mewakili penge­mis golongan hitam, maka tentu saja mereka segan untuk membuat gaduh dan kacau dalam pesta perayaan pengangkat­an Ketua Thian-liong-pang. Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk me­nanti sampai upacara berakhir, barulah akan memberi hajaran kepada dua orang muda kurang ajar itu.

Pada saat itu terdengar ribut-ribut di luar, bentakan suara laki-laki mengiringi tangis wanita. Semua tamu menengok dan muncullah seorang laki-laki tinggi besar berjubah seperti pendeta, akan te­tapi rambutnya panjang riap-riapan dan mukanya seperti seekor singa, matanya lebar dan bersinar liar. Laki-laki berusia lima puluhan tahun ini memegang seba­tang cambuk panjang dan dengan cambuk ini ia menggiring dua belas orang wanita muda-muda dan cantik-cantik seperti se­orang penggembala menggiring ternak saja.Beberapa orang di antara wanita inilah yang mengeluarkan suara tangisan, dan yang lain berjalan dengan muka pucat dan mata penuh kecemasan.

Begitu memasuki ruangan itu, kakek ini tertawa dan wajahnya menjadi makin menyeramkan. Rambutnya yang riap-riap­an dan terhias bunga-bunga cilan, sema­cam bunga yang wangi, bergerak-gerak ketika ia tertawa. Melihat tamu ini,Thai-lek-kwi Ma Kiu berubah air mukanya, menjadi girang dan segera turun sendiri menyambut dan menjura.

"Wah, kiranya sahabat Ci-lan Sai­kong yang datang berkunjung. Sungguh merupakan kehormatan besar bagi kami."

"Huah-ha-ha-ha! Thian-liong-pang ter­kenal dengan Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) yang sungguh gagah perkasa. Kini yang tertua di antaranya akan menjadi ketua, benar-benar menambah keangkeran Thian-liong-pang. Pinceng (aku) datang. untuk memberi hormat kepada Sin-seng Losuhu, dan memberi selamat kepada Thian-liong-pang dengan ketua barunya, dan karena pinceng seorang miskin yang hanya suka mengumpulkan bunga-bunga harum maka pinceng hanya dapat mem­beri sumbangan dua belas tangkai bunga harum ini untuk hiasan kamar Dua Belas Naga dari Thian-liong-pang sehingga ka­mar mereka menjadi harum dan membuat mereka enak tidur. Ha-ha-ha!" Kemudian kakek itu membunyikan cambuknya di atas kepala dua belas orang gadis tawan­annya sambil membentak, "Hayo kalian lekas berlutut di depan majikan-majikan baru kalian!" Karena agaknya sudah tahu akan kekejaman kakek itu, dua belas orang gadis ini lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menundukkan muka.

Para tamu yang hadir terdiri dari orang-orang golongan hitam, maka peris­tiwa ini tidaklah mengherankan hati me­reka, malah banyak di antara mereka. tertawa-tawa dan terdengar komentar di sana-sini memuji dua belas orang gadis itu dan menyatakan betapa senangnya menerima sumbangan benda hidup seperti itu. Juga Thai-lek-kwi Ma Kiu dan adik-adik seperguruannya serta para anggauta Thian-liong-pang menganggap hal ini biasa dan sewajarnya saja. Akan tetapi karena saat itu adalah saat yang penting dan di situ terdapat banyak tamu, Ma Kiu merasa malu dan jengah juga. Ia kembali menjura dan berkata.

"Ah, Saudara Ci-lan Sai-kong mengapa begitu sungkan? Kami tidak mengharap­kan sumbangan. Kedatanganmu saja sudah cukup menggirangkan hati kami!" Sung­guhpun tidak menolak secara berterang, namun kata-kata ini menyatakan ketidak­senangan hati dengan sumbangan itu, karena diberikan bukan pada saatnya yang tepat.

"Ha-ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa sambil mengelus jenggotnya yang kaku. "Sudah kukatakan tadi, pinceng orang miskin dan hanya suka mengumpulkan cilan. Karena mendengar bahwa para pimpinan Thian-liong-pang mempunyai kesukaan yang sama dengan pinceng maka pinceng membawa dua belas tang­kai kembang ini. Jangan Sicu (Tuan yang Gagah) khawatir, bunga-bunga ini masih murni, datang dari keluarga baik-baik dan sengaja kupilih untuk Sicu sekalian!"

Pada saat itu, Si Tua Renta Sin-seng Losu yang tadinya duduk melenggut mengantuk di atas kursi, kini tiba-tiba nampak segar, dan tidak mengantuk lagi. Ia duduk tegak di kursinya, matanya yang setengah lamur itu dilebar-lebarkan untuk memandangi dua belas orang gadis yang berlutut di atas lantai. Kemudian seperti seorang mimpi ia berkata,

"Sumbangan paling berharga diberikan orang, kenapa banyak rewel? Kalau tidak suka, boleh giring semua ke kamarku!"

"Huah-ha-ha-ha!" Ci-lan Sai-kong ter­tawa bergelak sambil berdongak sehingga perutnya yang besar bergerak-gerak turun naik, "Sin-seng Losu benar-benar menga­gumkan sekali. Orang boleh tua tapi hati harus tetap muda! Kalau Losuhu meng­hendaki, lain kali boleh pinceng kirim beberapa tangkai bunga yang lebih muda, lebih cantik dan lebih harum!"

"Heh-heh, terima kasih.... ini sudah cukup.... banyak ...."

Biarpun dia sendiri seorang yang tidak pantang melakukan segala macam mak­siat, namun sebagai calon ketua perkum­pulan besar, Ma Kiu merasa malu juga mendengar percakapan kasar ini. Maka untuk mencegah agar suhunya yang sudah pikun dan jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) Ci-lan Sai-kong itu tidak menge­luarkan omongan-omongan yang tidak patut lagi, ia segera menjura.

"Banyak terima kasih atas sumbangan­mu, kami persilakan duduk dan menik­mati hidangan sekadarnya!" sambil me­nyuruh adik-adik seperguruannya memba­wa para gadis itu ke belakang, ia sendiri lalu mengantar tamu ini ke tempat du­duknya.

Hauw Lam mengerutkan alisnya, mu­kanya yang tampan dan biasa bergembira itu berubah sama sekali, sepasang mata­nya memancarkan sinar kemarahan Kwi Lan melihat hal ini dan merasa heran. Mengapa pemuda, ini marah-marah?

"Kau kenapa?" Ia bertanya lirih.

"Kenapa? Hemm, tidakkah kaulihat mereka tadi....?" Hauw Lam menjawab dengan pertanyaan pula. "Ci-lan Sai-kong itu, jai-hwa-cat terkutuk...."

"Apa itu jai-hwa-cat?"

Dalam kemarahannya, Hauw Lam berubah gemas dan mengomel. "Kau ini benar-benar tidak tahu apa-apa! Tidak mengenal masakan masih tidak aneh, akan tetapi seorang dara dengan kepan­daian seperti kau ini yang patut menjagoi dunia kang-ouw, tidak tahu apa itu jai-hwa-cat benar-benar bikin hati men­dongkol. Sekan-akan kau mempermainkan aku dan pura-pura tidak tahu!"

Kwi Lan makin heran melihat pemuda ini bertambah kemarahannya. "Eh, kau kenapa sih? Mabok agaknya, ya? Aku benar-benar tidak tahu, kau marah-ma­rah. Hayo jelaskan, apa sih yang dinama­kan jai-hwa-cat itu? Kakek itu menjemukan, buruk kasar dan menjijikkan, tapi ia seperti seorang pendeta. Apakah jai-hwa-cat itu seorang pendeta? Setahuku, pendeta suka memetik daun-daun dan menggali, akar-akar untuk obat. Memetik bunga (jai-hwa) untuk apa?"

"Kau benar bodoh, Mutiara Hitam !

Pendeta itu hanya berkedok pendeta, akan tetapi di balik kedoknya, ia pen­jahat yang sejahat-jahatnya. Yang dimaksudkan bunga adalah seorang gadis atau seorang wanita muda. Dia bukan meme­tik bunga biasa, melainkan tukang culik dan ganggu gadis-gadis muda, Kaulihat dua belas gadis itu...."

"Hemm, mereka itu orang-orang tidak punya guna. Mereka mau saja dijadikan barang sumbangan. Perlu apa dipikirkan boneka-boneka hidup itu?"

"Mereka dipaksa!"

"Ih, aku tidak melihat mereka dipaksa. Mereka berjalan dengan sukarela sama sekali tidak melawan."

"Mereka orang-orang lemah, bagaima­na berani melawan?"

Kwi Lan mengangkat kedua pundak. Ia tetap tidak mengerti dan tidak mem­pedulikan nasib dua belas orang wanita tadi. Hauw Lam makin mendongkol. Ga­dis aneh yang telah merampas hatinya ini agaknya selain berwatak luar biasa, juga, hatinya keras dan tidak mempeduli­kan nasib orang lain.

Tiba-tiba terjadi keributan kembali dan masuklah dari ruangan depan seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih tinggi kurus dan wajahnya tampang sikapnya agung dan pakaiannya biarpun tidak baru, namun bersih dengan potongan pakaian pelajar. Di pinggang orang ini tergantung sebatang pedang. Begitu ma­suk, semua orang tahu bahwa pelajar tua ini sedang marah, sepasang matanya yang tajam mengeluarkan sinar. Ia lang­sung melangkah lebar ke dalam ruangan tamu, berhenti di depan Sin-seng Losu lalu menudingkan telunjuknya dan ber­teriak.

"Sin-eng Losu! Bagaimana pertang­gunganjawabmu terhadap Thian-liong-pang? Kulihat betapa Thlan-liong-pang berubah menjadi perkumpulan iblis yang jahat dan yang mengotorkan nama kami para patriot Hou-han! Tadinya melihat muka mantumu, Siangkoan Bu yang gagah perkasa dan dapat membawa Thian-liong-pang ke jalan benar, aku masih bersabar menyaksikan sepak terjangmu. Akan te­tapi setelah Siangkoan Bu meninggal, kau dan murid-muridmu makin merajalela melakukan kejahatan-kejahatan yang keji, menyeret nama bersih Thian-liong-pang sebagai tempat perkumpulan para patriot Hou-han menjadi perkumpulan bangsat-bangsat dan penjahat-penjahat!"

Mendengar ucapan ini Ma Kiu melompat bangun diturut sebelas orang adik seperguruannya. "Heh, orang she Ciam! Engkau dahulu memang tokoh Thian­-liong-pang, akan tetapi dengan kehendak­mu sendiri kau pergi mengundurkan diri sehingga kalau tidak ada Suhu kami, tentu Thian-liong-pang sudah bubar dan hancur diperhina orang lain. Kini Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang besar, dihormati orang di dunia kang­ouw, dan kau berani datang bersikap kurang ajar terhadap Suhu? Apakah kau sudah bosan hidup?"

"Ciam-sicu, mengingat engkau masih bekas pemimpin Thian-liong-pang dan mengingat akan hubungan kita yang lalu, biarlah kumaafkan kata-katamu yang kasar tadi." Terdengar Sin-seng Losu berkata tenang. "Akan tetapi katakanlah mengapa datang-datang kau memaki dan marah-marah? Bukankah anak buahku sudah pula memberi kabar kepadamu dan memberi undangan?"

"Aku tidak peduli akan upacara peng­angkatan ketua baru, asal saja Thian-liong-pang dibawa ke jalan benar. Akan tetapi, aku sedang mengejar Ci-lan Sai-kong Si Penjahat Pemetik Bunga yang terkutuk, yang telah menculik belasan orang gadis. Siapa kira, dua belas orang gadis itu diculiknya untuk diantarkan ke sini! Hayo menyangkallah kalau bisa! Bukankah Sai-kong keparat itu mengan­tarkan mereka ke sini sebagai sumbangan? Beginikah wataknya para pimpinan Thian-liong-pang sekarang? Begini rendah dan bejat?"

"He-heh, Ciam-sicu. Apa pun yang di­persembahkan orang, kalau itu merupakan sumbangan, tidak baik untuk ditolak. Menolaknya berarti menghina dan tidak menghargai maksud baik orang lain. Memang kami telah menerima sumbangan Ci-lan Sai-kong. Akan tetapi kalau kau menghendaki mereka, biarlah kuberikan mereka kepadamu," Kembali Ketua Thian-liong-pang itu berkata penuh kesabaran. Ia sebetulnya tidak takut terhadap orang she Ciam itu, akan tetapi mengalah karena mengingat akan perhubungan me­reka yang lalu. Ciam Goan ini dahulu adalah seorang di antara pimpinan Thian­-liong-pang dan terkenal aktif serta setia terhadap perkumpulan. Baru sepuluh tahun yang lalu, karena makin tidak suka akan sepak terjang pimpinan baru ia mengundurkan diri dan tidak pernah mencampuri Thian-liong-pang. Baru sekarang ia tiba-tiba muncul dan marah­-marah karena melihat betapa penjahat pemetik bunga yang dikejar-kejarnya itu memberikan gadis-gadis culikannya seba­gai sumbangan kepada pimpinan Thian-liong-pang!

"Sin-seng Losu! Kau masih mempunyai rasa malu, itu bagus. Lekas bebaskan dua belas orang gadis itu dan selanjutnya aku tidak akan mencampuri urusan Thian-liong-pang lagi karena semenjak saat ini, aku bersumpah takkan sudi lagi menginjak lantai ini!"

Mendengar kata-kata ini, Sin-seng Losu menoleh ke arah dua belas orang muridnya. Sikapnya jelas hendak menga­lah dan gerakan mukanya merupakan perintah agar murid-muridnya membebas­kan dua belas orang gadis sumbangan Ci­-lan Sai-kong. Di dalam hatinya Ma Kiu dan adik-adiknya merasa mendongkol dan marah sekali. Mereka memang suka dengan wanita-wanita cantik, akan tetapi bagi mereka amat mudah mendapatkan wanita cantik, baik dengan mengandalkan uang, kedudukan, maupun kepandaian dan tentu saja mereka tidak begitu kukuh,untuk menahan dua belas orang gadis tadi. Akan tetapi, sikap Ciam Goan amat merendahkan mereka dan kalau mereka mengalah, mereka merasa malu kepada para tamu. Selain itu, mereka pun tahu bahwa gurunya mengalah hanya karena mengingat bahwa Ciam Goan ini dahulu bekas pemimpin Thian-liong-pang. Soal kepandaian, sungguhpun Ciam Goan cukup lihai, namun mereka tidak gentar meng­hadapinya. Karena inilah, Ma Kiu menja­di ragu-ragu untuk menyetujui sikap gurunya yang mengalah.

Pada saat itu, terdengar suara ketawa keras dan Ci-lan Sai-kong sudah me­lompat bangun menghadapi Ciam Goan. Sambil bertolak pinggang orang tinggi besar itu tertawa dan berkata. "Huah­-ha-ha-ha! Cacing kurus yang bicara besar dan sombong! Engkau bilang mengejar dan mencari pinceng? Dua belas tangkai bunga itu adalah pinceng yang menyum­bangkan kepada dua belas orang gagah Thian-liong-pang, dan karena pinceng masih berada di tempat ini, masih menjadi tanggung jawab pinceng!"

"Bagus! Memang aku akan membunuhmu, jai-hwa-cat!" bentak Ciam Goan de­ngan marah. Bekas tokoh Hou-han ini ti­dak peduli akan semua tamu lain karena kemarahannya sudah meluap-luap. Yang membuat marah sekali bukan hanya meli­hat penjahat cabul penculik gadis-gadis remaja itu, melainkan terutama sekali ka­rena melihat betapa Thian-liong-pang yang tadinya menjadi harapan para patriot Hou-han untuk membangun kembali ke­rajaan yang sudah runtuh, kini ternyata menyeleweng menjadi sarang penjahat kejam terkutuk. Maka kini dengan kema­rahan meluap ia mencabut pedangnya dan langsung menerjang Sai-kong itu dengan tusukan kilat ke arah dada, Harus dike­tahui bahwa Ciam Goan ini adalah putera tunggal mendiang Ciam-ciangkun seorang panglima Kerajaan Hou-han dan dalam hal ilmu pedang, ia telah digem­bleng oleh seorang pamannya, adik ibu­nya, juga seorang panglima, yaitu Pang­lima Giam Siong yang terkenal jagoan. Ilmu pedangnya bersumber kepada ilmu pedang Kun-lun-pai, maka mengutamakan kecepatan gerak dan perubahan.

Mendengar suara angin pedang ber­desing dan melihat serangan yang cepat ini, Ci-lan Sai-kong tidak berani meman­dang rendah. Sambil berseru keras ia sudah meloncat mundur sambil mengibas­kan lengan bajunya yang lebar dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya sudah menghunus keluar sebatang golok tipis yang mengkilap saking tajamnya.

Ujung pedang di tangan Ciam Goan sudah datang lagi dengan tusukan kearah leher. Kini Ci-lan Sai-kong menggerakkan goloknya menangkis sambil me­ngerahkan tenaganya. Sai-kong ini adalah seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) se­hingga tenaganya amat besar. Terdengar bunyi nyaring ketika dua senjata beradu. Diam-diam Ciam Goan terkejut sekali. Untung tadi sudah menduga akan be­sarnya tenaga lawan, sehingga ia telah mengerahkan Iwee-kang dan ketika pedangnya ditangkis, ia dapat menghadapi tenaga keras dengan tenaga lemas. De­ngan cara ini, walaupun tertangkis keras,pedangnya tidak terpental melainkan menempel pada golok sehingga tidak ada bahaya terlepas atau rusak.

Selagi Sai-kong itu terkejut karena tangkisannya yang keras tidak berhasil membuat pedang lawan terpukul jatuh, Ciam Goan sudah membuat pedangnya meleset dan langsung dengan gerakan nyerong pedangnya itu menyambar ke arah lengan kanan lawan. Inilah jurus ilmu pedang Kun-lun yang bernama Hun­in-toan-san (Awan Melintang Putuskan Gunung), amat berbahaya karena yang diserang bukan bagian tubuh lain melain­kan lengan kanan yang memegang golok! Hebatnya jurus ini adalah karena pedang itu akan terus mengulang gerakannya membabat dari kanan ke kiri dan sebalik­nya tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Kecepat­annya mengandalkan kepada gerak per­gelangan tangan, maka cepatnya bukan main dan lawan yang diserang tentu akan menjadi bingung.

