Sore itu usai kuliah, Jisoo berdiam seorang diri di gazebo menghadap laptopnya. Ia sedang mengerjakan sebuah laporan, tapi macet di tengah jalan karena terpikirkan puisi Taeyong kemarin. Sebenarnya bukan hanya puisinya saja yang memboikot dirinya saat ini, tapi juga Taeyong. Entah mengapa sejak ia melihat lukisan Taeyong waktu itu, pria itu jadi dengan mudah menyergap pikirannya. Membawanya jauh dalam kesendirian dan angan ... berharap mereka bisa bersama walau hanya sebatas harapan. Jisoo tersadar dari lamunan tak masuk akalnya. Ia terpikir hal yang sama.
Apakah ada lamunan yang masuk akal?
Seperti ... saat ia melamunkan dirinya dan Lee Taeyong bergandengan tangan?
Ah, tidak tidak. Jisoo mengedipkan matanya. Ia berniat kembali mengetik, namun tak bisa fokus. Hari juga semakin malam. Haruskah ia pulang?
Pandangannya beralih kala mendapat telepon masuk dari Doyoung.
"Halo?" ucapnya.
"Kau masih di kampus?"
"Ya. Kenapa?"
"Mau kuantar?"
"Kau belum pulang?"
"Urusanku juga baru selesai."
Well, sepertinya ya. Ia harus pulang.
"Baiklah. Terserah kau saja."
"Kutunggu di pos satpam."
"Oke."
Jisoo mematikan ponselnya, lantas berkemas. Kampus sudah lumayan sepi saat ia menyusuri koridor seorang diri. Tidak, saat tiba-tiba seorang mahasiswi menghadangnya. Tidak, tidak. Tiga orang. Dan mereka nampak marah.
"Namamu Kim Jisoo?" tanya gadis pertama.
Jisoo terdiam. Siapa lagi ini?
Ia mengangguk ragu.
"Oke, Kim Jisoo." gadis itu melipat kedua tangannya. Kedua temannya tadi sudah berdiri mengapitnya sambil menatap Jisoo tak suka. "Kuharap kau tidak tuli."
"Maaf?" Jisoo menautkan alis tak paham.
"Dua kata saja." gadis itu mengacungkan dua jarinya. "Jauhi. Lee Taeyong."
Jisoo diam. Astaga.
"Aku tak ingin mencari masalah denganmu. Kau nampak lemah." sindir gadis itu. Kedua temannya terkekeh.
"Hanya saja ... segeralah jauhi Lee Taeyong. Atau kau mati."
Mengancam? Apa mereka melakukan hal serupa pada Lisa? Cih, konyol.
Jisoo angkat bicara. "Maaf ... aku tak mengerti maksudmu."
Salah satu teman gadis itu menyahut. "Hyerim-ah, harusnya kau jelaskan dari awal apa maksudmu."
"Dia sepertinya lambat dalam mengolah ucapan seseorang." timpal gadis satunya.
Gadis yang berdiri di tengah—Hyerim, mendecih. "Kalau dia bodoh kenapa kuliah? Tidak masuk akal."
Jisoo diam.
"Oh, ayolah. Aku tahu kau tidak bodoh, Kim Jisoo." Hyerim mulai nampak kesal.
Apa? Menjauhi Taeyong? Apa Jisoo nampak seperti parasit padanya?
"Aku tak punya hubungan apapun dengannya. Kenapa aku harus menjauhinya?" sahut Jisoo, yang malah menyulut emosi mereka.
"Tak punya hubungan apapun?!" bentak Hyerim. "Kau pikir aku tak punya mata?!"
"Semua orang tahu kau mendekati Taeyong!" tambah salah satu kawan Hyerim.
Oh ... jika saja mereka tahu faktanya.
Bolehkah Jisoo merasa kesal?
"Semua orang melihat kalian bersama! Bahkan Lalisa juga melihat kalian bersama! Kau pikir kau siapa?!" kawan Hyerim mendekati Jisoo, mendorong kepalanya kasar.
Sepertinya Jisoo benar-benar kesal pada mereka. Ia mengangkat wajahnya.
"Ada masalah jika Lisa melihatku bersama Taeyong? Apa yang kalian ketahui tentang mereka?" sahutnya.
"Sungrin, tidak, jangan menyentuhnya. Dia terlalu mahal." Hyerim menggapai tangan kawannya—Sungrin, lalu gadis itu kembali mundur ke tempatnya.
"Apa yang kau ketahui dari mereka, jalang?" ketus gadis satunya.
"Sudahlah, Hyunrin." desis Hyerim.
Hyunrin diam.
"Aku ... tidak mendekati Lee Taeyong." tutur Jisoo.
"Tidak mendekati Lee Taeyong," ulang Hyerim. Mereka terkekeh.
"Mintalah pada idolamu itu untuk menjauhiku! Aku tak pernah berharap bersama dengannya!"
"Kau mau bilang Taeyong mendekatimu? Cih, kau bukan Lalisa."
"Apa kau Lalisa?"
Mereka terdiam. Jisoo mengulas senyum puas yang tak nampak.
"Lisa tak mempermasalahkan kedekatan kami. Aku memang tak mengenal mereka awalnya. Tapi ... tiba-tiba aku di sini. Siapa yang tahu?" tutur Jisoo yang terdengar angkuh. Ia bahkan segera menyesalinya.
Mendadak Hyerim naik pitam. Ia mendekati Jisoo, menamparnya telak.
"Ketahuilah pada siapa kau bicara!" desisnya. Ia melenggang pergi begitu saja diikuti kedua temannya.
Jisoo mengangkat wajahnya perlahan. Ia menghela napas. Apa yang barusan dikatakannya? Ia bahkan tak tahu bisa bicara demikian. Apa barusan ia terdengar seperti memenangkan hati seorang Lee Taeyong? Bagaimana faktanya? Mengerikan. Semuanya mengerikan.
***
Hai.
Apa cuma gue yang masih berharap tanggal 18 kemaren cuma mimpi?
Antara ikhlas dan tidak. Tapi harus ikhlas, karena Jjong bias gue. Dan karena gue sayang sama Jjong jadi harus ikhlas. Gimana ya ... susah mengungkapkan dengan kata-kata. Kita sama-sama belajar aja mulai sekarang, jangan asal komen negatif ke semua idol—ke semua orang. Mental health bukan masalah sepele. Kalo sekiranya kalian merasa ada gejala-gejala depresi, cepet-cepet cerita ke orang tua dan keluarga biar depresinya ga tambah parah. Jaga kesehatan lah guys, jangan lupa ibadah juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
KERUB [FINISHED]
Fanfiction[au] Hujan amunisi di Insa-dong hari itu lah yang akhirnya membawa Jisoo pada Taeyong, dengan segala cerita yang mengikutinya. ##### Tell My Yearn to The Rain versi revisi. [folder asli TMYTTR masih tersedia di bab terakhir jika ingin membaca]