Malam itu hujan gerimis menyapa. Malam itu hujan gerimis menjadi saksi bisu para pemuda yang hancur wajahnya. Mereka bersama-sama saling mengobati luka, menyapu perih dengan obat merah dan perban. Jisoo membantu mereka satu per satu, semuanya. Ia sendiri hampir melupakan pipinya yang lebam. Usai mengobati luka mereka, Jisoo beranjak untuk menyeduh teh. Sepuluh gelas, sembilan untuk mereka dan satu untuknya. Sambil ditemani gemercik hujan di luar dan teh hangat buatan Jisoo, mereka bercengkerama.
"Tubuhmu masih sakit, Jen?" tanya Eunwoo.
Jennie melirik, menggeleng lemah. Ia menyesap tehnya. Tadi benar-benar gila. Ia tak menyangka akan benar-benar melompat. Ia tak menyangka Lisa masih bisa bertahan. Lisa sungguh gadis yang kuat. Saat pertama kali Jennie melakukan hal serupa dulu, musuhnya pingsan di tempat. Ia sungguh tak menyangka.
"Apa yang ada di pikiranmu tadi sampai kau lakukan itu? Kebiasaan buruk." sindir Johnny.
Jennie melirik. "Tapi Lisa berhenti kan?"
"Bagaimana kalau kau membunuhnya?"
"Kau liat wanita sialan itu duduk di atasku dan menghajarku? Tidak, kan?"
"Jangan ulangi lagi. Kalian bisa celaka."
"Dan membiarkan mereka menyelakai Jisoo lagi?"
Semua terdiam. Pandangan tertuju pada Jisoo yang nampak menyesali hidupnya. Gadis itu menunduk dalam-dalam.
"Maafkan aku," tuturnya. "maaf sekali. Karena ayahku ... kalian jadi begini. Kudengar beberapa dari kalian belum sepenuhnya pulih dari luka terakhir kalian."
Sowon yang duduk di samping Jisoo melingkarkan tangan di pundaknya. Ia mengguncang bahu Jisoo perlahan.
"Ayahmu tak melakukan itu dari awal pun, kami akan tetap seperti ini." ujarnya.
"Pekerjaan kami memang seperti ini, Jisoo. Jangan berpikiran seperti itu, dan jangan menyalahkan diri kalian." sahut Mingyu.
Jisoo tersenyum kecut.
"Hujan sudah reda. Pulanglah kalian. Kembali ke sini besok pukul sebelas." tutur Eunwoo.
Semuanya beranjak. Jisoo menghampiri Taeyong dan membantunya berdiri. Selanjutnya, mereka pulang dalam keheningan perjalanan.
Sunyi masih memeluk bahkan setelah merebahkan tubuh di kasur. Jisoo menerawang ke langit-langit, berandai apakah yang dunia sedang lakukan. Ia kemudian bangkit untuk mandi, sempat berpapasan dengan Taeyong yang tak kunjung mengucapkan sepatah kata padanya. Mungkin rahangnya masih sakit, atau punggungnya, atau lengannya. Jisoo acuh. Menenggelamkan pikiran dalam air sabun bak mandi.
Taeyong mengganti sandi kunci rumahnya. Kali ini tak ia biarkan seorang pun tahu. Jisoo pun tidak. Ia berniat pergi mandi setelahnya, sempat berpapasan dengan Jisoo yang tak kunjung menyapanya. Biarlah. Semuanya sedang butuh waktu sendiri. Begitupun dirinya yang tengah membiarkan air membasahi tubuhnya. Pikirannya melayang menuju peristiwa beberapa tahun lalu, di Insa-dong, ketika semua ini bermula. Pikirannya melayang pada hari di mana Eunwoo mengumumkan tugas baru buat mereka yang masih dalam tahap pemulihan. Sebuah tugas kelas C yang tak begitu berat sebenarnya, mengawasi seorang gadis bernama Kim Jisoo. Saat itu, saat semua kawannya belum sembuh sempurna, ia lah yang nampak paling bersemangat. Ia lah yang pertama kali mengacungkan jari saat ditanya Eunwoo,
siapa yang ingin bergabung?
Ia tahu kawan-kawannya tak bisa. Ia tahu mungkin ia lah satu-satunya perwakilan tiap tim yang tersisa. Saat mereka memberinya posisi pada misi nomor pertama, ia menerimanya dengan lapang dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
KERUB [FINISHED]
Fanfic[au] Hujan amunisi di Insa-dong hari itu lah yang akhirnya membawa Jisoo pada Taeyong, dengan segala cerita yang mengikutinya. ##### Tell My Yearn to The Rain versi revisi. [folder asli TMYTTR masih tersedia di bab terakhir jika ingin membaca]