Jilid 4

2.2K 46 0
                                    

"Ma-susiok (Paman Guru Ma)! Ada keperluan apakah Susiok menyusul kami?"

Biarpun masih duduk di atas kudanya membelakangi mereka yang baru datang, Kwee Seng tahu bahwa yang datang adalah dua orang. Kemudian ia merasa heran juga ketika mendengar suara Ma Thai Kun berubah sama sekali dalam jawaban pertanyaan Lu Sian.

"Lu Sian, kau menjauhlah dulu. Urusan ini adalah urusan antara Kwee Seng dengan aku dan percayalah, tindakanku ini sesungguhnya demi kebaikan dirimu."

Kwee Seng adalah seorang pemuda yang amat halus perasaanya. Ia maklum orang macam bagaimana adanya sute ke dua dari Pat-jiu Sin-ong ini, seorang kasar dan pemarah, sombong dan tinggi hati. Mengapa tiba-tiba terkandung getaran halus yang amat berlawanan dengan wataknya itu ketika bicara terhadap Lu Sian ? Tiba-tiba ia teringat akan semua peristiwa di Nan-cao dan keningnya berkerut. Tahulah ia sekarang sebabnya dan sekaligus terbongkar sudah olehnya semua rahasia pembunuhan di Beng-kauw. Hal ini mendatangkan marah di hatinya dan ia berkata.

"Nona, lebih baik kau menuruti permintaan susiokmu. Kau minggirlah, dan biar aku bicara dengannya."

Liu Lu Sian tersenyum dan menjauhkan kudanya dengan wajah berseri. Hal inilah yang tidak dimengerti oleh Kwee Seng. Mengapa gadis itu malah tersenyum seperti orang bergembira padahal jelas bahwa paman gurunya mempunyai niat tidak baik terhadap dirinya ? Ia tidak peduli, lalu meloncat turun dari atas kudanya dengan guci arak masih di tangan kiri, sambil membalik sehingga ketika kedua kakinya menginjak tanah, ia berhadapan dengan Ma Thai Kun dan seorang laki-laki muda yang sikapnya tenang sungguh-sungguh, berpakaian sederhana memakai caping dan punggungnya terhias sebatang cambuk. Ma Thai Kun merah mukanya, alisnya berkerut dan sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan.

"Ma Thai Kun, katakanlah kehendak hatimu sekarang."

"Kwee Seng, kau seorang yang telah menghina Beng-kauw ! Kau tidak memandang mata kepada tokoh-tokoh Beng-kauw, mengandalkan kepandaian mengalahkan seorang wanita muda, mengandalkan mulut manis mengelabuhi seorang tua. Twa-suheng boleh saja kau kelabuhi, akan tetapi aku Ma Thai Kun takkan membiarkan kau pergi menggondol keponakanku begitu saja untuk melaksanakan niatmu yang kotor!"

"Wah-wah ! Hatimu dan pikiranmu sendiri berlepotan noda, kau masih bicara tentang niat kotor orang lain. Bagus sekali mengenal tangan mautmu yang telah kau pergunakan untuk membunuh tujuh orang pemuda di rumah penginapan dan tiga orang pemuda yang sudah kalah oleh Nona Liu Lu Sian!"

"Ma-susiok ! Betulkah itu?" Tiba-tiba Lu Sian yang mendengar kata-kata ini bertanya dengan suara terdengar gembira.

Benar-benar Kwee Seng tidak mengerti dan sekali lagi ia terheran-heran atas sikap Lu Sian ini. Merah wajah Ma Thai Kun.

"Memang betul aku membunuh mereka. Cacing-cacing tanah itu tak tahu malu dan berani mengharapkan yang bukan-bukan, orang-orang macam mereka mana patut memikirkan Lu Sian? Aku membunuh mereka apa sangkut-pautnya dengan kau, Kwee Seng?"

"Suheng...! Kenapa kau lakukan kekejaman itu ? Bukankah Ji-suheng sudah melarang kita... " Orang muda bertopi runcing itu bertanya, suaranya penuh kekuatiran.

"Sute, tak usah kau turut campur ! Kau anak kecil tahu apa!"

Kwee Seng tertawa bergelak. Sekali pandang saja tahulah ia bahwa orang muda yang menjadi adik seperguruan Ma Thai Kun ini seorang yang jauh bedanya dengan saudara-saudara seperguruannya, jauh lebih bersih batinnya.

"Ma Thai Kun, memang urusan dengan pemuda itu tiada sangkut-pautnya dengan aku, akan tetapi pembunuhan keji itu tak boleh kudiamkan saja tanpa menegurmu. Apalagi, kau masih menitipkan sebuah benda kepadaku, apakah kau tidak ingin memintanya kembali?" Sambil berkata demikian, Kwee Seng mengeluarkan sebatang jarum merah dari saku bajunya.

"Kau mengenal ini ? Kau menghadiahkan ini kepadaku selagi aku tidur, dan untuk kebaikan hati itu aku belum membalasnya." Kwee Seng menyindir.

Berubah wajah Ma Thai Kun. "Kau ... kaukah jahanam itu ... ?" bentaknya dan tanpa memberi peringatan lagi ia sudah menerjang ke depan, menggerakkan kedua tangannya mengirim serangan maut dengan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga sin-kang sepenuhnya.

"Aii ..... aiih..... inikah tangan maut yang mengandung racun merah itu ?" Kwee Seng mengelak sambil mengejek dan tiba-tiba dari dalam guci arak itu melesat keluar bayangan merah dari arah yang mencrat dan menyerang muka Ma Thai Kun.

Biarpun hanya benda cair, karena arak itu digerakkan oleh tenaga lwee-kang, terasa seperti tusukan jarum. Ma Thai Kun cepat mengibaskan tangannya dan hawa pukulannya membuat arak itu pecah bertebaran. Akan tetapi mendadak sebuah guci arak yang sudah kosong melayang ke arah kepalanya. Ma Thai Kun menangkis dengan tangan kirinya.

"Brakkk !" guci itu pecah pula berkeping-keping.

Namun Kwee Seng sudah merasa puas. Serangannya yang mendadak dapat memecahkan rahasia gerakan Ma Thai Kun, maka ia sudah dapat menyelami dasarnya. Maka ketika Ma Thai Kun menerjangnya lagi, ia menyambut dengan gerakan kedua tangan yang sama kuatnya. Kwee Seng tidak mengeluarkan senjata melihat lawannya juga bertangan kosong.

Memang di antara para saudara seperguruannya, Ma Thai Kun terkenal seorang ahli silat tangan kosong yang tak pernah menggunakan senjata. Namun, kedua tangannya merupakan sepasang senjata yang mengandung racun, menggila dahsyat dan ampuhnya ! Jarang ia menemui tandingan, apalagi kalau lawannya juga bertangan kosong. Baru beradu lengan dengannya saja sudah merupakan bahaya bagi lawan. Namun kali ini Ma Thai Kun kecelik. Lawannya biarpun masih muda, namun telah memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi sekali. Biarpun ia tidak mengisi kedua lengannya itu telah kebal terhadap hawa-hawa beracun yang betapa ampuhnya pun juga, karena ketika ia merantau dan berguru kepada pertapa-pertapa di Pegunungan Himalaya, ia telah melatih dan menggembleng kedua lengannya dengan obat-obat mujijat, juga di dalam pertempuran berat ia selalu "mengisi" kedua lengannya dengan hawa sakti dari dalam tubuhnya.

Pertandingan itu hebat bukan main. Setiap gerakan tubuh, baik tangan maupun kaki, membawa angin dan menimbulkan getaran, bahkan tanah yang mereka jadikan landasan serasa tergetar oleh tenaga-tenaga dalam yang tinggi tingkatnya. Beberapa kali Ma Thai Kun menggereng dalam pengerahkan tenaga racun merah, disalurkan sepenuhnya ke dalam lengan yang beradu dengan lengan lawan. Namun akibatnya, dia sendiri yang terpental dan merasa betapa hawa panas di lengannya membalik. Makin merahlah ia dan terjangannya makin nekat.

"Ma Thai Kun, manusia macam kau ini semestinya patut dibasmi. Akan tetapi mengingat akan persahabatan dengan Pat-jiu Sin-ong, melihat pula muka nona Liu Lu Sian yang masih terhitung murid keponakan dan melihat muka adik seperguruanmu yang bersih hatinya, aku masih suka mengampunkan engkau. Pergilah!"

Sambil berkata demikian, tiba-tiba Kwee Seng merendahkan tubuhnya, setengah berjongkok dan kedua lengannya mendorong ke depan. Inilah sebuah serangan dengan tenaga sakti yang hebat. Tidak ada angin bersiut, akan tetapi Ma Thai Kun merasa betapa tubuhnya terdorong tenaga yang hebat dan dahsyat. Ia pun merendahkan diri, mendorongkan kedua lengannya untuk bertahan, namun akibatnya, terdengar bunyi berkerotokan pada kedua lengannya dan tubuhnya terlempar seperti layang-layang putus talinya, lalu ia roboh terguling dan kedua lengannya menjadi bengkak-bengkak.

"Orang she Kwee, kau melukai suhengku, terpaksa aku membelanya!" kata orang muda bertopi runcing sambil melepaskan cambuknya dari punggung.

"Saudara yang baik, siapakah namamu?" Kwee Seng bertanya, suaranya halus.

"Aku bernama Kauw Bian, saudara termuda dari Twa-suheng Liu Gan."

"Hemm, kulihat kau seorang yang jujur dan baik. Mengapa engkau hendak membela orang yang meyeleweng daripada kebenaran?"

"Tindakan Sam-suheng memang tidak kusetujui, akan tetapi sebagai sutenya, melihat seorang suhengnya terluka lawan, bagaimana aku dapat diam ? Kewajibankulah untuk membelanya ! Orang she Kwee, hayo keluarkan senjatamu dan lawanlah cambukku ini!" Setelah berkata demikian, Kauw Bian menggerakkan cambuknya keatas dan terdengar bunyi "tar-tar-tar!" nyaring sekali.

Diam-diam Kwee seng kagum sekali. Cambuk itu biarpun kelihatan seperti cambuk biasa, namun ditangan orang ini dapat menjadi senjata yang ampuh sekali. Dan ia kagum akan isi jawaban yang membayangkan kejujuran budi dan kesetiaan yang patut dipuji. Maka Kwee Seng segera menjura dan berjata.

"Kauw-enghiong, sikapmu membuat aku lemas dan aku mengaku kalah terhadapmu. Maafkanlah, aku tidak mungkin mengangkat senjata melawan seorang yang benar, dan aku pun percaya kau tidak seperti Suhengmu untuk menyerang seorang yang tidak mau melawan." Setelah berkata demikian, Kwee Seng melompat keatas kudanya, menoleh kepada Lu Sian sambil berkata. "Nona, terserah kepadamu ingin melanjutkan perjalanan bersamaku atau tidak."
Lalu ia melarikan kudanya pergi dari situ.

Liu Lu Sian tercengang sejenak lalu tersenyum dan membedal kudanya pula, mengejar. Tinggal Kauw Bian yang masih memegang pecut, tidak tahu harus berbuat apa dan hanya dapat memandang dua buah bayangan yang makin lama makin kecil dan akhirnya lenyap itu.

"Kauw Bian-sute ! Adik macam apa kau ini ? Kenapa tidak serang dia?"

Kauw Bian terkejut dan cepat menoleh. Kiranya Ma Thai Kun sudah berdiri di belakangnya, meringis kesakitan dan ke dua lengannya masih bengkak-bengkak.

"Tidak mungkin, Suheng. Dia tidak mau melawanku, bagaimana aku bisa menyerang orang yang tidak mau melawan?"

"Uhhh, dasar kau lemah..." Mendadak Ma Thai Kun menghentikan omelannya karena mendadak bertiup angin dan sesosok tubuh tinggi besar melayang turun.

Kiranya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang datang. Jelas bahwa tokoh ini marah, sepasang matanya melotot memandang Ma Thai Kun dan begitu kakinya menginjak tanah, ia lalu membentak.

"Ma Thai Kun ! Bagus sekali perbuatanmu, ya ? Kau layak dipukul seperti anjing!"

Tangan kiri Liu Gan bergerak dan "plakkk, plakkk!" telapak dan punggung tangan sudah menampar cepat sekali mengenai sepasang pipi Ma Thai Kun yang terhuyung-huyung ke belakang.
Pucat muka Ma Thai Kun dan matanya menyipit berbahaya ketika berdongak memandang. "Twa-suheng, apa kesalahanku?"

"Masih bertanya tentang kesalahannya lagi ? Anjing hina kau ! Kau, tua bangka, kau berani menaruh hati cinta kepada puteriku, keponakanmu ? Penghinaan besar sekali ini, tidak dapat diampunkan!"

"Suheng, apa buktinya?"

"Setan alas ! Kau kira aku tidak tahu akan segala perbuatanmu ? Sebelum kau membunuhi pemuda-pemuda itu, pada malam hari itu kau membujuk-bujuk Lu Sian dengan kata-kata merayu, kau menyatakan cintamu dan minta kepada Lu Sian agar jangan mau diadakan pemilihan jodoh. Huh, tak malu ! Dan kau begitu cemburu dan membunuhi para pemuda yang tergila-gila kepada Lu Sian, malah engkau membunuh tiga orang pemuda yang sudah kalah oleh Lu Sian. Kemudian sekarang kau berani mampus menghadang Kwee Seng sehingga dikalahkan dan karenanya menampar mukaku. Keparat!!"

Mendengar ini semua, Kauw Bian mukanya sebentar merah sebentar pucat saking heran, terkejut, dan bingung mendengar kelakuan Sam-suheng (Kakak Seperguruan ke Tiga). Namun Ma Thai Kun malah tersenyum.

"Twa-suheng, semua itu memang benar ! Akan tetapi, apa salahnya kalau aku mencinta Lu Sian! Dia wanita dan aku laki-laki ! Agama kita tidak melarang akan hal ini, tidak melarang perjodohan antar keluarga, apalagi antara kita hanya ada hubungan keluarga seperguruan. Twa-suheng, memang aku mencinta Lu Sian dengan sepenuh jiwaku. Lu Sian sendiri tidak marah mendengar pengakuanku, mengapa Suheng marah-marah?"

Gemeretak bunyi gigi dalam mulut Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. "Jahanam hina ! Apa kau kira menjadi tanda bahwa dia membalas cintamu ? Huh, goblok dan hina ! Lu Sian selalu akan gembira mendengar orang laki-laki jatuh cinta kepadanya, karena ia ingin menikmati kelucuan badut-badut itu ! Kau sama sekali tidak memandang mukaku, maka kau harus binasa sekarang juga!" Liu Gan sudah bergerak maju, akan tetapi ia menarik kembali tangannya ketika melihat Kauw Bian melompat ke tengah menghalanginya.

"Kau...Kauw Bian Sute, mau apa??"

"Maaf, Twa Suheng. Terus terang saja siauwte sendiri tidak setuju perbuatan Ma-suheng itu. Akan tetapi, Twa-suheng, betapapun besar kesalahannya, kiranya tidaklah baik kalau Twa-suheng menjatuhkan hukuman mati kepada Ma-suheng. Pertama, mengingat akan saudara seperguruan, ke dua hal itu akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw dan merendahkan nama besar Twa-suheng, malah menyeret pula nama Beng-kauw yang kita cintai. Betapa dunia kang-ouw akan gempar kalau mendengar bahwa Ketua Beng-kauw membunuh adik seperguruannya sendiri."

Liu Gan mengerutkan kening, menarik napas panjang dan memeluk sutenya yang paling muda dan memang paling ia sayang itu.

"Ah, Siauw-sute ! Kau masih begini muda namun pandanganmu luas, pikiranmu sedalam lautan. Untung ada engkau yang dapat menahan kemarahan ku. Eh, Ma Thai Kun, minggatlah kau ! Mulai detik ini, aku tidak sudi lagi melihat mukamu dan kalau kau berani muncul di depanku, hemmm, aku tidak peduli lagi, pasti aku akan membunuhmu !"

Ma Thai Kun menjura dalam-dalam lalu membalikkan tubuh dan lenyap di antara pohon-pohon. Kauw Bian menarik napas panjang dan mengusap dua titik air matanya dari pipi.

"Kau menangis, Sute ?" Liu Gan bertanya heran.

Dengan suara serak Kauw Bian menjawab, masih membalikkan tubuh memandang ke arah perginya Ma Thai Kun.

"Perbuatan manusia selalu mendatangkan kebaikan dan keburukan, Twa-suheng. Kalau kita mengingat yang buruk-buruk saja memang dapat menimbulkan benci. Akan tetapi saya teringat akan kebaikan-kebaikan Ma-suheng selama menjadi kakak seperguruan, dan bagaimana hati saya takkan sedih melihat dia pergi untuk selamanya ? Betapapun juga, beginilah agaknya yang paling baik. Dengan penuh duka adikmu ini melihat betapapun juga Ma-suheng pergi membawa serta dendam dan kebencian yang hebat, yang tentu akan membuatnya nekat dan melakukan hal-hal yang berbahaya. Akan tetapi karena Twa-suheng mengusirnya, berarti bahwa semua perbuatannya tiada sangkut-pautnya dengan Beng-kauw."

Mendengar kata-kata ini, berkerut kening Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. "Hemmm, agaknya benar lagi pendapatmu tentang baik buruk yang lekat pada perbuatan manusia. Kwee Seng kelihatan seorang yang pilihan, akan tetapi siapa tahu sewaktu-waktu sifat buruknya akan menonjol pula. Kauw Bian Sute, kau kembalilah dan bantulah Suhengmu Liu Mo menjaga Beng-kauw dan beri laporan kepada Sri Baginda bahwa aku akan merantau selama dua tiga bulan."

"Twa-suheng hendak membayangi perjalanan Kwee Seng dan Lu Sian ? Itu baik sekali, Twa-suheng, karena perjalanan bersama antara seorang pria dan wanita, sungguh merupakan bahaya besar yang bahayanya lebih banyak mengancam si wanita daripada si pria."

"Sute, kau benar-benar berpemandangan tajam. Nah, aku pergi !"

Pat-jiu Sin-ong Liu Gan berkelebat, angin menyambar dan ia sudah lenyap dari depan Kauw Bian. Pemuda yang berpakaian sederhana seperti pengembala ini menarik napas panjang saking kagumnya, kemudian ia pun melangkah pergi dari hutan itu.

Musim dingin telah tiba dan melakukan perjalanan pada musim dingin bukanlah hal yang menyenangkan atau mudah. Apalagi kalau hanya menunggang kuda tanpa ada tempat untuk berlindung dari serangan hawa dingin yang menusuk tulang, tidak mengenakan baju bulu yang tebal, tentu perjalanan itu akan mendatangkan sengsara dan juga bahaya mati kedinginan.

Namun, tidak demikian agaknya bagi Kwee Seng dan Liu Lu Sian. Dua orang muda ini bukanlah orang-orang biasa, melainkan pendekar-pendekar yang sudah gemblengan yang dengan ilmunya telah dapat menyelamatkan diri daripada serangan hawa dingin tanpa bantuan benda luar seperti baju tebal dan selimut. Mereka melakukan perjalanan seenaknya dan hanya mengaso kalau kuda yang mereka tumpangi sudah lelah dan kedinginan.

Pada siang hari itu, mereka mengaso di pinggir Sungai Wu-kiang yang mengalirkan airnya perlahan-lahan ke jurusan timur. Airnya tampak tenang dan sedikit pun tidak bergelombang, membayangkan bahwa sungai itu amat dalam. Lu Sian menyalakan api unggun untuk menghangatkan tubuh dua ekor kuda mereka, juga dengan bantuan api, mereka merasa nikmat dan hangat.

"Kwee-koko, sudah dua pekan kita melakukan perjalanan, akan tetapi belum juga kau penuhi dua permintaanku." Lu Sian berkata sambil mengorek-orek kayu membesarkan nyala api.

"Nona..."

"Nah, yang dua belum dipenuhi, yang satu dilanggar pula. Berapa kali sudah kukatakan supaya kau jangan menyebut Nona kepadaku ? Wah, pelajar apakah kau ini, Begitu pikun dan kurang perhatian ? Mana bisa maju mempelajari sastra yang begitu sulitnya!"

Kwee Seng menarik napas panjang. Gadis ini memang hebat. Tidak saja benar-benar mempunyai kecantikan yang asli dan gilang-gemilang, yang cukup meruntuhkan hatinya, namun juga memiliki watak yang kadang-kadang membuat ia bertekuk lutut karena ia jatuh hatinya. Watak yang berandalan, namun seakan-akan dapat menambah terangnya sinar matahari, menambah merdu kicau burung, menambah meriah suasana dan menjadikan segala apa yang tampak berseri-seri. Akan tetapi, juga makin yakin hatinya bahwa di balik segala keindahan, segala hal-hal yang menjatuhkan hatinya ini, tersimpan sifat-sifat lain yang amat bertentangan dengan hatinya. Sifat kejam dan ganas, tidak mempedulilkan orang lain, terlalu cinta kepada diri sendiri, dan tidak mau kalah, ingin selalu menang dan berkuasa saja.

"Memang aku seorang pelajar yang gagal, tidak lulus ujian." Ia menjawab kemudian menambahkan. "Kau minta aku menceritakan riwayatku, apakah gunanya ? Aku tidak ada riwayat yang pantas menjadi cerita, aku seorang sebatang kara, yatim piatu, miskin dan gagal. Apalagi ? Tentang permintaanmu ke dua mempelajari ilmu silat yang sedikit-sedikit aku bisa, nantilah, belum tiba saatnya."

"Wah, kau jual mahal, Koko!" Lu Sian mengejek dan mengisar duduknya mendekati pemuda itu. Memang demikianlah selalu sikap Lu Sian, terhadap siapapun juga. Jinak-jinak merpati, tampaknya jinak tapi tak mudah didekati !

"Hawa begini dingin, kalau ditambah sikapmu, bukankah kita akan menjadi beku ? Eh, Kwee-koko, kalau aku tidak ingat bahwa kau adalah seorang ahli silat yang lihai, kau ini pelajar gagal dan murung mengingatkan aku akan seorang penyair yang sama segalanya dan sama murungnya dengan engkau... hi hik...!" Gadis ini menutup mulutnya dengan tangan, akan tetapi matanya jelas mentertawakan Kwee Seng.

"Penyair mana yang kau maksudkan?" Biarpun tahu gadis itu hanya menggodanya, namun bicara tentang syair dan menyair menimbulkan kegembiraan selalu bagi Kwee Seng.

"Siapa lagi kalau bukan Tu Fu ! Pernah aku mendengar ayah bicara tentang syair-syairnya, mengerikan!"

"Mengapa mengerikan kalu dia selalu mencurahkan isi hatinya berdasarkan kenyataan dan terdorong oleh rasa kasihan kepada sesamanya?"

"Bukan rasa kasihan kepada sesamanya, Koko, Melainkan rasa kasihan kepada diri sendiri ! Karena keadaannya miskin terlantar, dia pandai bicara tentang kemiskinan. Coba dia itu kaya raya, atau andaikata tidak kaya harta benda, sedikitnya kaya akan cinta kasih kepada alam seperti penyair yang seorang lagi... eh, siapa itu yang suka memuji-muji alam, yang suka... mabok-mabokan, gila arak seperti kau pula..."

"Kau maksudkan penyair Li Po?"

"Ya, dia itulah. Kalau Seperti Li Po yang memandang dunia dari segi keindahan, tentu dalam kemiskinannya Tu Fu takkan begitu pahit dan pedas sajak-sajaknya. Wah, aku seperti mengajar itik berenang ! Kau tentu lebih tahu dan pandai. Aku paling ngeri mendengar syair Tu Fu tentang anggur, daging dan tulang. Bagaimana bunyinya, Kwee-koko?"

Kwee Seng meramkan mata, menengadahkan mukanya yang tampan ke atas lalu mengucapkan syair ciptaan Tu Fu dengan suara bersemangat, terpengaruh oleh isi sajak yang memaki-maki keadaan pada waktu itu.

"Di sebelah dalam pintu gerbang merah hangat indah serba mewah anggur dan daging bertumpuk-tumpuk sampai masam rusak membusuk ! Di sebelah luar pintu gerbang merah dinding kotor serba miskin berserakan tulang-tulang rangka mereka yang mati kedinginan dan kelaparan!"

"Iiiihhh ! Itu bukan sajak namanya!" Lu Sian mencela, kelihatan jijik dan ngeri, "Tidak enak benar mendengarkan sajak seperti itu."

"Memang sajak itu keras dan tegas, agak berlebihan, namun mengandung kegagahan yang tiada bandingnya, Non... eh, Moi-moi."

Sepasang bibir indah merah terbelah memperlihatkan kilatan gigi seperti mutiara ketika Lu Sian mendengar sebutan moi-moi (dinda) itu. Diam-diam ia mentertawakan Kwee Seng di dalam hatinya. Katakanlah kau menang dalam ilmu silat, boleh kau mengira dirimu gagah perkasa dan tampan, namun alangkah mudahnya kalau aku mau menjatuhkanmu, membuatmu bertekuk lutut di depan kakiku ! Demikianlah nona ini berkata dalam hatinya.

"Eh, apakah dia itu pun pandai ilmu silat seperti kau, Kwee-koko?"

"Biarpun aku juga hanya seorang bodoh, akan tetapi sedikit banyak mengerti ilmu silat, sedangkan mendiang Tu Fu benar-benar seorang sastrawan yang tak tahu bagaimana caranya memegang gagang pedang, tahunya hanya memegang gagang pensil."

"Kalau begitu dia orang lemah. Bagaimana gagah tiada bandingnya?"

"Moi-moi, kau tidak tahu. Biarpun orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi sekali pada waktu itu, tak mungkin ia berani melontarkan kata-kata yang seperti bunyi sajak itu, karena dapat dicap sebagai pemberontak dan di hukum mati!"

"Tapi aku lebih kagum kepada penyair Li Po. Masih teringat aku akan sajaknya yang benar-benar membayangkan kegagahan, kalau tidak salah begini : "Alangkah inginku dapat terbang dengan pedang sakti di tangan menyebrangi samudera untuk membunuh ikan paus pengganggu nelayan!"

Ketika mengucapkan sajak ini, Lu Sian bangkit berdiri, kedua kakinya terpentang, tubuhnya tegak dada membusung penuh semangat dan kelihatan gagah dan cantik jelita. Suaranya bersemangat, merdu dan penuh perasaan sehingga Kwee Seng melihat dan mendengar dengan mata terbelalak dan mulut ternganga ! Ia berada dalam keadaan seperti itu dan baru tersipu-sipu membuang muka ketika Lu sian memandangnya dan bertanya.

"Kau kenapa, Koko?"

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa... kau pandai membaca sajak, Moi-moi..." kata Kwee Seng gagap.

Akan tetapi terdengar gadis itu terkekeh tertawa, suara ketawa yang mengandung banyak arti dan gadis itu masih tersenyum-senyum dan sinar matanya mengerling tajam penuh ejekan ketika mereka bangkit berdiri dan berhadapan, Lu Sian menggerakkan kakinya perlahan mendekati, sampai dekat benar, sampai terasa benar oleh hidung Kwee Seng keharuman yang luar biasa keluar dari tubuh gadis itu. Wajah jelita itu dekat sekali dengan wajahnya, wajah yang berseri dengan mata bersinar-sinar dan bibir terbuka menantang dikulum senyum. Serasa terhenti detak jantung Kwee Seng, bobol pertahanannya dan dengan nafsu yang memabokkan pikirannya didekapnya pundak Lu Sian dalam rangkulan dan ditundukkannya mukanya untuk mencium. Akan tetapi tiba-tiba Lu Sian menundukkan mukanya sehingga yang tercium oleh Kwee Seng hanyalah rambutnya, rambut yang harum menyengat hidung, dan tiba-tiba terdengar gadis itu bertanya, suaranya dingin aneh, penuh cemooh.

"Hai, Kwee Seng pendekar muda yang sakti, pertapa belia tahan tapa dan si teguh hati, apakah yang akan kau perbuat ini?"

Seakan disiram air salju mukanya, Kwee Seng gelagapan, mukanya menjadi pucat lalu berubah merah, dilepaskannya dekapan tangannya dan ia membuang muka lalu menundukannya.

"Maaf... ah, maafkan aku. Seperti sudah gila aku tadi... ah, Nona Liu, maafkan aku. Kenapa kau begitu... begitu jelita dan.. dan.. keji...?"

Liu Lu Sian tertawa, suara tawanya merdu sekali, akan tetapi juga penuh dengan ejekan. "Kwee-koko, kau ingatlah. Agaknya kemuraman penyair Tu Fu menularimu. Mari kita lanjutkan... "

Tiba-tiba Kwee Seng mendorong gadis itu yang segera meloncat, bermodal tenaga dorongan Kwee Seng yang juga sudah meloncat ke belakang dengan gerakan cepat. Sambil mengeluarkan bunyi berciutan menyambarlah lima batang senjata piauw (pisau terbang) dan menancap ke dalam batang pohon. Tidak hanya berhenti disitu saja penyerangan gelap ini karena dari tiga penjuru menyambarlah bermacam-macam senjata rahasia menghujani tubuh Kwee Seng dan Lu Sian. Akan tetapi, kini dua orang muda yang berilmu tinggi itu kini sudah siap sedia dan waspada, dengan mudah mereka menyelamatkan diri.

Lu Sian sudah mencabut pedangnya dan dengan putaran pedangnya secara indah dan cepat, semua piauw jarum dan senjata rahasia paku beracun dapat ia pukul runtuh. Adapun Kwee Seng sendiri hanya dengan menggerak-gerakkan kedua lengannya saja, ujung lengan bajunya mengeluarkan angin pukulan, cukup membuat semua senjata rahasia menyeleweng dan tidak mengenai dirinya. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan ternyata dua ekor kuda mereka yang dilarikan orang.

"Keparat hina dina!" Lu Sian melompat, pedangnya berkelebat dan dua orang yang menunggang kuda mereka terjungkal, tak bernyawa lagi !

"Ah, Moi-moi, kenapa begitu ganas?" Kwee Seng menegur penuh sesal sambil memegangi kendali kudanya yang terkejut dan akan memberontak.

"Penjahat rendah yang telah menyerang secara pengecut, lalu hendak mencuri kuda, sudah sepatutnya dibunuh." Kata Lu Sian dengan suara dingin sambil menyarungkan kembali pedangnya.

Kwee Seng membungkuk sambil memeriksa dua orang itu. Pakaian mereka tidak menunjukkan orang-orang miskin, juga rapi tidak seperti maling-maling kuda biasa. Akan tetapi, bekas tusukan pedang Lu Sian hebat sekali, mereka itu sudah mati dan tak dapat ditanya lagi.

"Justeru karena mereka mengandalkan banyak orang dan secara menggelap menyerang kita, perlu kita ketahui apa latar belakangnya. Dua ekor kuda kita, biarpun merupakan kuda pilihan, kiranya belum patut menggerakkan hati orang-orang kang-ouw untuk merampasnya. Tentu saja ada apa-apa di belakang semua ini, namun sayang, mereka sudah mati tak dapat ditanya lagi. Mari kita lanjutkan perjalanan, dua mayat ini tentu akan diurus oleh teman-temannya yang kurasa tidak kurang dari lima orang banyaknya melihat datangnya senjata-senjata rahasia tadi. Kau hati-hatilah, Moi-moi, kurasa orang-orang yang memusuhi kita takkan berhenti sampai disini saja."

Lu Sian mengangkat kedua pundak, memandang rendah sekali kepada ancaman musuh, lalu melompat ke atas punggung kudanya. Dua orang muda itu segera menjalankan kuda ke timur di sepanjang lembah sungai Wu-kiang. Melihat Kwee Seng naik kuda dengan wajah muram dan alis berkerut, diam tak mengeluarkan kata-kata dan sama sekali tak pernah menoleh kepadanya, Lu Sian bertanya.

"Koko, apakah kau masih marah kepadaku?"

Tanpa menoleh Kwee Seng berkata lirih, "Kenapa marah ? Tidak!"

Diam pula sampai lama. Hanya suara derap kaki kuda mereka yang berjalan congklang. Dari jauh tampak tembok sebuah kota. Itulah kota Kwei-siang yang terletak di tepi sungai.  

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang