Taeyong tahu bahwa ia mengkhianati dirinya sendiri. Ia menyadari perasaan itu begitu cepat. Perasaannya terhadap Kim Jisoo. Memang perkenalan mereka baru kemarin. Tapi Taeyong sudah berani lancang. Ia sudah mengawasi Jisoo sejak lama. Sebelum muncul di hadapan Jisoo pun jantungnya sudah berdebar. Ia tak mengira akan kalah secepat ini. Taeyong melirik kedua tangannya yang terkepal, terkekeh kecil. Jisoo, Jisoo, dan Jisoo. Jisoo lagi. Wanita itu membuatnya jatuh hati, dan benar-benar terjatuh sampai ia tak sanggup lagi berdiri. Nyalinya menciut saat wanita itu menatapnya dengan mata teduhnya sambil tersenyum lebar. Bermaksud iseng mencari wanita yang menyabotase pikirannya itu, Taeyong beranjak.
Duduk termenung menyandarkan kepala pada mesin minuman kaleng, mengenakan headset, pandangan kosong, sendirian. Jisoo tak menyadari sudah berapa lama dan berapa banyak orang yang sudah melewatinya, sampai eksistensi seseorang menyadarkannya. Ia melirik, mendapati figur Taeyong berdiri di sana. Headset ia lepas, Jisoo membenarkan posisi duduknya.
"Oh, Taeyong-ssi. Hai." sapanya sambil tersenyum kecut.
Berbasa-basi, Taeyong bertanya. "Apa yang kau lakukan di sini sendirian?"
Jisoo menggeleng. "Tidak ada."
"Menunggu temanmu?"
"Aku tidak punya teman." gumam Jisoo pelan, yang untungnya tak didengar Taeyong.
"Boleh aku duduk?"
"Tentu."
Jisoo meremas jarinya gemas dalam kepalan tangan, merasa darahnya mendesir. Ia melirik Taeyong malu-malu, yang rupanya sedang sibuk mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Buku sketsa.
"Bagaimana menurutmu?" Taeyong menyodorkan bukunya pada Jisoo; sebuah gambar sketsa kopi mengepul di atas meja dengan buku terbuka di sebelahnya, berlatarbelakang dedaunan yang disapu rintik hujan di balik jendela kaca.
Jisoo fokus memandanginya. Kopi, hujan, dan buku, semua hal yang ia sukai. Astaga, kenapa lagi-lagi ia berkhayal?
"Bagus. Sudah ku bilang kau perlu menunjukkan hasil tanganmu pada semua orang." tuturnya.
"Kau suka menggambar?" Taeyong memandang Jisoo intens dari samping, membuat wanita itu salah tingkah.
Jisoo menggeleng pelan. "Aku lebih suka menulis."
"Ditemani kopi dan petrikor kan?—"
Ucapan Taeyong barusan melebur bersama turunnya bulir hujan serentak. Deras sekali. Udara dingin langsung meraba epidermis, petrikor langsung memenuhi rongga hidung. Jisoo dan Taeyong menggidikkan bahu, meraba lengan masing-masing yang mendadak merinding. Derasnya hujan menyuguhkan hamparan putih di hadapan mereka, menelan pepohonan dan dinding-dinding fakultas. Lain halnya saat figur dara jelita yang menyita pandangan semua mahasiswa—kebanyakan pria—yang sedang berteduh di sana lewat. Jisoo dan Taeyong menoleh, eskpresi Taeyong berubah drastis.
"Taeyong, hai!" sapa wanita yang ternyata adalah idola kampus itu.
Taeyong memutar mata kesal, membuang muka.
"Kita ketemu lagi rupanya." wanita itu mengulas senyum lebar. Menyadari eksistensi Jisoo, ia beralih.
"Kau pacarnya Taeyong, ya?" terkanya, yang jelas sekali salah besar.
Jisoo membuka mulut hendak menjawab. "Bu—"
"Lalisa Manoban." potong wanita itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.
Walau ragu, Jisoo menjabat tangan Lisa. Ia akui wanita ini patut menyandang 'gelar' idola kampus. Cantik, unik, seunik namanya—menurut Jisoo. Siapa yang tidak terpana dengan sosok dara sesempurna Lisa?
Taeyong?
Oh, ya. Taeyong nampak tak suka, termasuk saat Jisoo menjabat tangan Lisa.
"Kenapa kalian berduaan di sini? Taeyong benar-benar tidak romantis." Lisa melipat kedua tangannya sembari memandangi mereka.
Jisoo melirik Taeyong yang membuang muka sejadi-jadinya. Dalam keadaan seperti ini, ia jadi tak enak hati. Apa mereka punya hubungan? Kenapa sikap Taeyong seperti itu? Lisa nampaknya wanita yang asyik, baik, dan ceria. Lihat saja wajah dan senyumannya. Semanis madu.
"Aku duluan, ya. Ada urusan di rumah." tuturnya lagi usai terlihat sibuk membaca pesan dari ponselnya. Tak lama ia pergi, begitu pun Taeyong yang langsung mengangkat wajahnya.
Jisoo melirik. "Dia temanmu?" tanyanya.
Taeyong mengedik. "Entahlah. Aku tidak ingat punya teman seorang wanita."
Jisoo diam.
Taeyong ... juga tak menganggapnya teman?
Pikiran itu segera Jisoo hapus. Ia sudah muak memikirkan Taeyong sejak semalam. Mereka baru kenal, tapi Taeyong sudah merasuki pikirannya sesuka hati. Tak khayal Taeyong menjadi idola. Ia benar-benar mempunyai pesona yang kuat. Tapi ... apakah itu hal bagus?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
KERUB [FINISHED]
Fanfic[au] Hujan amunisi di Insa-dong hari itu lah yang akhirnya membawa Jisoo pada Taeyong, dengan segala cerita yang mengikutinya. ##### Tell My Yearn to The Rain versi revisi. [folder asli TMYTTR masih tersedia di bab terakhir jika ingin membaca]