"Kim-mo Taisu jangan sombong! Aku belum kalah! Kita masih seri, baru satu-satu! Mari kita mencari keunggulan tanpa mengandalkan senjata kalau kau berani!"
Dengan mata berapi-api Lu Sian menyanggul rambutnya, sedangkan Kim-mo Taisu sudah melempar guci araknya ke dekat pedang dan kipas, lalu tertawa mengejek.
"Ada ubi ada talas, ada budi ada balas! Tadi kau menghutangkan, kini aku membayar. Akan tetapi engkau hutang nyawa isteriku, belum kau balas. Kali ini aku tidak akan mengampuni engkau lagi, Tok-siauw-kwi!"
Lu Sian mencibirkan bibirnya. "Siapa mengharapkan pengampunanmu? Kau kira pasti akan dapat menang? Sombong! Kau terima ini!" Wanita itu menerjang maju dengan cepat, kedua tangannya terkepal dan pukulan-pukulannya bertubi-tubi, sangat cepat namun mengandung tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya.
Kim-mo Taisu cepat mengelak dan mengangkat lengan menangkis. Yang membuat pendekar ini diam-diam mengeluh adalah bau harum yang makin hebat semerbak keluar dari tubuh dan rambut Lu Sian setelah wanita ini lelah dan berpeluh. Keharuman ini yang selalu menggelitik hatinya, mengingatkannya bahwa yang ia hadapi sebagai musuh sekarang ini adalah wanita satu-satunya yang pernah merampas cintanya. Selain keharuman yang khas ini, ia pun harus mengakui bahwa ilmu kepandaian Lu Sian kini meningkat secara luar biasa sekali, sudah setingkat dan seimbang dengannya. Kinipun dalam ilmu silat tangan kosong, ia sama sekali tidak boleh memandang rendah, apalagi setelah merasa betapa dari kedua tangan Lu Sian keluar hawa yang amat panas dan kedua kepalan tangan kecil itu mengeluarkan uap, seakan-akan menggenggam api! Ketika ia sengaja menangkis, tangan dan lengan wanita itu benar-benar amat panas. Kim-mo Taisu terkejut dan cepat ia mempergunakan Ilmu Silat Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) yang ia mainkan dengan pengerahan tenaga Im-kang untuk melawan hawa panas yang keluar dari tangan Lu Sian.
Biarpun kini mereka melanjutkan pertandingan tanpa senjata, namun ternyata malah jauh lebih seru daripada tadi. Pukulan-pukulan mereka adalah pukulan-pukulan yang mengandung tenaga dalam. Gerakan mereka kadang-kadang amat cepatnya, berkelebatan dan bayangan mereka bergumul menjadi satu, kadang-kadang mereka bergerak amat lambat dalam mengadu tenaga sin-kang. Karena kini mereka hanya mengandalkan kaki tangan, tentu saja tenaga yang mereka pergunakan lebih besar dan lebih banyak sehingga mereka berdua makin lelah. Memang hebat kini ilmu kepandaian Lu Sian. Tidak mudah bagi Kim-mo Taisu untuk mengalahkannya, sungguhpun diam-diam Lu Sian harus mengakui bahwa dalam banyak hal, lawannya ini sudah mengalah terhadapnya.
Matahari sudah naik tinggi dan kedua orang ini masih saja berkelahi mati-matian. Akhirnya setelah jelas bagi Lu Sian bahwa betapapun juga ia takkan berhasil mengalahkan Kim-mo Taisu, timbul rasa jemu di dalam hatinya. Mereka sudah bertanding sejak tengah malam sampai matahari naik tinggi masih belum ada yang betul-betul kalah atau menang. Ia sudah merasa lelah sekali. Akan tetapi bukanlah watak Lu Sian untuk mengaku kalah. Maka ia lalu mengerahkan semua tenaga dalamnya dan menerjang dengan pukulan maut yang dilakukan dengan kedua tangan terbuka didorongkan ke depan.