Demikian pula dengan Ci-lan Sai-kong. Melihat pedang lawannya memba­bat ke arah lengan kanannya, ia kaget sekali dan cepat ia menarik lengan kanannya sambil memutar golok, siap membalas. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedang yang lewat ke sebelah kirinya itu kini membalik dengan kece­patan kilat dan telah membabat lagi ke arah pinggangnya! Tak disangkanya lawan akan dapat mengulangi serangan sedemikian cepatnya, maka ia pun menggerak­kan golok menangkis. Namun tetap saja Ciam Goan dapat terus menyambung serangannya, begitu tertangkis, pedangnya membalik dan meluncur dengan babatan dari samping, demikian pula kalau di­elakkan sehingga Sai-kong itu mengalami penyerangan berantai yang membuat dia repot menyelamatkan diri.

Akan tetapi, Ci-lan Sai-kong juga bukan seorang lemah. Selain memiliki dasar ilmu silat tinggi, juga ia sudah kenyang akan pengalaman bertanding. Inilah sebabnya maka menghadapi serangan Hun-in-toan-san yang amat lihai ini ia pun tidak kekurangan akal. Melihat beta­pa pedang lawan selalu membabat dari kanan ke kiri dan sebaliknya, sedangkan yang diserang adalah pinggang ke atas, tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan keras dan tubuhnya lalu rebah dan menggelin­ding ke atas tanah. Ia tidak hanya meng­gelinding untuk menyelamatkan diri, me­lainkan juga berguling untuk mendekati lawan dan goloknya menyambar-nyambar dari bawah, membabat kaki lawan dan juga ada kalanya menusuk ke arah perut. Inilah Tee-tong-to (Ilmu Golok Berguling­an) yang amat berbahaya. Segera keada­an menjadi berubah. Kalau tadi Ciam Goan berada di pihak penyerang dan pendesak dengan jurus Hun-in-toan-san, kini Si Penjahat Pemetik Bunga itu yang mendesak dengan Tee-tong-to. Ciam Goan menjadi repot sekali, harus melon­cat ke sana ke mari dan pedangnya melindungi tubuh bagian bawah, bagian yang amat sulit dilindungi dengan pedang.

"Wah, ramai betul!" Hauw Lam berkata dengan wajah gembira. "Kalau tidak hati-hati orang she Ciam itu tentu akan celaka."

"Tidak mungkin!" bantah Kwi Lan.

"Biarpun ilmu pedangnya hanya permainan kanak-kanak, sedikitnya ia lebih baik daripada brewok itu."

"Hauw Lam melirik ke arah gadis ini. Terlalu sombongkah gadis ini, atau me­mang betul-betul berkepandaian begitu tinggi sehingga menganggap ilmu pedang Ciam Goan yang jelas bersumber ilmu pedang Kun-lun itu dianggap permainan kanak-kanak.

"Kumaksudkan bukan dalam pertan­dingan melawan Sai-kong itu. Melawan dia, kiranya takkan kalah karena kulihat Sai-kong itu hanya luarnya saja kelihatan kuat, akan tetapi dalamnya sudah lapok seperti pohon tua, napasnya sudah hampir putus. Yang kukhawatirkan adalah orang-orang Thian-liong-pang. Lihat saja sikap Dua Belas Naga itu dan kurasa Ciam Goan belum tentu akan dapat meninggal­kan tempat ini dengan selamat."

Kini Kwi Lan yang merasa heran. Ia tidak berkata apa-apa, akan tetapi hati­nya penasaran. Ia belum berpengalaman seperti Hauw Lam, tidak mengenal watak orang-orang kang-ouw.

Sementara itu, pertandingan antara dua orang itu makin seru. Kini Ci-lan Sai-kong tidak lagi menggunakan Tee-tong-to karena setelah puluhan jurus ia lakukan tanpa hasil, ia menjadi kelelahan sendiri. Memang Tee-tong-to sungguhpun lihai dan berbahaya bagi lawan, namun untuk memainkannya membutuhkan te­naga dan napas panjang. Adapun Ci-­lan Sai-kong, sungguhpun terlatih baik dan banyak pengalaman, namun tepat seperti dikatakan Hauw Lam tadi di sebelah dalam tubuhnya ia sudah lemah. Sai-kong ini adalah seorang abdi nafsu, seorang yang selalu mengumbar nafsu sehingga tentu saja kekuatan-kekuatan sebelah dalam tubuhnya menjadi lemah dan mana ia mampu bertahan melawan seorang yang ulet dan kuat seperti Ciam Goan? Kini keringatnya sudah membasahi muka dan leher, napasnya mulai ter­engah-engah seperti orang dikejar setan.

Melihat keadaan lawan ini, Ciam Goan lalu mendesak dan menerjang de­ngan jurus Seng-siok-hut-si (Musim Panas Kebut Kipas). Jurus ini amat gencar seperti gerakan kipas di tangan, bahkan lebih gencar serangannya daripada jurus Hun-in-toan-san tadi. Tiga kali Sai-kong itu mengelak dan menangkis, keempat kalinya ketika ujung pedang menotok iga kiri, ia cepat melakukan jurus Hwai-tiong-po-gwat (Peluk Bulan Depan Dada) untuk melindungi iganya dengan golok sambil tangan kirinya bergerak memukul dada lawan. Namun siapa kira, Ciam Goan sudah merobah gerakan pedangnya, ia tidak jadi menotok iga, melainkan memutar pedangnya ke kanan dan.... "crakkkk!" lengan kiri Sai-kong itu terba­bat putus sebatas siku!

"Aduhh....!" Sai-kong itu terhuyung dan Ciam Goan sudah menerjang maju untuk mengirim tusukan terakhir. Akan tetapi pada saat itu tampak sinar putih meluncur cepat dan "traanggg....!" pe­dang di tangan Ciam Goan terpental dan lepas dari pegangannya. Sebatang sumpit gading yang tadi menghantam pedang itu jatuh ke atas lantai di depannya.

Pucat wajah Ciam Goan. Kiranya Ma Kiu yang menyambitkan sumpit itu untuk menangkis pedangnya dan menyelamatkan nyawa Ci-lan Sai-kong. Lemparan sumpit saja sudah dapat meruntuhkan pedangnya. Baru lemparan sumpit begitu hebat, apa­lagi kalau orangnya maju! Ciam Goan menghela napas dan berkata,

"Kepandaian Thai-lek-kwi memang hebat. Seorang saja sudah sehebat itu, apalagi kalau Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang maju bersama. Akan tetapi aku Ciam Goan seorang laki-laki yang tidak takut mati. Majulah kalian semua dan mari kita mengadu nyawa di sini!" Sikap Ciam Goan benar-benar amat ga­gah sehingga diam-diam Kwi Lan menjadi kagum sekali. Diam-diam gadis ini sudah siap-siap untuk membela orang gagah itu. Ia mendengar kawannya berbisik, "Kalau dia. dikeroyok, hemmm.... akan kucabuti semua rambut dari muka Ma Kiu berikut bulu-bulu hidungnya!" Mau tidak mau Kwi Lan tertawa geli mendengar ucapan ini. Karena gadis wajar dan polos, maka suara ketawanya tidak ia tahan-tahan. Padahal waktu itu, keadaan sudah amat tegang dan amat sunyi. Tidak ada suara keluar dari para tamu yang menanti perkembangan selanjutnya yang mene­gangkan. Tentu saja suara ketawa gadis ini terdengar jelas.

Sin-seng Losu lalu bangkit berdiri. Suara ketawa Kwi Lan tadi seakan-akan menampar mukanya dan ia berkata, "Sudahlah kami sedang hendak melakukan upacara penting tidak perlu pertandingan dilanjutkan berlarut-larut. Apalagi, kami tidaklah serendah itu untuk melakukan pengeroyokan terhadap seorang yang tidak berapa pandai seperti Ciam-sicu, kau sudah berhasil mengalahkan Ci-lan Sai-kong, nah, tidak lekas pergi dari sini mau tunggu apa lagi?"

Ciam Goan menghela napas dan ber­kata, "Aku harus tahu diri, tak mungkin dapat melawan kalian. Biarlah dua belas orang gadis ini tersiksa di sini, aku tidak berdaya menolong. Akan tetapi ingat, Ciam Goan bukan seorang yang mudah melupakan kejahatan macam ini. Lain kali kita bertemu pula!" Setelah berkata demikian, Ciam Goan memungut pedang­nya lalu pergi meninggalkan tempat itu. Ci-lan Sai-kong sudah ditolong dan diobati lengannya yang buntung, tempat itu sudah dibersihkan oleh pelayan dan Ci­-lan Sai-kong sudah disuruh mengaso di kamar belakang.

"Cu-wi sekalian dipersilakan berdiri, upacara akan dilakukan sekarang juga!" Sin-seng Losu berseru keras dan semua tamu bangkit berdiri dari tempat duduk masing-masing. Biarpun merasa tak se­nang, Kwi Lan yang melihat Hauw Lam berdiri dengan muka melucu, terpaksa bangkit juga. Suasana kembali menjadi sunyi sehingga langkah seorang murid kepala Thian-liong-pang yang membawa panci, diikuti saudara-saudaranya, ter­dengar nyata. Sambil berlutut murid itu memberikan panci kepada Sin-seng Losu yang sudah bangkit berdiri dari kursinya. Dengan kedua tangan ia memegang panci itu dan pada saat itu Thai-lek-kwi Ma Kiu maju dan berlutut menghadap para tamu. Seorang murid lain datang pula dari be­lakang dan terdengarlah hiruk-pikuk suara anjing menggonggong. Kiranya murid ini datang menyeret seekor anjing hitam ke depan gurunya. Tanpa berkata sesuatu Sin-seng Losu menggerakkan tangan kiri dengan dua jari terbuka, menusuk leher anjing hitam itu. Terdengar anjing itu menguik keras akan tetapi oleh murid tadi ekornya dipegang dan tubuhnya di­angkat ke atas. Dari lehernya yang ber­lubang bercucuran darah yang ditampung oleh Sin-seng Losu ke dalam panci tadi. Anjing tadi meronta-ronta dan menguik­nguik, akhirnya darahnya habis dan ia berhenti berkelojotan. Bangkainya lalu dilemparkan ke sudut oleh Si Murid yang lalu mengundurkan diri. Beberapa orang pelayan lalu mengangkat bangkai itu ke belakang dan Kwi Lan mendengar suara Hauw Lam berbisik di belakangnya, "Hemm, tentu dimasak daging anjing itu."

"Ihhh....!" Kwi Lan berseru kaget, akan tetapi mereka lalu mengalihkan perhatian lagi ke tengah ruangan di ma­na Sin-seng Losu memegang panci berisi darah anjing hitam. Kakek ini lalu meng­angkat panci tinggi-tinggi dan berkata.

"Dengan disaksikan oleh Cu-wi seka­lian, dan dengan syarat sudah ditentukan dalam perkumpulan Thian-liong-pang ka­mi, saat ini aku menyerahkan kedudukan Pangcu (Ketua) kepada muridku yang pertama, Ma Kiu. Nyawa anjing hitam itu menjadi saksi dan darahnya mengha­lau semua iblis yang hendak mengganggu tugasnya!" Setelah berkata demikian, Sin­seng Losu menyiramkan darah anjing hitam itu ke atas kepala Ma Kiu yang botak!

"Ihhh....!" kembali Kwi Lan berseru dan seperti terpesona ia pun menuangkan kecap dari botol ke dalam cangkirnya sampai penuh! Kecap itu kental dan me­rah seperti darah.

"Hemmm, benar-benar keji dan ko­tor." bisik Hauw Lam di belakangnya. "Mutiara Hitam, aku sudah muak dan gatal-gatal tanganku diam saja sejak tadi di sini. Apakah menyaksikan lagak badut-badut ini kita harus diam saja? Hayo kau ramaikan tontonan di sini, kautarik perhatian mereka dan aku akan masuk menolong gadis-gadis tadi. Atau aku yang memancing keributan sedangkan kau yang menolong ....?"

"Ah, peduli amat dengan mereka. Kalau kau mau menolong, pergilah. Aku.... aku ingin mencoba sampai di mana kelihaian mereka ini!"

Hauw Lam mengangguk lalu diam-diam ia menyelinap pergi menggunakan kesempatan selagi semua orang mencurahkan perhatian kepada upacara peng­angkatan ketua baru. Kwi Lan yang memang sejak tadi mendongkol dan tidak senang, mendengar niat Hauw Lam hen­dak menolong dua belas orang gadis-gadis itu, entah mengapa hatinya makin tidak senang lagi. Dan kini ia ingin menum­pahkan kemarahan hatinya kepada orang-orang Thian-liong-pang. Ia membawa cangkir kecap itu menuju ke depan, lalu berkata.

"Pangcu yang baru diangkat dengan siraman darah anjing. Kalau dia suka darah biarlah aku mengucapkan selamat dengan darah naga ini!" Kwi Lan ter­senyum manis dan begitu ia menggerak­kan tangan kanan, "darah" dalam cang­kirnya menyiram keluar dan dengan ke­cepatan luar biasa menyambar kepala dan muka Ma Kiu yang masih berlepotan darah akan tetapi sudah duduk di kursi ketua yang tadi diduduki suhunya!

Namun Ma Kiu memang lihai. Tanpa turun dari kursinya, ia mengerahkan te­naga dan.... berikut kursi yang diduduki­nya ia telah meloncat kursinya itu telah pindah ke kiri sejauh satu meter! Akan tetapi karena sambaran kecap itu luar biasa cepatnya, ia tidak dapat menghindarkan lagi sebagian kecap me­nyiram pipinya dan memasuki mulutnya. Ketika ia tahu bahwa yang menyiram mukanya adalah kecap, mengertilah Ma Kiu bahwa gadis itu sengaja mencari gara-gara. Akan tetapi karena tadi mengira bahwa gadis itu adalah utusan Jin-cam Khoa-ong, Ma Kiu masih menahan kemarahannya, lalu berseru dengan nada marah.

"Nona sebagai tamu yang kami hor­mati, sebagai utusan Pak-sin-ong yang kami muliakan, apakah arti perbuatanmu ini?"

Kwi Lan tersenyum mengejek. Sejak tadi ia sudah tidak senang kepada mereka, terutama Ma Kiu. Ia memang tidak peduli akan nasib dua belas orang wanita muda tadi, akan tetapi mereka itu ia anggap terlalu sombong, tidak memandang mata kepadanya sehingga melakukan apa saja di depannya seakan-akan ia tidak akan bisa berbuat sesuatu! Memang watak Kwi Lan aneh sekali dan ia hanya selalu menurutkan perasaan hatinya. Kalau perasaan hatinya suka, seperti terhadap Hauw Lam, ia pun akan bersikap baik.

"Artinya, Brewok, bahwa aku setuju dengan ucapan orang she Ciam tadi, bahwa Thian-liong-pang dipimpin oleh orang-orang yang busuk! Bahwa kuanggap engkau seorang yang suka mandi darah anjing hitam, tak patut menjadi Ketua Thian-liong-pang, patutnya menjadi tukang jagal anjing!"

Semua orang terbelalak kaget mendengar ini dan semua tamu menahan napas. Omongan itu merupakan penghina­an yang tiada taranya! Apalagi bagi me­reka yang mengenal bahwa dahulunya Ma Kiu adalah seorang tukang jagal, maka omongan gadis itu yang entah disengaja atau tidak mereka tidak tahu tentu amat menyakitkan hati ketua baru Thian-liong-pang ini. Dan memang sesungguhnyalah, setelah sesaat terbelalak seperti arca saking kaget dan herannya, wajah Ma Kiu perlahan-lahan menjadi merah sekali sampai ke telinganya. Kedua tangannya mencengkeram lengan kursinya dan kalau ia tidak ingat bahwa kursi itu adalah kursi ketua tentu telah diterkamnya hancur lengan kursi itu untuk melampiaskan kemarahannya.

"Bocah kurang ajar!" bentaknya, Suaranya menggetar saking marahnya. "Biarpun engkau utusan dari utara, apa kaukira kau boleh bersembunyi di balik nama Jin-Cam Khoa-ong untuk menghinaku?"

Kwi Lan tertawa, menggunakan tangan kanannya secara main-main meremas cangkir bekas kecap tadi sehingga cangkir itu hancur lebur menjadi tepung dalam genggaman tangannya yang berkulit halus lalu berkata.

"Siapa bilang aku kaki tangan Jin-cam Khoa-ong? Biar dia algojo manusia maupun algojo anjing seperti engkau, aku sama sekali tidak mengenalnya. Sia­pa kesudian bersembunyi di belakang namanya?"

Mendengar ini, kembali semua orang melengak kaget. Kalau dara remaja itu tadi bersikap ugal-ugalan dan kurang ajar, mereka semua mengira bah­wa gadis itu adalah kepercayaan Jin-cam Khoa-ong dan hal itu tidaklah begi­tu aneh. Akah tetapi setelah kini gadis itu sendiri menyangkal menjadi orang Pak-sin-ong dan berani menghina tokoh besar itu pula di depan orang banyak, benar-benar mereka menjadi kaget dan heran sekali. Gilakah dara remaja ini? Kalau gila, alangkah sayangnya, dara re­maja begitu cantik jelita!

Lebih-lebih lagi Ma Kiu sendiri. Ke­marahannya meluap-luap dan diam-diam ia pun lega bahwa dara ini bukan utusan Jin-cam Khoa-ong, karena dengan ke­nyataan ini ia boleh berbuat sesuka hati­nya, terhadap gadis ini. "Bagus!" teriak­nya sambil bangkit berdiri. "Kalau begi­tu, biarlah kau menjadi tawanan kami dan akan kaurasakan penderitaan yang akan membuat kau merindukan kemati­an!" Dalam suara ini terkandung ancaman yang hebat dan mengerikan. Akan tetapi Kwi Lan tidak mengenal apa itu artinya takut dan ngeri. Ia malah tertawa.

"Sudah, jangan membadut lagi. Sudah sejak tadi aku muak mendengar dan me­lihat segala yang terjadi di sini. Lekas keluarkan kuda hitamku, Nonamu hendak pergi!" Sambil berkata demikian Kwi Lan menggunakan tangan kiri untuk menge­but-ngebutkan bajunya. Karena ia baru saja melakukan perjalanan jauh bersama Hauw Lam dengan naik kuda, tentu saja pakaiannya banyak debunya dan begitu ia kebut-kebutkan, debu mengepul ke seke­lilingnya dan mengotori meja-meja tamu lainnya.

"Wanita keparat! Kau belum tahu lihainya tuan besarmu!" Thai-lek-kwi Ma Kiu sudah tak dapat menahan kemarah­annya lagi dan kini hendak melangkah maju. Akan tetapi terdengar suara Sin­-seng Losu di belakangnya.

