Hal pertama yang menyambut Jisoo begitu matanya terbuka adalah sebuah lemari coklat dan nakas yang sejajar dengan dinding. Ia mengerjap, memerhatikan kedua benda itu lebih lamat. Perlahan dinding berwarna putih gading dan sprei biru pucat mulai nampak pula oleh inderanya. Ia masih mengerjap, lalu perlahan bangkit untuk duduk. Pandangan ia edarkan. Ia ada di sebuah kamar. Normal, sejuk, nyaman. Hanya saja, ada sebuah pigura berisikan foto Lalisa tergantung di sana, di samping pintu di samping pigura lain yang berisikan foto dara jelita itu dengan seorang wanita yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Kamar ini cukup luas. Tak banyak perabot yang mengisi, sehingga membuat luasnya ruangan ini semakin nampak. Jisoo masih asyik memerhatikan. Tangannya kemudian terangkat untuk meraba hal aneh yang mengganjal sudut bibirnya.
"Ah!" desisnya pelan kala ternyata rasa sakit yang menyambutnya.
Darah kering. Tak ada bau anyir khas darah. Hanya sisa darah kering itu yang hinggap di jemarinya. Menandakan bibirnya sudah tak lagi berdarah. Tapi apa tadi benar Rosé memukulnya? Itu sakit bukan main. Apa Lisa juga sama kasarnya seperti kawannya itu? Lalu dulu saat ia dan Taeyong beradu jotos ...
"Sudah bangun, Princess?" suara seseorang mengejutkan Jisoo. Ia menoleh dan mendapati Cheng Xiao berjalan ke arahnya.
Oh ya, Jisoo sempat lupa kalau ia diculik.
"Apa yang kalian lakukan padaku?" tanyanya.
"Apa yang kami lakukan padamu?" Cheng Xiao mendecih. "Apa menurutmu kami menelanjangimu?"
Jisoo tak sempat berucap saat Cheng Xiao lebih cepat menarik lengannya dan menyeretnya pergi. Gadis itu membawanya menuju sebuah ruangan, nampaknya ruang tengah dari keseluruhan mansion ini. Atau mari sebut saja, ruang berkumpul.
"Yah, siapa yang tahu kalau dia tahu." tutur June di akhir percakapannya dengan Lisa, kemudian menoleh ke arah Cheng Xiao yang datang membawa Jisoo.
Semua kawan-kawan Lisa yang Jisoo kenal ada di sana, kecuali satu orang yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Semua mata tertuju padanya, menatap tajam seolah siap mengiris nadinya hingga terbelah dua. Tepat di tengah ruangan, mereka duduk memenuhi sofa sambil bercengkerama. Di tengah-tengah mereka, duduk Lisa dan si pria yang tak dikenalnya. Sungwoo beranjak barang sejenak untuk menyematkan borgol miliknya pada lengan kiri Jisoo, satunya ia kaitkan pada lubang kayu sofa. Setelahnya, ia kembali duduk di samping Ten sambil memeluk bantal sofa merahnya dan membiarkan kesenyapan melanda di antara mereka.
Jisoo menelan saliva, menatap pasang mata lapar itu bergilir.
"Kim Jisoo?" panggil si pria tak dikenal. Jisoo melirik.
"Tadi kau di rumah sendiri?" tanyanya—terdengar ramah, juga karena muka tampannya. Selebihnya, Jisoo sadar bahwa ia sama saja seperti mereka.
"A-apa?" ia picingkan matanya tak paham.
"Ke mana Taeyong?" pria itu memiringkan kepalanya, seakan menerawang jauh ke dalam kepala Jisoo yang tengah memikirkan pria itu.
Tunggu. Bagaimana mereka bisa tahu? Bagaimana mereka bisa tahu ia tinggal bersama Taeyong? Dari mana mereka tahu? Menurutnya, tak mungkin ada yang memata-matai sampai ke pekarangan rumah Taeyong. Sekitar situ saja. Apalagi Eunwoo memasang keju di perangkapnya.
"Jisoo-ssi?" panggil pria itu karena Jisoo tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Taeyong bilang, jangan buka mulut terhadap mereka. Jadi, itu yang akan dilakukannya.
"Kalian tinggal bersama, kan?" sambung pria itu.
Tiba-tiba Taeil menyergah. Senyumnya merekah. "Wah, sudah berapa kali dia menidurimu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KERUB [FINISHED]
Фанфик[au] Hujan amunisi di Insa-dong hari itu lah yang akhirnya membawa Jisoo pada Taeyong, dengan segala cerita yang mengikutinya. ##### Tell My Yearn to The Rain versi revisi. [folder asli TMYTTR masih tersedia di bab terakhir jika ingin membaca]