"Aku di rumah."
"Boleh aku ke sana?"
"Mau apa?"
"Aku ke sana sekarang."
Panggilan terputus. Jisoo mengernyit heran. Ia mencoba menghubungi Taeyong lagi, namun tak diangkat. Ada apa dengan pria itu? Apa ia sungguh hendak ke apartemen Jisoo? Untuk apa? Kenapa mendadak sekali? Dasar pria aneh tak tahu diri.
Dan Jisoo merasa jantungnya berdebar menunggu pria aneh tak tahu diri itu tiba. Ia sendiri tak dapat mengontrolnya. Terlebih karena mereka mudah sekali menjadikan hal serius sebagai candaan, seperti aku merindukanmu, dan sebagainya. Tentu saja hal serius mengingat semua teman Jisoo adalah lelaki. Doyoung, Jinyoung, dan Taeyong. Lisa satu-satunya teman wanitanya. Ya, sejauh ini. Jangan lupakan Rosé, Cheng Xiao, dan Jie Qiong juga. Sejak awal memang ia merasa aneh saat bersama Taeyong. Ia tak merasakannya saat bersama Doyoung, atau Jinyoung. Ayolah, ini masih pagi. Belum waktunya cari gara-gara.
TY : aku di luar
Taeyong sungguh ke apartemennya?! Ingin rasanya Jisoo membanting hpnya, atau mencelupkannya dalam teh panas. Ia mendengar bunyi bel selama beberapa kali, bergantian dengan pesan masuk dari Taeyong.
TY : chichoo
TY : buka pintunya
Dengan setengah kesal, Jisoo pun membuka pintu. Begitu dibuka, Taeyong langsung menyerbunya dengan berbagai pertanyaan.
"Kemarin kau pergi dengan Lisa? Apa yang kau lakukan dengannya? Sejak kapan kalian dekat?" Taeyong mengguncang bahu Jisoo. "Sudah kubilang untuk tak menggubrisnya. Kenapa kau tak mendengarkan, sih?! Kau kan bisa pergi dengan Doyoung atau Jinyoung. Atau denganku! Kenapa harus dengan Lisa? Kalau kau celaka, bagaimana?!"
Jisoo diam.
Pergi dengannya ...
Tidak! Tunggu. Kalau ia celaka? Jisoo mengernyit.
"Kalau aku celaka?" ucapnya.
Taeyong terkesiap. "Um ... anu ... "
Jisoo melepaskan genggaman Taeyong di bahunya perlahan. Taeyong tak sengaja melihat punggung tangan Jisoo yang diplester, lalu menggenggamnya.
"Ini! Tanganmu kenapa? Apa ada yang mencelakaimu?" tuturnya.
"Itu ... bukanlah hal penting—"
"Katakan!"
Jisoo mengernyit. "Kenapa kau ngotot sih?!"
"Kau tahu betapa khawatirnya aku padamu, Kim Jisoo?!"
"Kenapa kau harus mengkhawatirkanku?! Apa kau ayahku?!"
"Karena—" Taeyong terdiam. Apa yang harus ia katakan? "k-karena ... "
"Apa?!" bentak Jisoo.
Taeyong merunduk. Ia melepas genggamannya.
Jisoo menurunkan nada bicaranya. "Aku heran denganmu sejak kemarin. Apa kau tak punya pekerjaan lain selain mengirimiku pesan spam?"
"Makanya, jawab pertanyaanku jika aku bertanya." sahut Taeyong.
"Apa maksudmu?" Jisoo menyengir.
"Ah, sudahlah! Pokoknya jangan dekat-dekat Lisa dan kawan-kawannya!"
"Kenapa tidak?"
"Tidak boleh!"
"Kenapa tidak?"
"Karena aku melarang!"
"Memangnya kau siapa?"
Taeyong terdiam. Jisoo benar. Ia bukan siapa-siapanya.
"Jisoo ... " tuturnya lirih.
Jisoo melipat kedua tangannya sambil membuang muka.
"Aku ... " khawatir padamu. "m-minta maaf ... "
Jisoo mendengus. "Tolong jangan seperti itu. Kau sendiri yang menanyakan teman wanitaku. Sekarang aku punya teman wanita, tapi kau malah melarang. Kalau kau melarangku berteman dengannya karena kalian pernah punya hubungan setidaknya ka—"
Ia memotong ucapannya, kemudian bungkam. Mati! Apa ia salah bicara?
"Ya, aku pernah punya hubungan dengannya. Aku menjauhinya karena ia sekarang tak seperti dulu lagi. Dan kau ... kau gadis yang baik. Aku hanya ingin punya teman sepertimu. Kuharap kau tak bersama Lisa, jika kau tahu kenyataannya."
Kenyataan yang mana yang Taeyong bicarakan?
Jisoo masih diam. Oke, pertanyaannya sudah terjawab. Lalu bagaimana lagi sekarang?
"Seharusnya kau tahu sejak awal bahwa aku tak mau kalian dekat. Tentu saja aku tak mau. Aku tak mau gadis yang kusukai pada akhirnya sama saja seperti Lis—"
Taeyong terdiam.
Bodoh.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
KERUB [FINISHED]
Fanfiction[au] Hujan amunisi di Insa-dong hari itu lah yang akhirnya membawa Jisoo pada Taeyong, dengan segala cerita yang mengikutinya. ##### Tell My Yearn to The Rain versi revisi. [folder asli TMYTTR masih tersedia di bab terakhir jika ingin membaca]