[au] Hujan amunisi di Insa-dong hari itu lah yang akhirnya membawa Jisoo pada Taeyong, dengan segala cerita yang mengikutinya.
#####
Tell My Yearn to The Rain versi revisi.
[folder asli TMYTTR masih tersedia di bab terakhir jika ingin membaca]
Pagi ini kelas Jisoo berakhir lebih cepat. Ia hendak pergi bersama Doyoung dan Jinyoung tadinya, namun urung karena tempat yang hendak mereka tuju adalah rumah teman pria mereka. Akhirnya ia pun pergi ke gazebo, dan berinisiatif untuk menambah bagian tulisannya yang berisi tentang pertemuan antara seorang putri kerajaan dengan pangeran.
Menjadi seorang putri kerajaan bukanlah hal yang mudah. Semuanya tidak semudah kelihatannya. Juga bagi Putri Theresa, kehidupannya tidak lebih menyenangkan dari menyendiri di kamar. Ia bukanlah seorang yang anti sosial, bukan juga seorang wanita yang kutu buku. Baginya, kesendirian adalah ketenangan, di mana ia bisa bebas mengekspresikan emosinya.
Pada suatu hari kala datang seorang pangeran dari negeri seberang untuk mengunjungi ayahnya, Raja Titus. Pangeran Thomas namanya. Mendengar hal tersebut membuat Putri Theresa penasaran akan seperti apa wujud dan rupa sang Pangeran. Tibalah waktu saat Pangeran Thomas hendak kembali ke negerinya. Ia dan sang Putri berpapasan. Karena paras tampannya, Putri Theresa bak tersihir. Rupa-rupanya Pangeran Thomas pun jatuh cinta pada pesona sang Putri.
Tidak, tidak.
Jisoo menekan tombol backspace, menghapus kalimat terakhir tulisannya. Jemarinya kembali menari di atas keyboard, menuliskan kalimat lain yang lebih 'pantas'.
Namun Pangeran Thomas acuh, karena sudah memiliki sosok Putri yang kelak akan menjadi Ratunya.
Ia mendengus, menenggelamkan wajah pada kedua lututnya. Lukisan Taeyong, gambar sketsanya, saat ia menggenggam tangan Jisoo, semua hal itu berputar-putar di kepalanya. Mengapa harus dirinya? Mereka bahkan baru berkenalan. Kenapa Taeyong bisa menggenggam tangannya semudah itu, sementara untuk memandang wajah Taeyong saja Jisoo tidak sanggup? Perihal lukisan Taeyong, Jisoo yakin itu dirinya. Juga gambar sketsanya. Apa perlu ia bertanya pada Taeyong? Ya, jika ia sudah tidak waras.
Jisoo mengacak-acak rambutnya kesal. Mendadak jantungnya berdegup kencang, jemarinya gemetar. Ia merutuki dirinya sendiri, lalu menelan semua kekesalannya dengan kembali menulis.
"Kau sudah cantik. Kau lebih cantik dari wanita itu. Berhenti memandangi cermin."
Lisa menutup flip powdernya, memasukkannya ke dalam tas selempang kecil yang dulu Taeyong hadiahkan. Ya. Lee Taeyong.
Lee Taeyong.
Ia menyibakkan rambutnya ke belakang bahu, lantas memacu langkah keluar toilet. Entah ke mana tujuannya sekarang, ia tak tahu. Mungkin ke kelas kawan-kawannya? Mencari Taeyong? Atau, mengganggu Taeyong dan 'pacar baru'nya jika ia berpapasan dengan mereka? Banyak pasang mata memandanginya bak memandang sosok bidadari dengan sayap menyapu lantai. Lisa acuh, tetap berjalan pada iramanya. Sudah biasa mereka takjub memandanginya, dan Lisa juga suka dipandangi. Ia suka membuat mereka iri, dengan kecantikannya, dengan kesuksesannya mendapatkan seorang Lee Taeyong yang digilai wanita. Tapi itu dulu, sebelum Taeyong akhirnya sadar. Sadar karena bukan itu tujuan mereka sejak awal. Akibat kebodohan Taeyong juga, Lisa jadi benar-benar memiliki rasa padanya. Setidaknya ia hendak menunjukkan pada wanita itu, bahwa ia telah berurusan dengan orang yang salah. Di taman kampus ia menemukan eksistensi wanita itu seorang diri, berkutat dengan laptopnya. Langsung saja, tanpa banyak bicara, Lisa menghampirinya.
"Hei, kau, pacarnya Taeyong!" serunya.
Mendengar seseorang menyebut nama Taeyong, Jisoo menoleh. Seorang wanita yang waktu itu menyebut dirinya Lisa menghampirinya, duduk di hadapannya.
"Kau belum sempat menyebutkan namamu waktu itu! Aku kesulitan mencarimu."
"Namaku?"
Lisa mengangguk.
"Kim Jisoo."
"Baiklah, Kim Jisoo! Mari berteman!" Lisa mengulurkan tangannya, yang langsung dijabat oleh Jisoo saking bingungnya ia. Lisa mengatakan hendak mengajak Jisoo jalan-jalan, menemaninya pergi ke mall. Tak mungkin Jisoo menolak, jadi mereka pun pergi.
Lisa memacu mobilnya menuju salah satu mall besar di Seoul, langsung pergi memasuki setiap butik yang ada. Tak hanya membeli untuk dirinya pribadi, Lisa juga membelikan Jisoo pakaian atas kemauannya sendiri. Sekarang Jisoo sudah persis seperti wanita yang kehabisan uang, sampai tidak bisa membeli pakaian untuk dirinya. Demi mengusir penat setelah berjam-jam memutari swalayan, mereka berhenti di kedai makanan dan memesan. Sambil menunggu pesanan datang, mereka berbincang.
"Apa masih ada yang ingin kau beli, Jisoo?" Lisa menopang dagu.
Jisoo menggeleng. "Ini sudah terlalu banyak. Terima kasih, Lisa. Aku jadi merepotkanmu."
Lisa tersenyum simpul. "Tidak, kok. Aku justru senang punya teman pendiam sepertimu. Temanku, Cheng Xiao dan Rosé, sangat cerewet. Apalagi saat kami pergi berbelanja."
"Wah," Jisoo tersenyum kecut. Ia membayangkan jika dirinya adalah Lisa. Sempurna, dan punya teman akrab. Pasti seru. "seru sekali, ya."
Mereka tertawa.
Mendadak Jisoo terpikirkan Taeyong. Mengapa Taeyong bisa tidak suka akan eksistensi wanita seceria Lisa di dekatnya? Bukankah banyak mahasiswa yang menyukainya? Taeyong tidak pernah mengeluhkan mereka semua, tapi kenapa dengan Lisa? Memangnya apa salahnya punya teman yang 'sekasta'? Sudah cukup Jisoo sendirian. Ia rasa ia perlu menerima Lisa, memulai hubungan pertemanan dengannya. Lagipula tak ada yang salah dengan Lisa.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.