"Jisoo!"
Merasa dirinya dipanggil, Jisoo menoleh mencari asal suara. Dari arah pukul tiga, nampak seorang dara jelita tengah berlari menghampirinya. Lisa.
"Hai!" sapa Lisa dengan napas terengah. Ia berdeham sambil memegangi dada dan mengatur napas.
Jisoo menatapnya heran. "Ada apa?"
"Tidak kok. Aku ... hanya kebetulan lewat. Aku mau ke kelas."
Lalu apa urusannya denganku? Jisoo ber-oh singkat.
Lisa mengulas senyum kikuk. "Aku ... belum sempat minta maaf soal waktu itu ya ... "
"Soal apa?"
"Saat di rumah Taeyong ... "
Jisoo terdiam. Ia merasakan jantungnya mencelus. Ia mengepalkan tangannya.
"Itu ... tak seperti kelihatannya ... sungguh. Maafkan aku." Lisa menundukkan wajah.
Jisoo menghela napas. "Lupakan saja. Aku sudah lupa."
Lisa mengangkat lagi wajahnya. "Ah, baiklah. Terima kasih. Kuharap ... Taeyong sudah mengatakan apa yang ingin kukatakan."
Jisoo mengernyit. "Katakan saja apa yang mau kau katakan,"
"Um ... " Lisa menggaruk tengkuk. "ya ... kami tidak ada hubungan apapun ... dan tentang itu ... itu h-hanya salah paham."
"Lalu?"
"Kalian ... baik-baik saja kan?"
"Jauh lebih baik kok. Terima kasih."
"Tidak. Aku yang terima kasih."
"Sama-sama."
Mereka terdiam, seakan canggung.
Setelah cukup lama, Lisa buka suara. "Aku duluan, ya. Sampai jumpa!"
Ia melambaikan tangan secara singkat dan langsung pergi. Jisoo sama sekali tak merespon. Entah ia tak tahu bagaimana caranya, atau ia hanya terlalu malas merespon orang-orang. Baru saja hendak melangkah, seseorang menepuk bahunya. Ia menoleh.
"Ah, Lisa sudah terlebih dulu pergi." tutur pria yang menghampiri Jisoo.
"Um ... " Jisoo terdiam.
"Aku Ten. Kuharap kau tak lupa namaku." pria itu mengulurkan tangan sambil tersenyum manis.
Jisoo menjabatnya dengan ragu. "Kim Jis—"
"Ya, ya. Aku tahu kok. Aku ingat." potong Ten. "Kau mau ke mana?"
"Aku ... mau ke ruang mading."
"Kalau begitu, ayo. Aku mau ke ruang musik."
Ruang musik berada di jalur berbeda dengan ruang mading. Ada apa dengan orang Thailand ini?
Jisoo mengernyit. "Tapi kan—"
"Aku tahu kok." Ten lagi-lagi memotong.
"Aku hanya ingin mengobrol ... " sambungnya. Ia mengangkat tangannya seolah mempersilakan Jisoo berjalan terlebih dahulu.
Jisoo pun menurut. Tapi, yang ia dapatkan hanyalah angin. Ten tak mengajaknya mengobrol, seperti keinginannya. Atau hanya alibi? Sungguh tak nyaman rasanya berjalan bersama seorang ... siapa namanya? Chittaphon? Terlebih Ten adalah salah satu mahasiswa populer, walau tak sepopuler Taeyong. Alhasil, dirinya merasa risih.
"Aku harus segera. Aku duluan ya," ujarnya. Ten tak menyahut.
Ia mempercepat langkahnya. Beberapa kali ia melirik ke belakang. Ten masih mengikutinya walau dalam jarak lumayan jauh. Sekarang ia malah nampak seperti calon korban penculikan. Jisoo sengaja memutar jalur menuju kelas Taeyong, dan Ten masih mengikutinya. Sungguh orang Thailand tak waras. Mungkin ia sama tak warasnya, karena asal saja memutar jalur tanpa tahu kondisi kelas Taeyong.
Ten masih mengikutinya. Jisoo meremas selempang tasnya. Tiba-tiba Taeyong muncul di hadapannya.
"Hai!" ujarnya. Tatapan tajamnya jatuh pada Ten yang masa bodoh.
Jisoo cepat-cepat menghampiri Taeyong, meraih tangannya dan meremasnya ketika Taeyong mengulurkannya.
Taeyong masih melekatkan pandangan pada Ten yang berjalan santai, melenggang pergi melewati mereka sambil mengulas seringai tipis.
***
Weh ini babnya Taeyong-Ten ya cie baby don't staphh /dengan nada sedikit mendesah
HAHAHAHHAHAHAHAHAHHA
Ngomongin itu lagu, udah pada denger kan? Lagunya masuk favorite listku buat minggu ini nih, selain From Zero (Monsta X) dan Black Dress (CLC), fyi aja wakakaka.On mulmed udah aku lunasi janjiku minggu lalu ya, udah ada namanya juga. Buat yang belom tau, monggo dilihat.
Satu lagi. Ada yang notice cover baru? Wdyt?
KAMU SEDANG MEMBACA
KERUB [FINISHED]
Fanfiction[au] Hujan amunisi di Insa-dong hari itu lah yang akhirnya membawa Jisoo pada Taeyong, dengan segala cerita yang mengikutinya. ##### Tell My Yearn to The Rain versi revisi. [folder asli TMYTTR masih tersedia di bab terakhir jika ingin membaca]