Mendengar deru angin pukulan dan merasai hawa panas yang hebat, Kim-mo Taisu terkejut. Karena ia pun sudah amat lelah, gerakannya kurang lincah lagi dan ia tahu bahwa pukulan ini tak mungkin dapat ia elakkan, maka ia cepat mengangkat pula kedua tangannya, menerima pukulan itu dengan pengerahan tenaga sakti.
"Plakkkk...!"
Dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat. Karena keduanya mempergunakan tenaga sakti, maka kedua tenaga yang hampir sama kuatnya itu saling membuyarkan. Kini karena kelelahan, mereka tidak mengadu tenaga sakti lagi dan kedua tangan mereka yang saling menempel itu terdorong oleh kelelahan mereka, seakan-akan dengan begitu mereka dapat beristirahat, karena dengan kedua telapak tangan menempel, mereka untuk sementara tidak dapat saling menyerang lagi. Peluh sudah membasahi seluruh tubuh.
"Kwee Seng aku... aku lelah..." Lu Sian terengah-engah, kedua tangannya yang bertempelan dengan kedua tangan Kim-mo Taisu itu seakan-akan bergantung.
"Aku pun lelah kau hebat sekali..." kata Kim-mo Taisu itu perlahan dan sejujurnya.
Mereka saling pandang. Kelelahan hebat membuat mereka mengantuk. Untuk sejenak agaknya mereka lupa bahwa mereka saling berusaha mengalahkan bahkan saling membunuh. Kini mereka bicara berbisik-bisik seperti sepasang kekasih yang kelelahan dan mabok buaian asmara!
"Kwee Seng... aku sudah jemu, tak dapat mengalahkanmu, lebih baik kita hentikan saja..."
"Mana bisa kuhentikan kalau kau memang telah menyuruh bunuh isteriku?"
"Kwee Seng..." Lu Sian terdiam dan mengatur napas, tangannya masih menempel pada telapak tangan Kim-mo Taisu.
"Hemm...??" Juga Kim-mo Taisu mengatur napas untuk memulihkan tenaganya.
"Cantik sekalikah isterimu?"
"Tidak secantik engkau... akan tetapi bagiku dia itu penuh cinta kasih, penuh kesetiaan dan luhur budi pekertinya...."
"Uuhhh...!"
Lu Sian merajuk dan marah. Jawaban ini baginya merupakan tamparan, seakan-akan ia dimaki bahwa dia tidak tahu akan cinta kasih, tidak setia dan rendah budinya. Ia mengerahkan tenaga dan mendorong sekuatnya sehingga lekatan tangan mereka terlepas dan keduanya terdorong mundur karena Kim-mo Taisu juga cepat mengimbagi dorongan lawan.
Sambil memekik marah Lu Sian kembali menyerang, seakan-akan lupa bahwa ia sudah amat lelah. Kim-mo Taisu juga mempertahankan diri dan balas menyerang. Sebuah tendangan Kim-mo Taisu menyerempet lutut membuat Lu Sian terguling roboh. Ia tidak mempertahankan diri saking lelahnya dan begitu punggung dan kepalanya mencium tanah, terus saja ia berbaring, malas untuk bangun lagi karena rasa kantuk hampir tak tertahankan lagi!
"Hayo katakan sesungguhnya! Siapakah yang menyuruh bunuh isteriku?" Kim-mo Taisu membentak, siap mengirim pukulan terakhir.
"Kalau aku yang menyuruh kau mau apa? Andaikata isterimu masih hidup, akan kubunuh juga dia?" jawaban ini terdorong hati gemas, akan tetapi juga amat menggemaskan hati Kim-mo Taisu yang menubruk sambil mengirim pukulan ke arah kepala Lu Sian.
