BUKU 9. KISAH SEPASANG RAJAWALI VI

11.7K 74 4
                                    

  Tidak terdengar lagi mereka berca­kap-cakap, yang terdengar hanya berke­reseknya daun alang-alang kering yang tertindas tubuh mereka, dan tak lama kemudian terdengarlah suara aneh, suara rintihan seperti seekor kucing, ber­ngeong-ngeong tinggi rendah, kadang-kadang suara itu terdengar ganas seperti marah, kadang-kadang halus lembut se­perti mengerang dan merintih. Suara ini terdengar terus-menerus sampai lama di tengah ladang ilalang itu sehingga kalau ada orang mendengarnya, tentu mereka akan menjadi serem.

Dan memang ada yang mendengar suara kucing mengeong dan merintih ini, yaitu Si Gendut dan kawan-kawannya yang hampir semua menyusup ke dalam ilalang akan tetapi berpencar. Mereka mendengar suara kucing ini. Bahkan se­orang di antara mereka berbisik kepada teman yang kebetulan bersembunyi di dekatnya, "Keparat, di tempat begini ada kucing kawin!"

"Ihh, bagaimana kau tahu suara itu suara kucing kawin?"

"Coba dengarkan baik-baik dan ingat kalau malam-malam di atas genteng ada suara kucing inde-hoi, bukankah sama benar suaranya?"

Mereka berdua kini diam, mendengar­kan dan bergidik. Memang tidak salah lagi, itulah suara kucing, suara kucing betina yang kadang-kadang bersuara ga­nas seperti sedang marah, kadang-kadang halus manja seperti merengek, kadang-kadang merintih. Menyeramkan!

Sementara itu, pasukan yang dipimpin perwira berpedang itu telah tiba di tepi ladang ilalang yang luas itu. Kuda yang mereka tunggangi meringkik-ringkik, dan perwira itu memandang dengan penasar­an. "Serbu ke dalam ladang!" perintahnya kepada pasukan yang tidak berkuda. Be­lasan golok perajurit yang memegang pe­risai dan golok menyerbu ke dalam ladang itu. Yang tampak hanya ujung topi besi mereka, ujung golok mereka bergerak-gerak maju ke tengah. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan kesakit­an dan berturut-turut robohlah enam orang perajurit, yang lain segera mundur kembali. Mereka diserang dari bawah oleh para pelarian yang mendekam di bawah ilalang, dan tentu saja sukar bagi mereka untuk mempertahankan diri. Para pelarian itu mendekam dan tidak berge­rak, sukar diketahui di mana tempatnya, sedangkan para perajurit pemberontak yang mencari itu berjalan dan bergerak, tentu saja mudah sekali diserang secara tiba-tiba.

Perwira itu agaknya mengerti akan hal ini, maka dia pun memberi aba-aba agar sisa anak buahnya mundur dan ke­luar dari ilalang itu. Sejenak dia berpi­kir, kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan aba-aba, "Bakar....!"

Ladang ilalang itu pun dibakarlah! Sebentar saja api melahap ilalang kering dan makin lama makin menjalar ke te­ngah. Si Gendut dan teman-temannya tentu saja terkejut sekali dan cepat me­reka melarikan diri, menyusup-nyusup ilalang menjauhi api yang mengancam mereka. Sementara itu, suara kucing tadi masih terus terdengar seolah-olah tidak peduli akan ancaman api yang makin ke tengah.

Tiba-tiba terdengar lengking tinggi mengerikan dan tampaklah tubuh wanita cantik tadi meloncat ke atas dalam keadaan hampir tidak berpakaian. Dia kini sibuk membereskan pakaiannya dan ber­loncatan, tidak menjauhi pasukan menge­jar seperti para pelarian yang lain, melainkan mendekati dengan jalan memutari api. Kemudian kedua tangannya bergerak bergantian dan terdengar ledakan-ledakan dahsyat, tanah dan batu muncrat tinggi dan disusul asap hitam mengepul. Bebe­rapa orang terlempar ke kanan kiri dan tidak dapat bangkit kembali, luka-luka parah oleh pecahan ledakan dahsyat tadi. Wanita itu dengan marahnya masih terus melempar benda bulat dan ledakan-ledak­an terus terdengar susul-menyusul. Per­wira muda itu terkejut bukan main, mak­lum bahwa wanita itu menggunakan sen­jata peledak yang berbahaya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia memerintahkan pa­sukannya untuk mundur dan berlindung. Pasukan itu mundur dan meninggalkan dua puluh lebih perajurit yang tewas menjadi korban senjata-senjata peledak.

Si Gendut dan teman-temannya cepat berlari ke luar ladang ilalang, akan teta­pi ketika dia berlari sampai di tengah ladang, hampir saja dia menginjak tubuh seorang laki-laki yang roboh telentang dalam keadaan telanjang bulat dan sudah mati. Ketika dia dan beberapa orang te­man memeriksanya, kiranya itu adalah A Ciang yang sudah menjadi mayat. Aneh­nya, pemuda itu tewas dalam keadaan seperti orang tidur yang sedang mimpi indah saja, karena wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum! Beramai-ramai me­reka menggotong mayat ini setelah ter­gesa-gesa mengenakan kembali pakaian A Ciang yang berada di dekat pintu, mem­bawanya pergi melarikan diri dari ladang ilalang, kemudian memasuki daerah pegunungan yang penuh dengan batu-batu gunung kapur yang bentuknya aneh-aneh tanpa ada sebatang pohon pun yang da­pat tumbuh di situ. Tempat ini merupa­kan tempat persembunyian yang amat baik.

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang