"Anak gadis macam apa yang jam segini masih leha-leha di tempat tidur? Belum mandi pula!"
Naura menekan tombol pause, melepaskan pandangan dari layar laptop dan menoleh ke sumber suara dengan malas-malasan. Di dekat pintu kamar, seorang pria sudah menatapnya sambil berkacak pinggang dan menggeleng-gelengkan kepala. Naura sudah terlalu terbiasa dengan sindiran macam itu, sehingga tidak ada kemungkinan lagi untuk merasa tersinggung.
"Uda lebay. Kan lagi libur. Santaai." Naura menekan tombol play dan kembali lanjut menikmati film di layar laptopnya.
Pria yang dipanggilnya "Uda" itu mendekat dan duduk di pinggir tempat tidur.
"Tiap libur pasti nonton Harry Potter. Nggak bosan? Pantas umur segini masih jomlo."
Sungguh sindiran yang mengena tepat di hati Naura. Kalau yang ini, seberapa sering pun didengar, rasanya masih saja menyakitkan. Seandainya bisa, ingin rasanya Naura menyihir pria itu dengan mantra silencio supaya diam.
"Berisik!" bantah Naura. "Uda keluar sana! Aku jarang dapat libur. Jangan ganggu!" Sebelum pembicaraan menyerempet kemana-mana, ada baiknya Naura segera mengusir kakak laki-laki satu-satunya itu dari kamar.
Namun, bukannya beranjak pria itu malah ikut rebahan di samping Naura yang sejak tadi tengkurap di depan laptop. "Eh, Ra, beneran belum punya calon?"
"Ya ampun, Da Naufal! Mau nyindir lagi?" tukas Naura tanpa berusaha menyembunyikan kekesalannya. "Makanya carikan cowok yang loveable, baik hati, pintar, tampan, murah senyum, pandai masak, kaya dan suamiable untuk kunikahi."
"Berarti memang siap nikah nih?"
"Seandainya semua kriteria terpenuhi," Naura angkat bahu. "kenapa harus nolak?"
Naura sengaja mengucapkan kriteria yang standarnya selangit supaya Naufal diam. Zaman sekarang mau dicari kemana laki-laki paket komplit seperti itu? Bisa-bisa dia malah tidak menikah seumur hidup. Sebenarnya syarat Naura cukup simpel. Dia cuma butuh seseorang yang dia cintai, balas mencintainya dan berkomitmen terjebak bersamanya sampai akhir. Kalau ada yang begitu, disuruh nikah besok pun dia pasti mau.
"Oke! Kalau begitu sekarang matikan laptop, mandi, lalu ke salon sama bundo dan uni."
"Apa hubungannya?" Naura curiga karena udanya tiba-tiba terdengar bersemangat. Perasaannya langsung tidak enak.
"Uda kasih tahu ya. Malam ini ada acara perjodohan."
Naura kembali menekan tombol pause yang menatap Naufal dengan tatapan tidak percaya. "Tunggu. Aku menolak percaya kalau ini perjodohanku. Tapi masa' perjodohannya Uda? Uni lagi hamil, nggak mungkin mau dimadu. Lalu gimana nasib Altan kalau papanya nikah lagi? Atau jangan-jangan ...." Kedua mata Naura membola. "Wah! Bau-bau pelako-"
"Woi!" Naufal mengubah posisinya menjadi duduk dan mencubit kedua pipi Naura dengan keras. "Nggak usah pakai pengalihan isu. Ini perjodohanmu!"
Kecurigaan Naura ternyata sangat beralasan. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi cepat atau lambat, tapi tetap saja dia kaget. Detik berikutnua dia segera melancarkan aksi protes.
"No! Aku masih bisa cari sendiri! Enggak perlu pakai perjodohan!"
Naura belum seputus asa itu. Dia merasa masih muda dan lumayan cantik untuk mendapatkan calonnya sendiri. Baginya, perjodohan itu ibarat last resort. Pilihan terakhir kalau dia sungguh tidak ada harapan untuk menikah sebelum umur 30 tahun.
"Ondeh diak kanduang. Alah talambek. Kini adiak ndak bisa mailak lai."
[[Aduh, Dek. Sudah terlambat. Sekarang adek nggak bisa mengelak lagi.]]
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Impossible Possibility
RomancePernah dengar istilah "First Love Never Dies"? Naura Alraisa Anhar sudah paham betul makna istilah yang satu itu. Selama belasan tahun, ingatan tentang cinta pertama itu selalu melekat di pikirannya. Tidak pernah mati dan mengikutinya ke mana-mana...