"Seorang ketua tidak sepatutnya melayani segala anak kecil. Apakah Thian-liong-pang sudah tidak ada orang lain untuk membereskan kuda betina liar ini? Hayo, siapa berani maju menangkapnya? Tangkap dan bawa ke kamarku, aku butuh yang liar macam ini untuk menambah semangatku!"

Untung bahwa Kwi Lan masih hijau dan tidak tahu apa yang dimaksudkan kakek ini. Kalau ia tahu tentu ia takkan dapat menahan kemarahannya lagi. Tiba­-tiba dari golongan tamu melompat keluar seorang laki-laki muda yang berpakaian tambal-tambalan namun bersih. Pengemis muda ini menjura ke arah kursi ketua dan berkata.

"Betul apa yang dikatakan Losuhu tadi. Thian-liong-pang tidak perlu repot-repot, di antara tamu-tamu yang hadir masih banyak yang sanggup menangkap bocah ini. Biarlah saya menangkap siluman cantik ini untuk Thian-liong-pang!"

"Ha-ha-ha, sahabat-sahabat dari Hek-coa Kai-pang memang selalu merupakan sahabat-sahabat baik kami. Tidak per­cuma bersahabat dengan Hek-coa Kai-pang. Silakan Siauw-sicu" kata Sin-seng Losu.

Pengemis muda itu dengan lagak sombong, mengangkat muka dan membusungkan dadanya, melangkah maju menghampiri Kwi Lan. Dia adalah seorang di antara dua pengemis muda yang tadi di­paksa menelan daging kambing oleh Kwi Lan, maka tentu saja ia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membalas penghinaan tadi. Akan tetapi karena wataknya memang mata keranjang, begitu melihat wajah jelita, hatinya sudah ber­debar-debar dan timbul niat hatinya untuk mempermainkan Kwi Lan. Ia ter­senyum dibuat-buat, matanya memandang kurang ajar, dan berkata,

"Nona kecil bermulut besar! Kau ti­dak tahu tingginya langit lebarnya bumi! Berani mengacau Thian-liong-pang dan tidak memandang sebelah mata kepada para tamunya. Dosamu besar sekali dan sudah sepatutnya kau dihukum mati. Akan tetapi tuan mudamu yang melihat bahwa kau masih muda remaja dan cantik jelita, bersedia memberi ampun asal saja kau suka berlutut dan menganggukkan kepala delapan kali lalu berjanji akan melayani dengan manis segala kehendak Sin-seng Losuhu dan.... aduuuhhh...." Pengemis muda itu tidak melanjutkan kata-katanya karena ia keburu mati dengan gosong dan tulang-tulangnya remuk.

Pukulan Kwi Lan yang disertai kemarahan hebat itu membuat ia terlempar sampai menimpa meja di depan Ma Kiu si ketua baru!

Kagetlah semua yang hadir di situ. Terutama sekali lima orang pengemis anggauta Hek-coa Kai-pang yang melihat seorang saudaranya dalam segebrakan saja terpukul tewas, segera me­lompat bangun dari tempat duduk masing-masing. Saudara muda mereka tadi, biarpun bukan anggauta pimpinan teratas dari Hek-coa Kai-pang, namun merupakan seorang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi juga. Bagaimanakah dapat roboh binasa hanya sekali pukul oleh gadis remaja itu? Sekali melompat mereka tiba di dekat meja Ketua Thian-liong-pang yang tertimpa tubuh saudara muda me­reka dan begitu melihat dada dan muka pengemis muda itu biru menghitam, me­reka mengeluarkan seruan kaget dan marah. Hek-coa Kai-pang adalah per­kumpulan pengemis dunia hitam yang terkenal akan kelihaian mereka bermain racun. Kini seorang anggauta mereka tewas oleh pukulan yang mengandung racun hebat!

"Thian-liong-pangcu, maafkan kami yang terpaksa harus turun tangan terha­dap siluman betina ini!" berkata seorang di antara lima orang pengemis itu kepada Ma Kiu. Setelah berkata demikian lima orang pengemis ini sudah meloncat dan mengurung Kwi Lan yang berdiri dengan sikap tenang. Di tangan mereka tampak pedang yang sudah siap untuk menerjang dan mengeroyok. Akan tetapi melihat pukulan beracun yang hebat itu, pula mendengar bahwa gadis itu tadi menyangkal sebagai utusan Pak-sin-ong, pengemis tertua berlaku hati-hati dan berkata.

"Nona muda, engkau sudah berani lancang tangan membunuh seorang di antara saudara kami. Hayo mengaku, siapakah engkau dan dari partai mana agar kami dapat mempertimbangkan tin­dakan kami selanjutnya terhadap dirimu." Kata-kata ini mengangkat kedudukan para pengemis itu ke tempat atas dan memang inilah yang dimaksudkan oleh pengemis itu untuk menutup rasa malu karena mereka berlima mengurung se­orang nona muda.

"Apakah kau tuli? Tadi sudah diperke­nalkan namaku Mutiara Hitam, bukan dari partai manapun juga. Saudaramu mampus oleh tingkahnya sendiri. Apakah masih ada lagi yang sudah ingin mam­pus? Kalau ada, boleh maju biar aku membantunya pergi ke neraka agar dunia ini tidak terlalu kotor. Kalau tidak ada, hayo keluarkan kuda hitam, Nonamu sudah jemu dan ingin pergi dari sini."

Pengemis tua itu tak dapat menahan kemarahannya dan berseru. "Saudara-saudara, kalau kita tidak dapat memba­las kematian saudara muda kita, percuma saja menjadi anggauta Hek-coa Kai-pang!" Seruan ini merupakan komando bagi teman-temannya dan serentak mereka menggerakkan pedang mengirim se­rangan. Akan tetapi lima orang pengemis ini hanya melihat Si Nona tidak berpin­dah tempat melainkan menggerakkan kedua tangannya dan.... pedang mereka membalik dan menghantam diri mereka sendiri. Benar-benar amat luar biasa gerakan kedua tangan Kwi Lan ini. Se­tiap sambaran pedang ia sambut dengan tangan terbuka dan dengan gerakan aneh yang mengeluarkan hawa pukulan amat kuatnya, pedang yang menyambar dada­nya membalik ke dada Si Pemegang Pe­dang, yang menyambar pundak membalik ke pundak Si Penyerang dan demikian seterusnya sehingga terdengar teriakan-teriakan kesakitan ketika lima orang pengemis ini roboh berturut-turut oleh bacokan-bacokan dan tusukan-tusukan mereka sendiri!

Melihat gerakan luar biasa yang men­datangkan akibat aneh itu, Ma Kiu yang berkepandaian tinggi maklum bahwa biarpun masih amat muda, gadis itu benar­benar lihai sekali. Kalau tidak lekas turun tangan membekuk atau membinasa­kan gadis yang mengacau perkumpulannya ini tentu setidaknya akan mengurangi keangkeran Thian-liong-pang, demikian pikirnya. Maka ia lalu berseru. "Tangkap siluman ini!" Ia memberi isyarat dan sebelas orang adik seperguruannya mengikuti gerakannya menghampiri Kwi Lan. Gadis ini teringat akan cerita Hauw Lam akan kehebatan Cap-ji-liong yang katanya disegani oleh tokoh-tokoh kang-ouw, maka ia bersikap hati-hati namun wajah­nya tetap berseri dan bibirnya tersenyum mengejek.

"Inikah yang disebut Dua Belas Ekor Naga dari Thian-liong-pang? Hemm, Sungguh gagah!" kata Kwi Lan sambil tersenyum.

Merah muka Ma Kiu. Sebagai ketua baru Thian-liong-pang, sungguh amat memalukan kalau ia harus maju bersama sebelas orang sutenya untuk mengeroyok seorang gadis remaja. Nama Cap-ji-liong sudah tersohor. Masa kini menghadapi seorang gadis remaja mereka harus maju bersama? Akan tetapi gadis ini aneh ilmu silatnya, dan kalau sekali tu­run tangan Cap-ji-liong tidak mampu merobohkannya, hal itu akan lebih me­malukan lagi.

"Bocah, kalau kau sudah mendengar tentang Cap-ji-liong, mengapa banyak tingkah? Cap-ji-liong selamanya maju bersama. Karena kau menjadi tamu, ber­arti kami kurang sopan kalau turun ta­ngan di sini. Jika engkau benar-benar berani kami menantangmu untuk mengadu kepandaian di ruangan silat!"

Ucapan ini sedikit banyak menghapus rasa malu pihak Thian-liong-pang karena berarti bahwa dua belas orang tokohnya bukan sekali-kali hendak mengeroyok begitu saja, melainkan telah melakukan tantangan secara berterang. Kalau gadis ini tahu diri dan menolak tantangan lalu pergi meninggalkan tempat itu tentu Cap-ji-liong tidak akan menghalanginya. Semua tamu menduga bahwa, tentu gadis itu akan mempergunakan kesempatan ini untuk pergi menyelamatkan diri, karena melawan Cap-ji-liong berarti mencari mati. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika melihat gadis itu terse­nyum lebar dan menjawab,

"Kalian menantangku? Boleh, siapa takut akan pengeroyokan kalian? Hayo, hendak kulihat seperti apa kepandaian Cap-ji-liong!" Kwi Lan yang tidak me­ngenal apa artinya takut, tentu saja tidak dapat menolak tantangan ini, yang diucapkan dengan kata-kata "kalau ia berani!" Ia seorang gadis remaja yang baru saja turun ke dunia ramai sama sekali belum berpengalaman hanya meng­andalkan kepandaian luar biasa dan kebe­ranian saja. Kalau ia berpengalaman, tentu ia akan menaruh curiga mengapa Cap-ji-liong menantangnya dengan memi­lih tempat.