Wanita ini cepat menggulingkan tubuhnya, lalu meloncat dan mengirim tendangan kilat ke dada Kim-mo Taisu. Kagum sekali Kim-mo Taisu. Gerakan bergulingan lalu meloncat dan menendang ini selain lihai juga amat indah. Namun ia cepat dapat mengelak dan mereka bertanding lagi dengan seru.
Kembali Lu Sian mengirim serangan mati-matian dengan dorongan kedua tangan sambil mengerahkan ilmunya Tangan Api. Kim-mo Taisu menyambutnya dengan gempuran tangan pula sehingga kedua telapak tangan mereka bertemu dahsyat di udara. Hebat sekali pertemuan tenaga ini dan Lu Sian terhuyung-huyung, mukanya pucat sekali. Ternyata ia kalah tenaga dan karenanya ia menderita luka dalam. Namun ia tidak mengeluh, dan setelah terhuyung-huyung ia roboh miring.
Kim-mo Taisu yang sudah mabok perkelahian ini dengan tubuh lemas menubruk maju pula dan mengirim pukulan dengan kedua tangan pula. Siapa kira, Lu Sian masih sempat mengangkat kedua tangan menyambut dan kembali kedua pasang tangan mereka bertemu dan melekat seperti tadi. Hanya bedanya, Lu Sian berbaring dan Kim-mo Taisu berlutut!
"Kwee Seng..." suaranya berbisik terengah-engah. "...aku ...aku belum mau mati... aku tidak ingin mati sebelum bertemu anakku... Bu Song..."
Tergetar hati Kim-mo Taisu dan teringatlah ia akan kesemuanya itu. wanita ini bukan hanya bekas kekasihnya, bekas wanita yang paling ia cinta di dunia ini, bukan hanya itu saja, melainkan ibu dari muridnya, ibu dari Bu Song calon mantunya! Bagaimana ia dapat membunuh bekas kekasihnya yang kini menjadi calon besannya.
"Lu Sian, apakah kau yang menyuruh bunuh isteriku?" tanyanya berdesis di antara katupan giginya.
Lu Sian tersenyum mendengar nama kecilnya disebut. "Kalau tadi-tadi engkau bertanya begini, tentu aku akan bicara terus terang," jawabnya lirih. "Aku tidak tahu bahwa kau masih hidup, tidak tahu bahwa kau punya isteri, bagaimana bisa menyuruh orang membunuh isterimu? Tidak, aku tidak menyuruh bunuh siapapun juga. Kalau ada yang hendak kubunuh, tentu kugunakan tanganku sendiri, mengapa menyuruh orang?"
Kim-mo Taisu melepaskan tangannya dan melompat ke belakang. "Mengapa tidak kau katakan demikian sejak malam tadi?" Ia mengomel sambil menghapus peluh yang memenuhi mukanya.
Lu Sian tertawa. "Aku ingin melihat sampai sejauh mana aku dapat melayanimu. Ternyata kau... kau makin hebat..."
Tiba-tiba wanita ini terhuyung-huyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat-cepat disambar lengannya oleh Kim-mo Taisu. Sekali melihat tahulah Kim-mo Taisu bahwa Lu Sian menderita luka di dalam yang cukup parah, maka cepat-cepat ia menarik wanita itu duduk bersila di atas rumput.
"Kau terluka. Biar kubantu kau memulihkan tenaga dan mengobati luka dalam," katanya lirih sambil duduk bersila meramkan mata mengatur pernapasan yang sesak.
Kim-mo Taisu memusatkan semangat dan mengerahkan tenaga sakti, menempelkan telapak tangan pada punggung Lu Sian sehingga hawa sakti dari tubuhnya menjalar melalui tangan memasuki tubuh Lu Sian.
Ketika Lu Sian merasa betapa hawa yang hangat memasuki tubuh melalui telapak tangan yang menempel di punggungnya, ia tersenyum puas dan wajahnya berseri, akan tetapi ia tidak membuka mata dan tetap mengatur pernapasan. Kedua orang yang setengah malam dan setengah hari saling gempur mati-matian itu kini duduk bersila, diam seperti arca. Setelah hampir dua jam, Lu Sian tidak merasakan lagi sesak dan nyeri di dadanya. Bahkan rasa lelah hampir lenyap.
"Cukup, Kwee-twako.." katanya lirih.
Kim-mo Taisu melepaskan tangannya. Lu Sian memutar tubuh dan kini mereka duduk bersila, berhadapan. Mereka masih mengaso memulihkan tenaga sambil bercakap-cakap perlahan.
"Kwee-twako, sungguh mati aku tidak mengira bahwa kau masih hidup di dunia ini. Kusangka telah tewas ketika terjerumus ke dalam jurang. Siapa kira, kau hidup, malah sudah beristeri. Bagaimanakah isterimu sampai mati terbunuh orang dan kau menyangka aku yang menyuruhnya?"
Sejenak Kim-mo Taisu tak dapat menjawab. Terbayang kembali semua peristiwa sejak terjerumus ke dalam jurang dan hanyut sampai ke Neraka Bumi. Seakan-akan baru terjadi kemarin.
"Panjang ceritanya..." ia berkata setengah mengeluh. Tak suka ia menceritakan semua peristiwa itu kepada Lu Sian, oleh karena sesungguhnya Lu Sian inilah yang menjadi sebab daripada semua pengalamannya itu. ia sudah menerima keadaan, tidak mendendam kepada wanita ini, maka ia lalu bertanya. "Dan engkau sendiri... bagaimana sampai menjadi penghuni istana Hou-han? Banyak sudah aku mendengar tentang dirimu, tentang Tok-siauw-kwi. mengapa kau yang kabarnya menjadi isteri Jenderal Kam Si Ek, meninggalkan suamimu dan merantau seorang diri?"
Lu Sian menarik napas panjang dan tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya. Baru saat ini, setelah ia duduk berhadapan dengan Kwee Seng, bercakap-cakap seperti kepada orang dalam, kepada orang yang dipercaya sepenuhnya, baru sekarang ia merasa menyesal akan semua sepak terjangnya. Ia merasa betapa kini ia amat haus dan rindu akan rumah tangga bahagia, akan hidup tenteram di samping suami yang mencinta dan putera yang berbakti. Ia kehilangan kesemuanya itu. Teringat akan puteranya, ia tak dapat menahan air matanya, lalu menggigit bibir dan menggeleng kepala.
"Panjang ceritanya..." Ia pun segan menceritakan semua pengalamannya kepada pria yang pernah mencintainya ini.
Tiba-tiba keduanya terdiam. Ada suara mencurigakan dan mereka waspada. Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara bentakan-bentakan keras.
"Tok-siauw-kwi, hendak lari ke mana kau sekarang?"
Berturut-turut muncullah belasan orang dari sekeliling tempat itu. ada yang berpakaian seperti hwesio, ada pula sebagai tosu, dan rata-rata mereka adalah orang-orang yang berusia lanjut dan gerakan-gerakan mereka membayangkan kepandaian yang tinggi. Kim-mo Taisu diam-diam juga terkejut melihat bahwa di antara belasan orang itu ia mengenal dua orang tokoh hwesio Go-bi-pai, dan beberapa orang tosu Kong-thong-pai dan Hoa-san-pai. Mereka semua adalah rokoh-tokoh yang berilmu tinggi!
Episode 320
Suling Mas
Adapun Lu Sian setelah melihat bahwa yang bermunculan ini adalah para musuh-musuhnya yang selama ini selalu mencari kesempatan untuk menyerangnya dan selama ini hanya tertahan oleh kekuatan penjagaan istana Hou-han tidak membuang waktu lagi. Menghadapi mereka ini, kata-kata tidak ada gunanya, maka ia lalu meloncat, menyambar pedangnya yang menancap di atas tanah kemudian menantang dengan pedang melintang di depan dada.
"Tikus-tikus busuk! Aku berada di sini, siapa bosan hidup boleh maju!"
Agaknya dendam yang sudah bertahun-tahun disimpan di hati membuat belasan orang itupun tidak suka bicara banyak. Mereka terdiri dari tujuh belas orang dan kini serentak mereka menyerbu dan mengurung Lu Sian dengan bermacam-macam senjata di tangan. Segera terjadi pertempuran hiruk pikuk yang kacau balau dan sebentar saja Lu Sian sudah terkurung dan terdesak hebat sehingga wanita ini hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya.
Kim-mo Taisu maklum bahwa biarpun para pengeroyok itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun mereka itu masih belum mampu menandingi Lu Sian yang luar biasa lihainya. Akan tetapi, pada saat itu Lu Sian baru saja sembuh daripada luka dalam, tenaganya belum pulih semua dan juga masih amat lelah, maka pengeroyokan banyak tokoh ternama itu tentu saja merupakan bahaya besar. Bukan ini saja yang mengkhawatirkan hati Kim-mo Taisu. Selain bahaya besar di pihak Lu Sian, juga bahaya maut mengancam keadaan para pengeroyok itu. ia maklum bahwa andaikata akhirnya Lu Sian kalah karena lelah dan masih lemah, namun tentu akan banyak sekali di antara lawan yang tewas di ujung pedang Lu Sian sebelum wanita itu roboh.
Benar saja apa yang dikhawatirkan Kim-mo Taisu. Dalam waktu beberapa menit kemudian, tiga orang pengeroyok telah roboh mandi darah oleh ujung pedang Lu Sian, akan tetapi wajah Lu Sian menjadi makin pucat, napasnya terengah-engah dan langkah kakinya mulai terhuyung-huyung. Para pengeroyok mendesak makin kuat dan mereka sudah merasa girang bahwa biarpun kembali mereka mengorbankan nyawa beberapa saudara, agaknya kali ini Tok-siauw-kwi musuh besar yang mereka benci itu takkan dapat meloloskan diri.
Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika tiba-tiba ada angin bertiup keras dan senjata mereka terpental ke belakang oleh tiupan angin itu. Ketika mereka memandang ternyata Lu Sian yang mereka keroyok itu telah duduk bersila meramkan mata dan sebagai penggantinya, seorang laki-laki perkasa yang tadi duduk bersila telah berdiri dengan tangan kiri memegang sebuah kipas dan tangan kanan sebuah guci arak! Di antara mereka ada yang mengenal pria ini, maka dengan suara penasaran, seorang hwesio Siauw-lim-pai menegur,
"Bukankah Sicu ini Kim-mo Taisu? Mengapa mencampuri urusan kami?"
"Kim-mo Taisu! Kau terkenal sebagai seorang pendekar yang menjujung tinggi kebenaran. Apakah sekarang kau hendak membela seorang iblis betina macam Tok-siauw-kwi? Pinto menerima perintah Suhu ketua Kong-thong-pai untuk membunuh siluman ini, apakah kau hendak merintangi Kong-thong-pai?" kata seorang tosu.
""Kami dari Hoa-san-pai kehilangan lima orang murid yang tewas oleh siluman ini!" kata pula seorang tosu lain.
Kim-mo Taisu sudah mendengar akan sepak terjang Lu Sian yang hebat dan menggemparkan dunia kang-ouw dan di dalam hatinya tentu saja ia tidak dapat memebenarkan tindakan Lu Sian. Bahkan sudah sewajarnya kalau orang-orang gagah sedunia memusuhinya dan berusaha membinasakannya. Akan tetapi, mana mungkin hatinya tega melihat bekas kekasihnya yang ia tahu menderita batin ini dikeroyok dan dibunuh di depan matanya?
Dengan sikap tenang wibawa ia berkata sambil menyapu mereka semua dengan pandang matanya, lalu berkata, "Cu-wi (Saudara Sekalian) sudah tahu bahwa aku selalu menjunjung tinggi kebenaran dan kegagahan. Adalah tidak benar belasan orang mengeroyok seorang saja terjadi pertandingan yang tak berimbang. Di manakah sifat kegagahan kalian?"
Seorang hwesio Siauw-lim-pai meloncat ke depan, melintangkan toya di tangannya.
"Biarkan pinceng (aku) maju sendiri melawannya! Pinceng rela berkorban untuk membalaskan kematian empat orang saudaraku!"
"Benar! Pinto pun berani melawannya seorang diri!" kata seorang tosu.
"Kim-mo Taisu menganggap keroyokan tidak adil, biarlah kita maju seorang demi seorang melawan iblis betina itu! Dia harus mati atau kita siap untuk mati seorang demi seorang!" kata yang lain.
Kim-mo Taisu maklum bahwa kalau terjadi pertandingan satu lawan satu semua orang ini tentu akan tewas, tak seorang pun di antara mereka yang akan sanggup menandingi kehebatan Lu Sian. Akan tetapi ia pun tidak menghendaki hal ini terjadi, maka katanya.
"Pertandingan mencari kemenangan karena urusan pribadi harus dilakukan seadil-adilnya. Pada saat ini, Tok-siaw-kwi telah terluka olehku. Dalam pertandingan antara orang-orang gagah, hal ini adalah tidak adil sama sekali. Karena itu, kuharap kalian suka tinggalkan kami dan lain kali kalian boleh menemuinya kalau dia sudah sembuh dari lukanya."
Semua orang itu menjadi marah sekali. Hwesio Siauw-lim-pai yang bermuka merah itu meloncat maju dengan toya melintang, telunjuk kirinya menuding ke arah Kim-mo Taisu sambil membentak,
"Kim-mo Taisu! Bicaramu sungguh menyimpang daripada kebenaran! Sungguh mengherankan sekali seorang terkenal seperti Kim-mo Taisu hendak melindungi seorang siluman betina!"
Kim-mo Taisu mendengus melalui hidungnya.
"Hemm, setiap orang mempunyai kebenarannya sendiri!"
"Akan tetapi kebenaranmu sendiri itu menyeleweng daripada kebenaran umum. Kami bertindak atas dasar kebenaran umum. Tok-siauw-kwi jahat sekali, dia berhutang nyawa kepada kami, kalau kami kini datang membalas, bukankah itu sudah benar?" bantah Si Hwesio Siuw-lim-pai, dan semua temannya membenarkan, sikap mereka mengancam.
Kim-mo Taisu menggeleng kepalanya.
"Aku sama sekali tidak melindungi Tok-siauw-kwi, juga tidak hendak mengatakan bahwa dia benar dalam urusannya menghadapi kalian. Akan tetapi pendirianku ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan urusan antara dia dan kalian. Pendirianku ini mengenai saat sekarang, dan aku tetap menyatakan tidak benar kalau kalian sebagai orang-orang gagah menantang yang sedang terluka!"
"Tidak peduli! Dia jahat, kalau dilepas, bila dapat mencarinya lagi?" bentak mereka.
"Oho, begitukah? Kalian tidak memandang mukaku? Dengarlah, kalian boleh saja melakukan segala perbuatan pengecut dan curang terhadap siapa saja, akan tetapi di luar tahuku. Jika masih ada aku di sini, jangan harap kalian dapat melakukan kecurangan, menyerang seorang yang sedang terluka. Nah, aku punya peraturan sendiri, punya kebenaran sendiri, dan aku sudah bicara!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu berdiri tegak lalu menenggak araknya tanpa mempedulikan mereka.
"Heh-heh-heh! Kim-mo Taisu bicara seperti pokrol bamboo! Saudara-saudara hendak membasmi siluman, masih menanti apalagi? Kim-mo Taisu membela penjahat, dia menyeleweng juga. Kita ganyang saja dia lebih dulu, biar kami bantu!"
Suara ini keluar dari seorang di antara tiga kakek pengemis yang tahu-tahu muncul di tempat itu. kim-mo Taisu tidak mengenal mereka, akan tetapi melihat cara mereka memegang dan menggerakkan tongkat merah di tangan, ia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah tokoh-tokoh pengemis yang lihai. Ia teringat akan Pouw Kee Lui yang amat terkenal di dunia pengemis dan dijuluki Pouw-kai-ong Si Raja Pengemis, maka sambil tersenyum mengejek ia berkata.
"Apakah kalian ini anak buah Si Raja Pengemis Pouw?"
Tiga orang pengemis itu tidak menjawab, melainkan menggerakkan tongkat mereka menerjang maju. Hebat memang gerakan mereka dan cepat-cepat Kim-mo Taisu mengibaskan kipas di tangannya menangkis sambi membuat gerakan memutar sehingga terbebas daripada lingkungan sinar merah tongkat-tongkat mereka. Akan tetapi tokoh-tokoh lain yang terpengaruh oleh kata-kata si pengemis tua, sudah maju pula mengeroyoknya, bahkan ada sebagian yang langsung menerjang Lu Sian yang masih duduk bersila meramkan mata!
Kim-mo Taisu marah sekali. Ia mengeluarkan pekik menggetarkan dan tubuhnya lalu menyambar-nyambar laksana seekor burung garuda menerjang sekelompok babi hutan. Pertama-tama dia menerjang mereka yang mengancam keselamatan Lu Sian dan sekali terjang tiga orang pengeroyok roboh bergulingan seperti dilanda angin taufan. Setelah berhasil menghalau mereka yang mengancam Lu Sian, Kim-mo Taisu lalu melindungi wanita ini dan memutar kedua senjatanya yang berubah menjadi gulungan sinar melindungi tubuh mereka berdua.
Hebat sekali pertandingan ini, jauh lebih hebat daripada tadi ketika mereka mengeroyok Lu Sian. Amukan Kim-mo Taisu benar-benar menggiriskan hati. Beberapa orang telah roboh lagi oleh sambaran angin kebutan kipas. Selama satu jam lebih belum juga para pengeroyok mampu merobohkan Kim-mo Taisu, juga tidak ada yang mampu menyentuh tubuh Lu Sian yang masih duduk bersila memulihkan tenaga. Namun keadaan Kim-mo Taisu makin lama makin payah. Pendekar ini sudah terlalu lama tadi mengerahkan tenaga melawan Lu Sian. Ia amat lelah dan tenaganya sudah banyak berkurang, bahkan kini ia merasa dadanya sesak karena terlampau banyak mengerahkan tenaga sakti, jauh melampaui daya tahan tubuhnya. Namun ia bertekad melawan terus sampai napas terakhir untuk melindungi Lu Sian, mempertahankan kebenaran. Ia maklum bahwa Lu Sian telah menyeleweng dan telah berdosa kepada mereka ini, akan tetapi ia pun tidak senang menyaksikan kecurangan mereka hendak mengeroyok yang telah terluka. Apalagi setelah perjumpaannya dengan Lu Sian ini, ia tidak tega untuk membiarkan bekas kekasihnya dibunuh orang begitu saja di depan matanya.
Para pengeroyok itu terdiri dari orang-orang pilihan dalam partai-partai persilatan besar, dan tiga orang kakek pengemis itupun lihai sekali. Andaikata Kim-mo Taisu tidak kehabisan tenaga dalam menghadapi Lu Sian selama itu, agaknya pendekar besar ini masih sanggup mengalahkan mereka. Akan tetapi kini biarpun ia masih berhasil merobohkan beberapa orang pengeroyok, namun ia sendiri makin parah keadaannya, tenaganya makin habis dan dadanya terasa makin sesak dan sakit.
Dua jam kemudian, dengan gerakan terakhir yang amat dahsyat, Kim-mo Taisu yang marah kepada tiga orang pengemis itu, berhasil merobohkan dua orang pengemis dengan hantaman kipas dan guci araknya. Seorang pengemis, yang bicara tadi, roboh dan tewas seketika tertotok jalan darah maut oleh ujung kipas, sedangkan orang ke dua patah tulang iganya terpukul guci arak. Akan tetapi pada saat itu juga Kim-mo Taisu menerima sodokan toya baja yang ditusukkan oleh hwesio Siauw-lim-pai. Hebat bukan main sodokan yang mengenai lambungnya ini. Andaikata orang lain yang terkena agaknya tentu akan pecah lambungnya, akan tetapi Kim-mo Taisu yang sudah mengerahkan lweekangnya ke arah lambung, hanya terlempar saja dan pendekar ini merasa betapa lambungnya sakit sekali. Betapapun juga, ia masih mampu melompat berdiri dan sambil menggigit bibirnya, ia menerjang maju lagi dan merobohkan beberapa orang pengeroyok.
Pada saat itu, Lu Sian sudah dapat memulihkan tenaga. Ia membuka mata dan melihat betapa Kim-mo Taisu terdesak hebat dan gerakan bekas kekasihnya ini mulai lambat dan lemah, Lu Sian mengeluarkan suara melengking dahsyat dan tubuhnya mencelat ke udara. Sekali ia menggerakkan kepala, rambutnya merupakan selimut hitam menyambar ke depan dan sekaligus rambutnya telah merampas empat buah senjata para pengeroyok memekik ngeri dan roboh dengan baju di bagian dada hangus, kulit dadanya pun terdapat tanda tapak tangan menghitam dan dua orang itu roboh tewas seketika. Kacaulah para pengeroyok kini. Mereka terdesak mundur, kemudian terdengar hwesio Siauw-lim-pai berteriak keras dan mereka semua menyambar tubuh teman-teman yang tewas atau terluka, lalu meloncat dan melarikan diri dari tempat itu.
Kim-mo Taisu masih berdiri tegak dengan kipas dan guci arak di tangan sedangkan Lu Sian berdiri di sebelahnya, rambutnya terurai dan pedang Toa-hong-kiam di tangan. Sunyi sekali di situ, hanya tampak bekas-bekas darah membasahi rumput-rumput yang rebah terinjak-injak dan daun-daun yang rontok dari pohon karena sambaran angin-angin pukulan dahsyat tadi.
Lu Sian menengok ke arah Kim-mo Taisu dan seketika wanita ini melompat mendekati, cepat menerima tubuh Kim-mo Taisu yang tiba-tiba terhuyung dan roboh pingsan dalam pelukan Lu Sian! Kiranya pendekar ini telah menderita luka hebat di lambungnya, dan tadi ia masih mampu bergerak melawan adalah bukti daripada keuletannya yang luar biasa. Lu Sian memeluk dan mendukung tubuh Kim-mo Taisu seperti seorang ibu mendukung anaknya. Setelah mengumpulkan kipas, guci arak dan pedangnya, ia lalu memanggul tubuh Kim-mo Taisu dan dibawanya lari memasuki hutan yang lebat. Air matanya bercucuran di sepanjang pipinya, akan tetapi mulutnya tersenyum-senyum dan wajahnya berseri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping Hoo
General FictionBu Kek Siansu adalah sebuah karakter khayalan hasil karya Kho Ping Hoo, dan merupakan serial bersambung terpanjang terbaik di samping seri Pedang Kayu Harum (Siang Bhok Kiam). Ia dikisahkan pada masa kecilnya disebut Anak Ajaib (Sin Tong) karena dal...