/Part 2/
.
.
.Tatapan Naura terpaku pada batu nisan marmer di depannya.
Juwita Fourina Mavendra. Lahir di Singapura. Meninggal di New York. Berdasarkan tanggal-tanggal yang tertera disana, diketahui dia meninggal di usia sembilan tahun.
David meletakkan buket bunga yang dibawanya di dekat batu nisan, tepat di sebelah buket lain yang sudah ada di sana sebelumnya. Setelah itu dia kembali berdiri di samping Naura dan menunduk dalam diam. Naura ikut menekurkan kepala dan mulai memejamkan mata.
Mengetahui kalau Juwita adalah salah satu orang terpenting dalam kehidupan Dharma, Syila dan Rafisqi, membuat Naura merasakan suatu emosi tersendiri untuk gadis yang belum pernah ditemuinya itu. Juwita masih begitu muda dan masa depannya seharusnya masih panjang, tapi takdir memang tidak ada yang tahu. Naura hanya bisa berharap, semoga masa hidupnya Juwita selalu penuh dengan kebahagiaan. Lagi pula, mengingat adanya tiga orang kakak seheboh Mavendra bersaudara, tidak mungkin dia tidak bahagia, kan? Naura merasakan kedua sudut bibirnya terangkat saat memikirkan itu.
Selamat beristirahat dengan tenang, batinnya penuh kesungguhan.
Begitu kembali membuka mata dan menegakkan kepala, Naura mendapati David tengah memperhatikannya.
"Kenapa?"
David memperbaiki posisi kacamatanya dan kembali menoleh ke depan. Ekspresinya terlihat sendu. "Rasanya aku seperti baru saja melangkahi Fiqi. Harusnya dia yang membawamu kesini."
"It's okay." Naura kembali memandangi gundukan tanah berumput hijau di hadapannya. "Dia saja tidak pernah menyinggung tentang Juwita."
"She was so cute, you know? Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan langsung jatuh hati."
Naura mengangguk setuju. Dia teringat dengan foto yang ditunjukkan David tempo hari dan Juwita memang terlihat sangat berpotensi menjadi seorang heartbreaker seperti kakaknya.
"Tata lebih muda sembilan tahun dari Fiqi. Jarak umurnya lumayan jauh, membuatnya benar-benar dimanjakan semuanya. Konyolnya lagi, dia sering disangka anaknya mas Dharma."
Kali ini Naura ikut tertawa dengan David. Tidak heran banyak orang yang bisa salah paham. Perbedaan umur Rafisqi dan Dharma saja nyaris delapan tahun.
"Dari kecil jantungnya lemah dan sering sakit-sakitan. Makanya dia selalu ikut om Evan dan tante Ona. Kalau kondisinya lebih baik dari biasa, barulah dia bisa ke New York mengunjungi kakak-kakaknya."
Oke. Naura tidak menyangka ceritanya akan sesedih ini. Juwita bahkan jarang bertemu kakak-kakaknya? Rafisqi juga sempat tinggal terpisah selama beberapa tahun dan hal itu terbukti berdampak buruk pada kondisi mentalnya. Urgensi Naura untuk memastikan Juwita berbahagia selama hidupnya jadi semakin kuat.
Sebenarnya Naura sangat menyayangkan keputusan om Evan dan tante Ona yang membuat keluarganya jadi terpisah-pisah begitu. Tapi memangnya dia siapa bisa mengomentari cara orangtua membesarkan anaknya? Lagi pula kondisinya dulu juga sama saja. Orangtuanya lebih sering bepergian, meninggalkannya dan Naufal di tangan para pengasuh.
"Kepergiannya begitu mendadak." David kembali berjongkok dan mulai memunguti sampah dedaunan kering yang ada di atas makam. "Tapi bagi Fiqi, kehilangan Tata bukan cuma sekedar duka. Penyesalan, dendam, rasa bersalah, semuanya bercampur-aduk, dan−"
David berhenti mendadak dan menengadah menatap Naura.
"Sepertinya aku cerita terlalu cepat." Dia tertawa kecil. "Ngomong-ngomong, sepertinya kemarin Fiqi kesini." David memperbaiki posisi buket bunga lain yang ada di samping buket miliknya. Jenis bunga yang sama. Bedanya, kelopak dan daun-daunnya mulai terlihat layu. "Kecuali kalau sedang di luar kota atau luar negeri, dia selalu kesini tiap tanggal 19."
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Impossible Possibility
RomancePernah dengar istilah "First Love Never Dies"? Naura Alraisa Anhar sudah paham betul makna istilah yang satu itu. Selama belasan tahun, ingatan tentang cinta pertama itu selalu melekat di pikirannya. Tidak pernah mati dan mengikutinya ke mana-mana...