"Bagus!" seru Ma Kiu. "Mari ke lian-bu-thia (ruangan silat), biarlah para tamu yang terhormat menjadi saksi bahwa kau menerima tantangan Cap-ji-liong untuk bertanding di lian-bu-thia!"

Sambil membusungkan dada, sedikit pun tidak gentar, Kwi Lan berjalan mengikuti Ma Kiu ke ruangan belakang di mana terdapat ruangan silat yang luas dan berbentuk bundar. Sebelas orang adik seperguruan Ma Kiu berjalan di belakangnya, kemudian berbondong-bondong para tamu yang ingin menyaksikan per­tandingan itu membanjiri ruangan silat pula.

Kini mereka telah berhadapan. Kwi Lan memperhatikan mereka. Ma Kiu yang menjadi pimpinan berdiri di tengah sedangkan sebelas orang lain berdiri di kanan kirinya. Mereka tampak gagah dan keren dan melihat gerak-gerik mereka, memang dapat dibayangkan bahwa Cap-ji-liong rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Juga usia dan pakaian mereka bermacam-macam. Ada yang sudah tua, ada yang masih amat muda. Ada yang berpakaian seperti tosu, ada yang gundul seperti hwesio, dan ada yang berpakaian seperti pelajar. Anehnya, kini mereka telah memakai sebuah tali yang mengikat kepala mereka, tali yang dipasangi se­buah batu permata kuning dan terpasang di atas dahi mereka. Juga Ma Kiu kini memakai tali semacam itu. Ia tidak tahu bahwa itulah tanda khas tokoh Thian-liong-pang dan batu kuning itu diberi nama mustika naga.

"Majulah!" Kwi Lan menantang, sikap­nya acuh tak acuh.

Terdengar suara "set-set-set!" teratur ketika kaki dua belas orang itu mulai bergeser dengan cepat mengatur barisan mengurung. Mereka tidak melangkah, tidak mengangkat kaki melainkan berge­ser sehingga sepatu mereka menimbulkan suara di atas lantai. Keadaan menjadi hening dan tegang semua tamu meman­dang ke arah Kwi Lan yang menjadi pusat perhatian karena nona ini sudah terkurung di tengah-tengah!

Dua belas orang itu masih terus ber­gerak menggeser kaki sehingga tubuh mereka bergerak mengitari Kwi Lan, suara geseran kaki mereka kini berbunyi susul-menyusul seperti desis ular, Kwi Lan masih berdiri diam tak bergerak, hanya biji matanya yang bergerak-gerak, mengerling dan mengikuti gerakan me­reka di sebelah depan. Kedua telinganya memperhatikan gerakan di belakangnya dengan seksama, setiap urat syaraf di tubuhnya menegang, siap sedia, akan tetapi wajahnya masih tenang dengan senyumnya mengejek

Tiba-tiba saat yang dinanti-nantikan oleh semua orang tiba. Dengan teriakan nyaring seorang anggauta Cap-ji-liong yang muda, bertubuh tinggi kurus ber­muka seperti tikus, menerjang Kwi Lan dari sebelah belakang. Agaknya laki-laki muda ini tertarik oleh kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuh Kwi Lan sehingga ia menyerang bukan memukul, melainkan memeluk ke arah pinggang dengan kedua lengannya. Namun gerakan­nya ini mendatangkan angin hebat dan tak boleh dipandang ringan. Pada detik berikutnya, anggauta lain, seorang tosu, mengulur tangan dari sebelah kiri untuk mencengkeram pundak, disusul serangan saudaranya dari depan, kanan, dan ke­mudian dua belas orang itu sudah ber­gerak serentak susul-menyusul dengan teratur baik sekali. Gerakan mereka yang teratur itu lebih merupakan gerakan dalam sebuah barisan dan sekaligus me­reka telah menutup semua jalan keluar bagi Kwi Lan! Kiranya Ma Kiu dan adik-adiknya tidak mau menyia-nyiakan waktu dan sekali turun tangan mereka tidak main-main lagi.

Pendengaran Kwi Lan yang tajam me­wakili matanya. Ia tahu bahwa penye­rang pertama datang dari belakang. De­ngan mudah ia mendoyongkan tubuh mengelak, kemudian secara tiba-tiba kaki kanannya menendang ke arah tangan tosu yang mencengkeram pundak kirinya, di­sambut dengan gerakan meloncat ke atas dan melihat betapa para pengeroyoknya turun tangan secara bergiliran, tubuhnya yang meloncat ke atas itu tiba-tiba me­lakukan gerak berputaran secara cepat sekali. Hebat bukan main gerakan gadis ini, cepat dan aneh. Karena gerakan memutar di udara ini sukar diikuti gerakan tangan dan kakinya, akan tetapi tahu-tahu ia telah menangkis semua serangan lawan dengan tangan atau dengan kaki, bahkan masih berkesempatan membagi pukulan dan tendangan yang mengenai empat orang lawannya. Mereka mengaduh dan berseru kaget, tak menyangka bahwa selain dapat bergerak cepat itu, bekas tangan atau kaki gadis itu amat berat menimpa pundak dan dada. Sesaat baris­an itu kacau, akan tetapi Ma Kiu berseru keras dan barisan menjadi rapi kembali pada saat gadis itu sudah menurunkan tubuhnya dan berdiri di tengah kurungan. Ia tersenyum-senyum karena dalam ge­brakan pertama ini ia berhasil memper­lihatkan kelihaiannya!

Kini para tamu menjadi berisik sekali. Mereka kagum dan kaget bukan main. Ketika tadi dua belas orang itu menye­rang secara bertubi-tubi dan setiap se­rangan merupakan pukulan dan cengke­raman yang lihai, diam-diam mereka menduga bahwa gadis ini mencari mati. Akan tetapi siapa kira, gadis itu dapat bergerak seperti kilat cepatnya dan ham­pir sukar dipercaya betapa gadis itu bukan hanya dapat menangkis semua serangan, juga dapat memukul dan menendang empat orang pengeroyoknya, biarpun hal itu dilakukan cepat-cepat dan tergesa­-gesa sehingga tidak tepat kenanya.

Gerakan pertama ini membuka mata Ma Kiu. Ia maklum bahwa biarpun dalam hal tenaga, mereka semua tidak akan kalah oleh lawan. Akan tetapi dalam hal kecepatan gerak maupun dalam hal ilmu silat yang luar biasa, gadis itu benar-benar merupakan lawan tangguh. Dia tadi berlaku sungkan sehingga mengeluar­kan komando untuk bergerak satu-satu secara bergiliran, siapa tahu, karena ia sungkan empat orang adiknya mengalami pukulan dan tendangan. Sekali lagi ia berseru keras dan kali ini dua belas orang itu menerjang maju secara berba­reng! Hanya lima orang yang menyerang langsung ke arah tubuh Kwi Lan. Sedang­kan yang tujuh orang menghantam ke tengah, ke atas, ke bawah dan sekitar tempat Kwi Lan berdiri sehingga me­reka telah menutup semua jalan keluar. Kemana pun gadis ini hendak bergerak, ia akan disambut hantaman yang dilaku­kan dengan pengerahan Iwee-kang!

Hal ini sama sekali tak diduga oleh Kwi Lan. Gadis ini terkejut juga, mak­lum bahwa keadaannya berbahaya. Baru ia tahu bahwa Cap-ji-liong benar-benar hebat dan tangguh. Biarpun kalau melawan mereka satu-satu, ia sanggup merobohkan mereka itu dalam waktu singkat, akan tetapi kalau mereka maju berbareng amatlah sukar dilawan. Ia berseru keras, tidak bergerak dari tempatnya, melainkan menggunakan kaki tangan menangkis dan jari tangannya menotok ke arah pergelangan tangan lima orang yang menyerangnya secara berturut-turut. Akan tetapi tiba-tiba lima orang penyerang itu menarik kembali penyerangan mereka dan barisan bergeser terus, disusul lima orang lain yang menyerang secara tiba-tiba, dibantu tujuh orang yang mencegat jalan keluar! Setiap menyerang, lima orang itu mengambil kedudukan ngo-heng, dan setiap kali melihat bahwa serangan itu akan gagal, barisan yang terus bergeser itu menarik kembali serangan untuk di ulang dengan perubahan-perubahan mendadak yang sukar untuk diduga sebelumnya.

Kwi Lan merasa kewalahan. Dahinya yang putih halus itu mulai berkeringat. Ia takut, akan tetapi jengkel dan penasaran sekali! Ketika untuk kesekian kalinya lima orang lawan menyerangnya dan kepalanya sudah mulai pening karena mencurahkan perhatian dan menduga-duga perubahan, ia berseru keras, mencabut pedangnya dan memutar pedang itu ke sekelilingnya.

Tidak tampak gerakannya ini saking cepatnya. Tahu-tahu dua belas orang itu mencium bau yang wangi dan tampak oleh mereka sinar hijau bergulung-gulung seperti naga sakti bermain di angkasa, seperti hawa yang dingin sekali.

"Awas.... mundur dan siapkan senjata....!" Ma Kiu berseru keras. Barisannya melebar dengan cepat, namun masih saja ada dua orang yang terkena serempetan ujung pedang Siang-bhok-kiam sehingga pangkal lengan mereka terluka mengeluarkan darah. Lagi-lagi kurang tepat kenanya karena Kwi Lan tidak menggunakan pencurahan perhatian sepenuhnya dan tadi hasilnya inipun hanya kebetulan saja. Bagaimana ia dapat mencurahkan perhatiannya dalam sebuah serangan kalau lawannya yang dua belas orang banyak­nya itu selalu bergerak secara membi­ngungkan? Kini terdengar suara nyaring dan semua anggauta Cap-ji-liong sudah memegang senjata masing-masing. Ada yang memegang toya, ada yang memba­wa pedang, golok, thi-pian (pecut besi), siang-kek (sepasang tombak cagak), poan-koan-pit (senjata penotok jalan darah seperti pena bulu), tombak tiat-kauw (gaetan besi) dan lain-lain. Ma Kiu sen­diri bersenjatakan sepasang pedang pan­jang yang kelihatan berat.

Para tamu makin tegang. Setelah kini kedua pihak menggunakan senjata, tak dapat disangsikan lagi gadis itu tentu akan mati dalam keadaan tubuh tidak utuh. Setiap anggauta Cap-ji-liong memiliki ilmu kepandaian khusus, bahkan sebe­lum menjadi murid Sin-seng Losu mereka itu adalah ahli-ahli silat kelas satu. Kini mereka maju bersama, dapat dibayangkan betapa hebatnya.

"Ha-ha-ha-ha! Sayang sekali kau akan tercincang mati.... bunga liar seperti engkau sukar dicari....!" Tiba-tiba ter­dengar suara Sin-seng Losu yang tadi kelihatan bersungut-sungut ketika bebera­pa orang di antara murid-muridnya ada yang terluka. Kakek ini sejak tadi me­lenggut di atas kursi, menonton pertan­dingan sambil merem-melek. Kelihatan­nya saja ia melenggut dan mengantuk tak acuh, padahal sebenarnya ia menon­ton dengan hati penuh penasaran karena semenjak tadi, belum juga ia dapat me­ngetahui dari aliran mana ilmu silat gadis ini! Hal ini benar-benar membuat ia kaget dan heran. Biarpun ia sudah terlalu tua sehingga tenaga dan napasnya sudah berkurang banyak dan kalau ber­tanding, dia sendiri tidak akan dapat mengatasi keampuhan Cap-ji-liong, akan tetapi pengetahuannya dalam ilmu silat sudah amat dalam. Hampir semua aliran ilmu silat di dunia ini! Ia kenal baik akan tetapi mengapa sekali ini, setelah melihat gadis itu bersilat sampai puluhan jurus, ia sama sekali tidak mengenal aliran ilmu silat yang dimainkan? Ia anggap luar biasa sekali ilmu silat gadis itu. Mirip-mirip ilmu silat Kun-lun-pai, gerakan pedang seperti Kong-thong-pai, akan tetapi ketika menotok hampir sama dengan ilmu totok Im-yang-tiam-hoat yang lihai dari Siauw-lim-pai. Akan teta­pi semua itu hanya mirip saja, dan sama sekali bukan aselinya, bahkan kadang-kadang berlawanan dengan aselinya!

Hal ini memang tidak mengherankan kalau orang mengenal dari mana Kwi Lan mendapatkan semua ilmu yang aneh itu. Gurunya adalah seorang wanita yang luar biasa, yang puluhan tahun menyem­bunyikan diri dan menelan segala macam ilmu tanpa ada yang menuntun. Dalam istana bawah tanah terdapat banyak se­kali kitab pelajaran ilmu silat peninggal­an mendiang Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian yang mencuri kitab-kitab itu dari partai-partai besar. Karena jiwa Kam Sian Eng, guru Kwi Lan, memang tidak sehat alias tidak normal, maka ketika mempe­lajari semua ilmu itu ia telah menyele­weng dan ilmu yang aseli berubah, men­jadi ilmu aneh dan ganas. Kwi Lan juga mempelajari kitab-kitab itu sendirian saja, hanya menerima petunjuk-petunjuk dari gurunya, justeru sedikit petunjuk itu menyeleweng daripada aselinya, maka dapat dibayangkan betapa hasil ilmu yang ia kuasai tentu saja lebih aneh dan lebih menyimpang dari aselinya! Jangankan Sin­seng Losu, biar tokoh-tokoh dari partai yang memiliki kitab yang tercuri itu sendiri melihat cara Kwi Lan bersilat tentu takkan mampu mengenal ilmunya sendiri.

Ucapan mengejek dari Sin-seng Losu tidaklah berlebihan. Memang ilmu pedang Kwi Lan hebat dan luar biasa. Baru pedangnya, sebatang pedang kayu wangi, sudah membuktikan bahwa gadis ini biar­pun masih remaja, namun sudah menca­pai tingkat yang dinamakan tingkat "yang lunak mengalahkan yang keras" yaitu tingkat ahli pedang yang sudah pandai mengatur, tenaga yang dikendalikan hawa sakti sehingga setiap benda lemas dapat dipergunakan untuk melawan senjata keras. Akan tetapi, menghadapi pengu­rungan dua belas Cap-Ji-liong yang mem­pergunakan dua belas macam senjata ini, Kwi Lan benar-benar terdesak hebat. Senjata lawan menyambarnya seperti hujan dan hanya dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya dan ilmu pedangnya yang aneh maka sementara itu ia masih mampu bertahan. Seperti juga tadi, dua belas orang pengeroyoknya itu tidak me­ngeroyok, secara serampangan saja, me­lainkan mengurungnya dengan membentuk barisan yang kokoh kuat. Perlahan akan tetapi tentu mereka mulai menekan dan mendesak.

Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari sebelah dalam. Teriak-teriakan orang terdengar.

"Kebakaran....! Kebakaran....!"

"Tangkap bocah setan....!"

"Celaka, tawanan gadis-gadis itu di­larikan....!"

Semua tamu terkejut dan dua belas orang Cap-ji-liong yang sudah mulai mengurung dan mendesak Kwi Lan, ter­pengaruh oleh teriakan-teriakan ini se­hingga tekanan kepada gadis itu agak mengendur. Pada saat itu, berkelebat bayangan yang tertawa-tawa, "Ha­-ha-ha, sungguh memalukan. Dua belas ekor monyet tua mengeroyok seorang gadis jelita! Dua belas ekor naga kini menjadi dua belas ekor monyet buntung!"

Kiranya bayangan ini bukan lain ada­lah Hauw Lam yang dengan gerakan cepat sudah meloncat dan memutar go­loknya menerjang barisan pengepung se­hingga terbukalah barisan itu. Melihat ini, Ma Kiu mengeluarkan aba-aba. Ba­risan yang diterjang Hauw Lam sengaja membuka "pintu" dan pemuda ini pun sekarang masuk ke dalam pengurungan dua belas orang tangguh itu.

"Eh, Mutiara Hitam. Kita datang ber­sama, mana bisa sekarang engkau berpes­ta-pora sendiri saja melabrak dua belas ekor monyet tua ini? Aku ikut. Hayo ­kita sekarang berlumba. Kita beradu punggung dan lihat pedangmu, atau go­lokku yang lebih dulu membabat mampus mereka ini!"

Kwi Lan tersenyum. Ia tadi sudah tertekan dan terdesak hebat. Namun seujung rambut ia tidak merasa gentar. Ia tadi sudah siap-siap, kalau sampai ia kalah dan harus roboh di tangan dua belas orang pengeroyoknya, ia tentu akan menyeret beberapa orang di antaranya terutama sekali Ma Kiu, untuk tewas bersamanya! Untuk niat ini ia sudah menggenggam tujuh jarum hijau di tangan kirinya! Sekarang melihat munculnya Hauw Lam yang mengajak ia berlumba, timbul kegembiraannya dan ia berseru.

"Berandal cilik! Kaulihat betapa aku merobohkan mereka!" Setelah berkata demikian, Kwi Lan mainkan pedangnya menerjang maju. Empat orang di depan­nya cepat mengangkat senjata untuk menangkis dan balas menyerang, akan tetapi pada saat itu tangan kiri Kwi Lan bergerak dan sinar hijau menyambar ke depan.

"Awas....!" Ma Kiu berseru memper­ingatkan adik-adiknya. Namun, jarum-jarum hijau yang halus itu disambitkan dari jarak dekat sehingga biarpun empat orang itu berusaha mengelak, dua orang di antara mereka kurang cepat dan ro­bohlah mereka sambil mengeluarkan je­ritan kesakitan. Murid-murid Thian-liong-pang segera menolong mereka ini dan kini sepuluh orang pengeroyok menerjang dengan marah sekali. Hauw Lam tertawa-tawa dan sambil berdiri saling membela­kangi, dia dan Kwi Lan memutar senjata menghadapi para pengeroyok. Lega hati Kwi Lan setelah kini ia dibantu Hauw Lam. Tadi yang membuat ia amat repot adalah penyerangan lawan yang berada di belakangnya. Akan tetapi kini ia tidak usah lagi memperhatikan bagian bela­kang, maka ia kini mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Setiap ada se­rangan datang ia tidak mengelak, akan tetapi langsung menyambut serangan ini dengan tusukan atau totokan yang men­dahului sehingga Si Penyerang terpaksa menarik kembali serangannya.

"Semua mundur....!" tiba-tiba Ma Kiu berteriak keras memberi perintah kepada adik-adiknya

Sepuluh orang itu serentak melompat mundur sambil menggerakkan tangan kiri. Maka berhamburanlah senjata-senjata rahasia yang berbentuk peluru bintang, bagaikan hujan menyerang Hauw Lam dan Kwi Lan. Dua orang muda itu cepat memutar golok dan pedang, memukul runtuh semua senjata rahasia.

"Wah, kau yang mengajar monyet­-monyet itu. Sekarang mereka membalas. Lebih baik kita lekas pergi dari sini!"

Hauw Lam mengomel. Kwi Lan yang maklum betapa besar bahayanya kalau pihak lawan mulai menyerang dari jauh dengan senjata rahasia, setuju akan usul ini. Akan tetapi sebelum mereka sempat mendapatkan jalan keluar untuk melarikan diri, tiba-tiba lantai yang mereka injak tergetar dan dengan suara keras lantai itu terbuka, nyeplos ke bawah.

"Celaka....!" Hauw Lam berseru dan bersama Kwi Lan tubuhnya terjeblos ke bawah tanpa dapat dicegah lagi!

"Cari pegangan....!" Hauw Lam ber­seru pula dan merentangkan kedua ta­ngannya. Goloknya ia tusuk-tusukkan ke samping dan akhirnya tangan kirinya berhasil meraba dinding. Ia menggerakkan tubuh sehingga tubuhnya yang meluncur itu terbanting ke kiri, menubruk dinding dan di lain saat tubuhnya tergantung pada gagang golok yang dipegangnya erat-erat.

Akan tetapi Kwi Lan yang memiliki gin-kang luar biasa itu, dengan mengge­rak-gerakkan kaki tangannya dapat memperlambat luncuran tubuhnya, bahkan ketika kedua kakinya menyentuh dasar sumur, tubuhnya membalik lagi ke atas sampai dua meter lebih, seakan-akan di kedua kakinya dipasangi per yang lemas sekali.

"Mutiara Hitam.... kau di mana....?" Terdengar suara Hauw Lam di atas.

Kwi Lan sudah duduk di atas tanah berbatu dan menjawab, "Di bawah sini. Turunlah. Mau apa kau bergantungan disitu?"

Hauw Lam menengok ke bawah. Sinar yang masuk dari atas memberi penerang­an suram, akan tetapi ia dapat melihat betapa gadis itu sudah duduk enak-enak­an di sebelah bawah, kira-kira tiga me­ter dari tempat ia bergantung. Ia mengerahkan tenaga, mencabut goloknya dan meloncat turun di dekat gadis itu. Pada saat itu, terdengar suara berderit keras dan lobang di sebelah atas itu tertutup rapat kembali. Keadaan menjadi gelap gulita, melihat tangan sendiri pun tak tampak!

"Wah, kita seperti dua ekor tikus masuk perangkap!" Hauw Lam berkata berusaha untuk tertawa, akan tetapi me­nahannya karena khawatir kalau-kalau membuat gadis itu tak senang.

"Kau kenapa? Mau tertawa, tertawa­lah. Mengapa memandang kepadaku se­perti orang ragu-ragu? Kaukira aku ta­kut? Huh, enak di sini!" kata Kwi Lan yang segera duduk melonjorkan kedua kakinya.

Hauw Lam terkejut. "Apa kaubi­lang....? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku.... eh, Mutiara Hitam, apakah engkau mempunyai nama seperti kucing?"

"Hemm, kalau aku kucing, engkau tikus! Sudahlah, jangan rewel dan lebih balk kau ceritakan apa yang kaulakukan tadi."

Tentu saja Hauw Lam tidak tahu bahwa gadis ini semenjak kecil tinggal di bawah tanah, di dalam istana bawah tanah sehingga ia merasa enak berada di bawah tanah! Karena semenjak kecil biasa hidup di tempat gelap Kwi Lan memiliki mata yang sudah biasa dengan kegelapan dan dapat melihat benda di dalam gelap, setidaknya lebih awas daripada orang biasa. Mendengar suara gadis itu tidak dibuat-buat, diam-diam ia merasa sema­kin kagum dan suka. Gadis ini benar-benar hebat, pikirnya. Selain cantik jelita seperti dewi, juga wajar dan polos, ditambah kepandaian yang amat tinggi. Tadi ketika dikeroyok Cap-ji-liong, gadis ini sudah memperlihatkan bahwa ia me­miliki kepandaian yang benar luar biasa. Jarang ada tokoh yang mampu memper­tahankan diri dari pengeroyokan Cap-ji-liong, apalagi melukai dua orang di antara mereka dalam pengeroyokan. Dan sekarang, biarpun telah terjebak masuk ke dalam sumur, gadis ini masih bersikap tenang dan enak saja, sama sekali tidak membayangkan sikap takut-takut.

"Nanti dulu, paling penting aku harus menyelidiki keadaan tempat ini, mencari jalan keluar." kata Hauw Lam sambil mengulur kedua lengan ke depan, mera­ba-raba.

"Tak usah kauselidiki lagi. Percuma, sumur ini sengaja dibuat untuk menjebak musuh. Dindingnya terbuat dari batu tebal, tingginya lima tombak lebih dan di atas ditutup lembaran besi yang atasnya dipasangi tegel, dan dapat terbuka atau tertutup sendiri dengan alat rahasia."

Kembali Hauw Lam menjadi heran. Gadis ini bicara seakan-akan tidak ber­ada di dalam gelap, seperti menceritakan keadaan yang dilihatnya dengan nyata. Ia tidak percaya lalu kedua tangannya me­raba-raba dinding. Dan memang betul apa yang dikatakan gadis itu. Dinding sumur itu segi empat, lebarnya tiga meter tiap segi, dan terbuat daripada batu tebal. Karena bagi Hauw Lam tempat itu amat gelap, ia tidak dapat melihat apa-apa ketika meraba-raba sehingga tiba-tiba ia meraba kepala gadis itu!

"Eh-eh, mau apa kau? Seperti orang buta saja!" Gadis itu membentak.

"Wah, maaf.... aku.... aku memang se­perti buta di sini...."

"Duduklah dan jangan berkeliaran."

Hauw Lam lalu duduk di atas lantai sumur. Tanah padas berbatu itu agak basah. Betapapun juga, ia tidak dapat bersikap masa bodoh seperti gadis ini. Masa mereka harus menerima kematian seperti dua ekor tikus dalam sumur? Ia harus berdaya untuk keluar dari dalam sumur ini. "Mutiara, aku tidak mengerti bagaimana kau dapat mengetahui keadaan sumur ini. Akan tetapi kalau dalamnya benar lima tombak, tak mungkin kita meloncat keluar dari sini. Biarpun begitu, dengan bantuan golok dan pedangmu, aku dapat meloncat-loncat sambil menancap­kan golok dan pedang bergantian pada dinding, terus sampai keluar. Setelah itu, aku akan mencari tambang untuk mena­rikmu keluar pula."

"Eh, takutkah engkau di sini?"

"Bukan takut! Akan tetapi kita harus mencari jalan keluar."

"Hemm, bagaimana kau akan membu­ka penutup besi di atas itu? Pula, siapa tahu begitu kau keluar, hujan senjata akan menyambutmu?"

Hauw Lam terkejut. Beralasan juga kata-kata gadis ini. "Habis.... bagaimana."

"Kita menanti kesempatan dan semen­tara itu, duduk mengaso di sini dan kau­ceritakan apa yang terjadi tadi."

Malu juga rasa hati Hauw Lam men­dengar suara gadis itu yang amat tenang. Ia lalu bercerita. Ketika tadi melihat datangnya Ci-lan Sai-kong yang menggi­ring dua belas orang gadis-gadis muda yang diculik, Hauw Lam marah bukan main. Akan tetapi ia menahan-nahan perasaan hatinya dan setelah mendapat kesempatan ia lalu menyelinap ke dalam pada saat perhatian semua orang tertarik oleh perbuatan Kwi Lan yang amat be­rani. Setelah tiba di ruangan belakang, ia menyergap dan menotok seorang anggau­ta Thian-liong-pang. Dari orang inilah ia mendapat keterangan tentang dua belas orang gadis itu yang ditahan di kamar belakang, dijaga oleh empat orang ang­gauta Thian-liong-pang. Ia menotok lumpuh orang itu kemudian melanjutkan penyelidikannya. Tekad hatinya akan me­nolong dan membebaskan dua belas orang gadis itu. Dengan kepandaiannya yang tinggi, secara mudah ia merobohkan em­pat orang penjaga dan pada saat itulah dari atas genteng melayang turun se­orang laki-laki yang ternyata adalah Ciam Goan, bekas tokoh Thian-liong-pang yang tadi diusir oleh Ma Kiu.

Girang hati Hauw Lam dan diam-diam ia kagum menyaksikan keberanian Ciam Goan. Biarpun sudah jelas bahwa orang gagah itu tak mungkin dapat melawan para pimpinan Thian-liong-pang dan tadi pun sudah dikalahkan, namun orang she Ciam itu masih berani dan berusaha menolong dua belas orang gadis tawanan. Tanpa banyak cakap mereka lalu mema­suki kamar, membebaskan dua belas orang gadis itu. 

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang