BUKU 7. PENDEKAR SUPER SAKTI II (TAMAT)

19.2K 134 3
                                    

Hari sudah lewat senja. Taman itu mulai gelap. Akan tetapi Han Han ber­loncatan terus, kalau hendak roboh ia menangkap batang pohon, mengaso se­bentar untuk melenyapkan rasa berdenyut-denyut di kaki yang naik ke dada dan kepala. Dipatahkannya sebuah cabang pohon yang rendah, dibuangnya ranting dan daun, dan cabang itu ia pergunakan sebagai tongkat. Ia berloncatan, lambat sekali, terus ke depan. Akhirnya ia roboh juga, setengah pingsan setengah tidur di bawah pohon di luar taman dalam sebuah hutan siong, menggeletak terlentang dan tongkatnya melintang di atas dadanya.

Menjelang subuh, ia terbangun oleh suara kokok ayam hutan. Dilihatnya, cua­ca masih amat gelap, hawanya dingin bukan main. Rasa nyeri pada kakinya sudah banyak berkurang, dapat ditahan­kan, akan tetapi perutnya terasa perih sekali karena lapar. Sudah empat hari empat malam dia tidak makan, semenjak ditangkap Toat-beng Ciu-sian-li. 

Dan kehilangan darah membuat tubuhnya le­mas. Ia bangkit duduk, bersandar batang pohon, menengadah memandang langit yang hitam penuh bintang. Amat indah pemandangan di angkasa itu. Adakah ibunya di sana, di antara bintang-bintang itu? Alangkah akan senangnya dapat berada di sana di samping ibunya. Jauh daripada penderitaan hidup. Mati sudah pasti tidak seburuk hidup kalau men­derita begini. Yang jelas, tidak akan ia rasakan lagi nyeri-nyeri di tubuh, lapar di perut dan kepusingan karena segala kegagalan yang dialaminya. Kini ia men­jadi seorang tapadaksa, murid buntung yang tentu tidak akan ada gunanya, se­perti yang dikatakan Toat-beng Ciu-sian­li. Apalagi hendak membalas dendam orang tuanya, melangkah pun harus ber­loncatan dibantu tongkat, itu pun tidak tegak! Tugasnya belum selesai sama se­kali. Ia meraba dadanya. 

Kantung berisi surat-surat peninggalan penghuni Pulau Es masih disimpannya. Surat-surat itu belum dapat ia sampaikan kepada orang yang berhak menerimanya. Kewajiban ini belum dilaksanakan. Kemudian membalas dendam keluarganya juga sama sekali tidak dapat dilaksanakannya. Seorang di antara tujuh perwira musuhnya telah menjadi cihu-nya. Biarpun kini ia menduga bahwa cihu-nya bersekongkol dengan tokoh-tokoh istana itu, menyerahkannya kepada Toat-beng Ciu-sian-li, tetap saja ia ti­dak mungkin akan dapat membunuh orang yang dicinta cicinya. Dan enam orang perwira lain pun tak mungkin dapat di­balas setelah ia kini menjadi buntung. Di waktu ia belum buntung pun ia tidak mampu membalas. Musuh-musuhnya itu dilindungi orang-orang sakti. Masih ada tugas lagi yang makin sulit dilaksanakan, yaitu mencari Lulu!

Ia mengingat-ingat jalan hidupnya. Teringat ia akan wejangan kakek di Si­auw-lim-si. Perbuatan berguna apakah yang telah ia lakukan? Tidak ada! Bah­kan ia hanya menjadi sebab timbulnya hal-hal yang menyedihkan, yang mengor­bankan nyawa orang. Yang terakhir ini pun ia telah menyebabkan celakanya Kim Cu. Ah, kasihan gadis itu, entah bagaimana nasibnya nanti. Dan gadis itu mencintanya? Tidak mungkin! Mana ada gadis yang mencinta seorang sial seperti dia, apalagi kini dia hanya seorang pemuda buntung! Buntung kakinya! Tiba-tiba ia teringat lagi akan wejangan dan nasihat kankek di kuil Siauw-lim-si. Dia dinasihat­kan untuk membuntungi kaki kirinya di samping harus belajar mengalah kepada orang lain. Membuntungi kaki kiri? Han Han tersenyum duka dan memandang kaki kirinya yang sudah tidak ada. Kini hanya tampak sepotong kaki celana menutupi pahanya yang buntung. Tidak su­sah ia buntungkan, kini sudah ada yang membuntungi kakinya! Agaknya kakek tua di kuil itu sudah tahu bahwa kakinya akan buntung maka menasihatinya agar membuntungi kakinya sendiri, daripada dibuntungi orang lain. Ia tersenyum pahit. Nasihat yang tidak lucu!

Dia belum ditakdirkan mati, masih diharuskan hidup oleh Yang Maha Kuasa. Baik, dia akan hidup, dan apa pun jadinya, akan ia hadapi, sungguhpun dia ti­dak mungkin dapat mengharapkan untuk melaksanakan tugasnya yang pertawa, yaitu membalas dendam. Timbul rasa rindunya kepada Lulu, adiknya. Kalau saja Lulu berada di sampingnya, tentu akan dapat menghiburnya. Akan tetapi wahai.... alangkah akan hancur hati adiknya itu kalau melihat kakinya buntung! Berpikir demikian, timbul pula rasa iba terhadap dirinya sendiri dan tak kuasa bertahan lagi Han Han mengucurkan air mata. Sampai lama ia menangis seperti ini. Tiba-tiba ia tersentak kaget ketika teringat betapa ia telah menangis meng­guguk. Selamanya belum pernah ia berhal seperti ini! Mengapa ia sampai menangis seperti ini? Ke mana kekerasan hatinya? Ia meloncat bangun, lupa akan buntung­nya dan ia jatuh lagi, mengeluh. Ia merasa seolah-olah telah menjadi seorang manusia lain sekali. Dan ia menjadi geli­sah. Ia termenung, air mata masih mem­basahi pipinya, matanya masih merah bekas banyak menangis. Berjam-jam ia termenung, pikirannya kosong, hanyut terbawa pergi melayang-layang bersama embun pagi yang mulai terusir sinar matahari pagi. Telinganya tidak men­dengar kicau burung yang riang gembira menyambut pagi. Matanya tidak menyak­sikan keindahan sinar surya yang cemer­lang menembus celah-celah daun, men­ciptakan mutiara-mutiara dari titik-titik embun yang bergantungan pada daun pohon. Sambaran seekor burung yang mungkin mengira pemuda ini hanya se­batang tonggak, hampir hinggap di atas rambutnya, menyadarkan Han Han. Ia bergerak dan berdongak. Matanya ter­tawan oleh berkilaunya setetes air embun yang disinari matahari pagi, menjadi sebutir mutiara yang bercahaya.

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang