Rintik hujan dan gemuruh petir yang menggebu-gebu seakan mengiringi langkah seorang wanita di dalam sepinya koridor sebuah bangunan. Terik siang itu mendadak disapa awan kelabu pada pertengahan pukul satu. Dengan rambut dan pakaian setengah basah, wanita itu memacu langkahnya perlahan. Genggamannya ia eratkan pada selempangan tas kecilnya, bagai berjalan ditengah para pencopet yang siap menyamber tasnya kapan pun. Pandangannya kosong, mulutnya terkatup rapat, tubuhnya menggigil. Bukan, bukan karena kedinginan usai dijamah air hujan, namun karena berita dari panggilan yang ia terima barusan. Ia pastikan ia tidak salah dengar. Jelas tidak, pendengarannya masih normal. Ia juga jelas tidak sedang bermimpi, karena tadi saat di apartemen kakinya sempat terantuk pintu. Asumsinya berputar-putar di kepala bak bianglala, ditambah aroma obat campur petrikor yang menusuk indera penciumannya. Ia tersadar.
Kakinya kembali terantuk.
Artinya ia benar-benar di dunia nyata, tidak maya, tidak sedang bermimpi. Ia menyibakkan rambut ke belakang telinga, lantas kembali menyusuri koridor dalam diam.
***
Jisoo merapikan buku-bukunya, menatanya kembali ke dalam tas. Hari ini kuliah terasa begitu membosankan dan sangat lama. Entah karena ia tidak semangat atau karena Bapak dosen yang suaranya terlalu merdu, sampai-sampai beberapa mahasiswa tertidur sepanjang jam mata kuliah. Jisoo berdiri, meregangkan tubuhnya yang terasa kaku, lalu beranjak.
Kim Jisoo, 21 tahun. Cantik, cerdas, sering kali mendapat pujian dari dosen pengajar, dan tinggal sendirian di apartemen yang pamannya sewakan untuknya. Teman? Sejauh ini tidak ada yang bertahan hingga seminggu. Semuanya datang dan pergi, berlalu begitu saja secara tiba-tiba seperti hujan. Hujan, sesuatu yang sangat Jisoo sukai. Terlebih aroma petrikor yang menurutnya hangat dan menenangkan. Di musim hujan seperti ini, stok kopi dan kue bolu kesukaannya melimpah. Ia biasa menghabiskan semalaman untuk menulis, ditemani kopi dan merdunya hujan. Ngomong-omong masalah menulis, Jisoo suka sekali menulis. Ia pernah bercita-cita menjadi seorang penulis terkenal, atau paling tidak penulis yang nge-trend di Gwangju. Semua hasil tulisannya tersimpan rapi di laptopnya. Sampai hari ini ia berhasil menyelesaikan sebanyak tiga karya yang sudah selesai, dan empat karya yang masih berupa draf. Salah satunya adalah tulisannya tentang hujan dan cinta.
Jika menjadi idol tak mungkin bisa kulakukan, paling tidak aku ingin seluruh dunia mengenalku lewat hasil karyaku. Hasil karya yang selalu dapat ku selesaikan dengan ditemani kawan sejatiku, petrikor dan secangkir kopi. Bagiku tak ada kawan tak masalah, karena kedua hal tadi sudah menjadi kawanku. Namun saat kedua hal tadi tak dapat menemaniku, bukankah seharusnya ada seseorang yang dapat menemani dan memberiku ide? Seseorang yang dapat kucintai. Seseorang yang mencintaiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
KERUB [FINISHED]
Fanfic[au] Hujan amunisi di Insa-dong hari itu lah yang akhirnya membawa Jisoo pada Taeyong, dengan segala cerita yang mengikutinya. ##### Tell My Yearn to The Rain versi revisi. [folder asli TMYTTR masih tersedia di bab terakhir jika ingin membaca]