Chapter 38

44 14 4
                                    

Mata ku terasa begitu berat saat aku mencoba untuk membuka nya, kepalaku juga terasa begitu pusing hingga seakan-akan seperti mau pecah. Dengan pelan-pelan aku mencoba membuka mataku dan kupaksakan juga tubuh ku ini walaupun dengan susah payah bangkit dan duduk di pinggir ranjang ku, sembari memijat keningku yang pusing aku kembali berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Mengapa tubuh ku rasa nya benar-benar tidak enak sekali juga perut ku terasa begitu mual saat ini, walaupun aku mencoba kembali mengingat-ingat kejadian kemarin namun tetap saja aku masih tidak yakin ada apa dengan ku.

"Nona anda sudah bangun?" Aku terperanjat kaget saat tiba-tiba Jane sudah masuk ke dalam kamar ku.

"Maaf membuat anda terkejut karena saya masuk tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu." kata nya sembari berjalan mendekat pada ku.

"Tidak apa-apa, kemarilah." jawab ku dengan suara serak. Aku menerima minuman teh hangat yang dia ulurkan pada ku dan segera menegak nya hingga tandas.

"Anda kemarin mabuk berat sehingga minuman ini bisa menetralkan efek samping dari mabuk itu Nona." ujar nya. Aku menatap Jane dengan terkejut.

"Aku mabuk?" tanya ku tidak percaya. 

"Benar Nona anda kemarin malam pulang dalam keadaan mabuk." jawab nya.

Ahh seperti nya aku sudah mulai ingat semuanya bahkan alasan mengapa aku bisa sampai mabuk, begitu ingatan tentang kejadian kemarin berulang dikepalaku rasa nya sakit itu kembali datang dan menghantui ku. Tanpa sadar aku sudah terisak pelan saat kembali mengingat pengakuan tidak terduga Mario kemarin, jujur saja sebenarnya aku ingin mendengar sebuah penyangkalan dari mulut Mario bukannya pengakuan seperti kemarin itu. Kepercayaan yang sudah aku berikan secara sepenuhnya pada Mario membuat rasa sakit ku semakin tidak tertahan kan, sesak yang ada didalam dada ku seakan menguar hingga tubuhku seakan tidak lagi mampu menahan nya. Aku menangisi takdir ku yang begitu malang ini karena bahkan disaat aku sudah berpikir kebahagiaan sudah mendatangi ku nyata nya justru kesedihan yang amat sangat lah yang mengetuk, ekspektasi ku mengenai kebahagiaan ternyata hanya lah isapan jempol belaka. Seharusnya aku ingat bahwa Tuhan menyiap kan stok kebahagiaan untuk ku hanya sebatas kenangan tentang mama dan papa dulu saja, setelah itu kebahagiaan hanya lah sebuah kata yang tidak lagi ada makna nya untukku. Apakah ini adil? Apa kah harus terus seperti ini? Apakah benar suatu saat nanti aku kan mati dengan membawa ketidakbahagiaan ini untuk selamanya?

 Apakah ini adil? Apa kah harus terus seperti ini? Apakah benar suatu saat nanti aku kan mati dengan membawa ketidakbahagiaan ini untuk selamanya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Raungan tangis ku semakin tidak tertahan kan lagi, aku butuh ruang untuk mengosongkan rasa sakit hati ini. Aku berdiri dan langsung melemparkan vas bunga yang ada di nakas ke arah cermin meja rias ku, aku melemparkan benda apapun yang ada di dekat ku dengn membabi buta.

"Keparat!" teriak ku sembari menangis tersedu-sedu. Kaki ku serasa melemas hingga tubuh ku luruh diatas lantai.

"Ina!" Aku melihat Kak Ira berlari ke arahku dan sontak memeluk tubuh ku. Tangis ku semakin kencang saat kakak ku memeluk ku dengan erat sembari ikut terisak walaupun terdengar sangat pelan.

The Darkness of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang