BUKU 8. SEPASANG PEDANG IBLIS II

3.3K 50 2
                                    

Ciu Toan kelihatan bingung dan jelas bahwa dia telah terlanjur bicara tanpa disengaja. "Kami.... kami tadinya.... bersi­sa dua puluh lima orang, akan tetapi sa­yang.... enam orang telah meninggal du­nia di sini...." Ia pun terdiam dan wajah mereka semua kelihatan muram. Biarpun masih kecil Bun Beng dapat menduga bahwa pasti ada rahasia di balik kema­tian enam orang saudara mereka itu yang agaknya tidak akan mereka cerita­kan kepada orang lain. Maka dia pun tidak mau mendesak lebih lanjut.

Bun Beng yang tidak tahu harus per­gi ke mana, menerima penawaran mere­ka dan dia tinggal bersama mereka. Lebih senang tinggal dengan orang-orang ini daripada tinggal di atas dan menjadi "seekor" di antara sekumpulan kera itu, pikirnya. Dia mendapatkan sebuah kamar di guha dan di situ dia menyimpan se­pasang pedang dan kitabnya. Setiap hari dia membantu mereka mengerjakan sa­wah atau berburu binatang di sekitar hutan di kaki gunung.

Akan tetapi beberaga hari kemudian, sembilan belas orang itu berpamit kepa­da Bun Beng untuk mencari "akar obat-obatan". Ketika Bun Beng menyatakan hendak membantu, mereka menolak. "Ini adalah tugas pekerjaan kami yang amat penting dan tidak boleh kami minta bantuan siapapun juga." kata Ciu Toan.

"Mengapa tidak boleh? Siapa yang tidak membolehkan? Dan akar obat-obatan apakah yang kalian cari?"

Mereka saling pandang dan kembali Bun Beng terheran melihat wajah mere­ka muram dan seperti orang ketakutan. "Maaf, Gak-inkong. Kami tidak dapat bercerita tentang ini. Harap suka menung­gu di sini, kami hanya akan pergi sela­ma tiga hari."

Tanpa memberi kesempatan kepada Bun Beng untuk membantah lagi, pergi­lah kesembilan belas orang itu, memba­wa sepuluh buah keranjang kosong. Dia terheran dan merasa penasaran sekali, akan tetapi dengan sabar ia menanti. Se­telah pada hari ke tiga dia tidak meli­hat mereka kembali, Bun Beng kehabis­an kesabarannya dan dia pun meninggal­kan tempat itu, pergi menyusul ke arah hutan di mana dia melihat mereka pergi tiga hari yang lalu. Hari masih pagi ke­tika Bun Beng berangkat dan tiba-tiba ia melihat seekor burung yang besar sekali beterbangan di atas hutan di depan. Ia terbelalak memandang dan tadinya ia mengira bahwa yang terbang itu tentulah burung garuda tunggangan Pendekar Silu­man. Jantungnya berdebar tegang, juga girang karena berjumpa dengan Pende­kar Siluman merupakan idam-idaman ha­tinya. Ia kagum dan tertarik sekali kepa­da pendekar kaki buntung itu. Jantung­nya makin berdebar keras ketika ia me­lihat burung besar itu menukik turun dan benar saja, di atas punggung burung besar duduk seorang manusia! Karena ja­raknya jauh, dia tidak dapat mengenal orang yang menunggang burung itu, akan tetapi siapa lagi di dunia ini yang memi­liki binatang tunggangan seekor burung besar kecuali Pendekar Siluman?

Saking girangnya, lupalah Bun Beng akan niat hatinya semula menyusul sem­bilan belas orang bekas pejuang dan ki­ni ia berlari-larian menuju ke arah hutan di mana burung itu beterbangan di atas­nya, hutan yang agak gundul karena di situ banyak terdapat batu gunung yang tinggi-tinggi.

Akan tetapi, setelah memasuki hutan dan tiba di dekat dinding gunung batu ia terkejut dan merasa heran sekali. Kiranya sembilan belas orang itu berada di situ, kesemuanya berlutut dan di depan mereka berjajar sepuluh buah ke­ranjang yang kini sudah terisi akar-akar dan daun-daunan. Apa yang mereka laku­kan itu? Ciu Toan berlutut di deretan paling depan dengan wajah ketakutan. 

Ketika ia mendengar bunyi kelepak sayap burung, ia memandang ke atas dan melihat burung besar itu terbang rendah di atas pohon-pohon dan batu-batu. Kini tampak jelas oleh Bun Beng bahwa bu­rung itu bukanlah garuda putih tunggang­an Pendekar Siluman, bahkan tampak pu­la olehnya bahwa yang duduk di atas punggung burung besar itu adalah se­orang anak laki-laki sebaya dengan dia, berwajah tampan dan angkuh. Burung itu terbang rendah di atas sepuluh buah kerajang seolah-olah memberi kesempat­an kepada penunggangnya untuk menje­nguk ke bawah karena ia terbang miring, kemudian membubung lagi sambil me­nyambar dua buah keranjang dengan ke­dua cakarnya, lalu terbang menghilang. Namun sembilan belas orang itu masih tetap berlutut dan Bun Beng masih ber­sembunyi memandang dengan jantung berdebar tegang. Rahasia apa pula ini?

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang