Jilid 4

3.1K 41 0
                                        

Tampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu Hek-giam-lo telah lenyap dari depannya. Sian Eng menggosok-gosok kedua mata dengan punggung tangan. Mimpikah ia? Ataukah semua itu tadi peristiwa yang benar terjadi? Kalau be­gitu, agaknya bukan manusia si kedok tadi, jangan-jangan memang benar teng­korak hidup. Kalau manusia, masa pandai menghilang seperti itu?

Di sebelah atas, depan bongpai (batu nisan) yag besar dan megah itu, berdiri seorang wanita yang rambutnya panjang riap-riapan sampai ke kaki. Seorang wa­nita cantik sekali, rambutnya hitam halus dan mengeluarkan keharuman yang me­wakili taman bunga, baju luarnya putih bersih dari sutera halus. Seorang wanita cantik namun menyeramkan. Sukar me­ngira-ngira usianya. Melihat wajah halus mata jeli bibir merah itu orang akan mengira ia masih amat muda, akan te­tapi sikap, gerak-gerik dan pandang ma­tanya membayangkan kematangan lahir batin di samping watak yang mendirikan bulu roma. Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Rambut Harum)! Telah kita kenal wataknya yang aneh dan kekejamannya yang melewati batas pada permulaan cerita ini. Ia sekarang berdiri di depan batu nisan besar sambil memaki-maki dengan suara nyaring, diseling lengking tinggi seperti orang menangis.

"Hek-giam-lo, tengkorak busuk bau bangkai! Keluarlah jangan sembunyi seperti cacing tanah! Kalau kau tidak lekas ke­luar, lihat saja kau! Batu nisan yang bagus-bagus ini kubikin remuk. Hendak kulihat apakah kau masih tidak akan muncul!"

Tentu saja ucapan ini membikin marah Hek-giam-lo yang tepat muncul dari sebuah lubang di depan batu nisan se­telah membuka penutup lubang itu dari bawah. Orang biasa tentu akan kaget setengah mati dan lari terkencing-kencing ketakutan kalau melihat mahluk seperti Hek-giam-lo tiba-tiba muncul dari lubang di depan batu nisan itu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni bukanlah orang biasa. Ia segera menyambut munculnya Hek-giam-lo dengan makian sambil menudingkan telunjuk kirinya yang runcing dan tangan kanan bertolak pinggang.

"Hek-giam-lo tengkorak busuk! Hayo lekas kauserahkan padaku surat yang kaucuri dari gerombolan It-gan Kai-ong si jembel tua bangka!"

Hek-giam-lo tidak menjawab akan tetapi segera melompat keluar dan meng­hadapi Siang-mou Sin-ni dengan marah. "Sin-ni, antara kita sudah terdapat saling pengertian, karena jalan hidup kita tidak bersimpangan. Kau tahu bahwa aku harus membela negaraku, surat itu amat penting bagi negaraku. Kerajaan Sung selalu memusuhi Khitan, dan sekarang, setelah aku menemukan kembali Puteri Mahkota calon ratu, surat itu terlebih penting. Dengan memperlihatkannya kepada Kerajaan Sung, tentu mempererat hubungan antara Khitan dan Sung. Mau apa kau pinta surat itu?"

"Tengkorak busuk! Kaukira hanya kau seorang yang mau mengambil peran se­bagai patriot pembela bangsa dan negara? Cih, bangsa Khitan, perantau tak tentu tanah airnya, berlagak patriot segala! Surat itu adalah surat persekutuan antara Nan-cao dan Hou-han. Apa sangkut-paut­nya dengan Khitan? Dan kau harus tahu bahwa aku adalah pembela Hou-han. Surat itu harus kudapatkan kembali dan kuserahkan kembali kepada yang berhak yaitu Kerajaan Hou-han atau Nan-cao yang wajib menerimanya. Biarpun untuk itu aku harus mengadu ilmu dengan patriot-patriot Khitan, aku tidak akan un­dur setapak pun!"

"Hemmm, kau perempuan mau main politik segala? Siang-mou Sin-ni, namamu cukup terkenal sebagai seorang di antara Thian-te Liok-koai. Lebih baik kaupertahankan nama itu dan ja­ngan mencampuri urusan negara. Urusan ini adalah bagian laki-laki."

"Cerewet! Kau ini selamanya pakai kedok tengkorak, siapa tahu kau perem­puan atau laki-laki? Hayo kembalikan!" Siang-mou Sin-ni menggertak dan rambut-rambut hitam panjang di kepalanya itu sudah bergoyang-goyang. Rambutnya me­rupakan senjatanya yang paling ampuh dan memang rambutnya itulah yang amat ditakuti di dunia kang-ouw. Bagi wanita biasa, agaknya rambut yang hitam pan­jang halus dan harum itu akan menjadi kebanggaan dan akan disukai banyak orang, terutama kaum pria. Akan tetapi rambut Siang-mou Sin-ni yang harum ini merupakan cengkeraman-cengkeraman maut yang entah sudah menewaskan nya­wa beberapa banyak orang!

"Sin-ni, kau tahu aturan antara kita. Surat ini kudapatken dengan jalan meng­gunakan kepandaian, tentu saja tidak mungkin kuberikan kepadamu begini saja."

Sambil berkata demikian, Hek-giam-lo sudah mengeluarkan sabitnya, juga tangan kirinya mengeluarkan sehelai surat yang ia rampas dari tangan Suma Boan tanpa diketahui orangnya.

Melihat surat itu di tangan Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni mengeluarkan lengking tangis yang menggetarkan kalbu, rambutnya seakan-akan hidup menyambar untuk merampas surat sedangkan sebagian rambutnya yang lain lagi menyambar ke arah jalan darah di dada, leher, pangkal lengan dan pergelangan yang maksudnya selain merobohkan lawan juga merampas sabit!

"Uhhh!" Hek-giam-lo membentak, surat itu sudah lenyap di saku bajunya lagi dan sabitnya hilang, berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata, tubuhnya menjadi bayangan hitam yang bergulung-gulung dengan sinar sabitnya. Pada detik-detik berikutnya, Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni sudah saling terjang dengan ganas sehingga terjadilah perkelahian yang luar biasa. Kalau kebetulan ada orang melihat pertempuran ini, tentu mengira bahwa iblis-iblis kuburanlah yang sedang bertanding ini. 

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang