BUKU 8. SEPASANG PEDANG IBLIS III

9K 85 1
                                    

Kini sinar bulan sepenuhnya menimpa wajah Bun Beng sehingga Siok Bi dapat memandang jelas. Wajah yang tampan dan mulutnya seperti selalu tersenyum. Pada saat itu, Bun Beng bicara sungguh-sungguh, akan tetapi matanya bersinar-sinar gembira dan bibirnya seperti orang tersenyum. Kini mengertilah Siok Bi bahwa memang pemuda ini memiliki ma­ta dan bibir yang seolah-olah selalu gembira dan tersenyum, sehingga tadi ia mengira bahwa mata pemuda itu "na­kal" dan bibirnya tersenyum kurang ajar. Maka hatinya pun lega dan ia melanjut­kan.

"Selagi kami beristirahat dan makan di bawah pohon, datang rombongan Thian-liong-pang. Ketika mereka mengenal ayah sebagai Ketua Bu-tong-pai, me­reka lalu memaksa Ayah ikut dengan mereka untuk menghadap Ketua Thian-liong-pang!"

"Hemm, sungguh kurang ajar!" Bun Beng membentak dan gadis itu menda­pat kenyataan betapa dalam keadaan marah pun pemuda itu seperti orang ter­senyum. "Tentu engkau dan Ayahmu menghajar mereka!"

"Itulah yang menyusahkan hatiku, Taihiap. Mereka lihai sekali. Ayah dike­royok dan dirobohkan, lalu ditangkap dan dimasukkan ke kerangkeng."

"Apa? Dikerangkeng dan kau diam saja?"

Kalau belum mulai mengenal cara bicara Bun Beng seperti orang main-main, tentu gadis itu sudah marah lagi. "Tentu saja aku melawan mati-matian, akan tetapi mereka amat lihai. Aku ro­boh tertotok, tak mampu berkutik. Setelah mereka pergi lama sekali, baru aku dapat bergerak. Mengejar sampai sore namun tak berhasil dan akhirnya aku sampai di sini dengan maksud besok akan melanjutkan perjalanan, mengumpulkan semua anggota Bu-tong-pai untuk me­nyerbu ke Thian-liong-pang membebas­kan Ayah. Akan tetapi.... ah, akan ma­kan waktu lama, mungkin terlambat.... dan aku sangsi apakah aku dapat mela­wan Thian-liong-pang yang amat kuat itu?"

"Ke mana Ayahmu dibawa lari? Ke jurusan mana?"

"Di luar kota ini di sebelah utara terdapat hutan, dan mereka membawa Ayah terus ke utara...."

"Aku akan mengejar mereka!" Bun Beng berkelebat dan pergi dari depan gadis itu.

Siok Bi bingung dan terkejut, mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang. Ia berteriak, "Tunggu, Taihiap! Aku be­lum tahu namamu dan aku ikut....!"

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Bun Beng dari bawah karena pemuda ini memasuki kamar mengambil bungkusan pakaian dan bekalnya. "Jangan ikut, kau­ tunggu saja di sini, Nona. Namaku Gak Bun Beng!"

Mendengar suara dari dalam kamar di sebelah kamarnya, Siok Bi meloncat ke bawah dan memasuki kamar Bun Beng, akan tetapi pemuda itu sudah tidak ada dan ketika ia melompat lagi ke atas genteng, dia tidak melihat bayangan pe­muda itu! Ia menarik napas panjang. "Hebat dia....!" Kemudian ia pun mengam­bil pakaian dari kamarnya dan malam itu juga ia meninggalkan penginapan un­tuk mengejar ke utara. Benar juga pe­muda itu, pikirnya. Kalau aku ikut, ten­tu perjalanannya tidak dapat dilakukan secepat kalau pemuda itu mengejar sendiri. Hatinya menjadi besar dan ia mem­bayangkan wajah tampan yang selalu tersenyum bibirnya dan berseri wajah dan matanya itu. Kekhawatirannya ten­tang diri ayahnya agak berkurang kare­na ia percaya bahwa pemuda itu amat lihai dan tentu akan dapat menolong ayahnya. Gak Bun Beng! Dia mengingat-ingat, akan tetapi tidak pernah merasa mendengar nama ini di dunia kang-ouw.­ Benar kata ayahnya bahwa sekarang ba­nyak bermunculan orang-orang aneh yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, tentu termasuk pemuda itu.

Bun Beng merasa penasaran dan marah sekali. Kiranya benar seperti be­rita yang didengarnya. Thian-liong-pang mengacau dunia kang-ouw, secara kurang ajar berani menculik seorang Ketua Bu-tong-pai di siang hari. Benar-benar ke­terlaluan, seolah-olah di dunia ini sudah tidak ada hukum dan seolah-olah hanya Thian-liong-pang yang paling kuat. Dia harus menentangnya dan menolong Ke­tua Bu-tong-pai, ayah dari gadis yang amat manis wajahnya itu.

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang