Kini setelah mengetahui kondisi Rafisqi yang sebenarnya, Naura tidak lagi kaget mendengar larangan absurd tersebut. Rafisqi adalah defisini sempurna dari brothers-complex to the finest. Tapi Naura tidak menyalahkannya. Pria itu sudah mengalami terlalu banyak hal di masa lalu. Jadi kalau misalnya dia tidak suka Naura dekat-dekat dengan Dharma dan Syila, maka yang bisa dilakukan Naura hanyalah maklum.
"Kenapa?" Naura memutuskan untuk bertanya sambil berusaha untuk terdengar biasa-biasa saja. "Kau takut aku merebut kakak-kakakmu?" Dia kemudian menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa kecil, menegaskan kalau itu bukan sesuatu untuk dikhawatirkan. "Nggak kok, tenang saja. Aku sudah punya Uda."
Rafisqi tidak mengeluarkan sepatah katapun dan cuma duduk diam di tempatnya dengan pandangan menerawang jauh. Naura tidak bisa menebak apa yang sedang berkecamuk di pikiran pria itu dan karena penasaran, akhirnya dia memutuskan ikut-ikutan diam.
Sayangnya Naura tidak bisa menahan urgensinya untuk mencuri-curi pandang. Dia sedikit menoleh ke samping dan mulai memperhatikan pria di sebelahnya dengan seksama. Dilihat dari sisi manapun, Rafisqi terlihat sangat sehat dan normal. Dia terlihat baik-baik saja seolah tidak pernah ada kondisi mengerikan itu di dirinya.
Tatapan Naura beralih fokus ke tangan kiri Rafisqi. Kedua tangan pria itu masih bertengger di atas kemudi dan kebiasaannya menggulung lengan kemeja hingga sebatas siku berhasil memudahkan pengamatan Naura. Sesuai dugaannya, Naura berhasil menemukan banyak bekas luka di bagian lengan bawahnya, dari batas siku hingga pergelangan tangan. Sesaat perhatian Naura teralihkan oleh gelang pemberiannya yang ternyata juga melingkar disana, tepat di samping jam tangan, tapi dia berusaha mengabaikan itu dan kembali fokus pada bekas luka.
Bekas-bekas luka itu terlihat sudah sangat lama dan hanya menyisakan goresan putih samar di atas kulit. Nyaris tidak terlihat, kalau saja tidak diperhatikan dengan seksama di bawah cahaya yang terang. Dari bentuknya yang tipis dan memanjang, Naura mencoba menebak benda apa yang digunakan untuk membuatnya. Kemungkinan besar itu cutter, silet, pisau lipat kecil-
Merasa tidak sanggup melihatnya lebih lama lagi, Naura buru-buru mengalihkan pandangan. Dia memejamkan mata, berusaha sebisa mungkin agar bayangan bekas luka itu tidak melekat di ingatannya dalam jangka panjang.
Dia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Rafisqi waktu membuat luka-luka itu. Apakah sakit? Perih? Atau... hampa? Kira-kira mana bekas luka yang dibuat untuk mencari perhatian? Mana yang untuk menghukum diri sendiri?
"Sudah kuduga. Kau memang mendengar sesuatu."
Suara Rafisqi mengagetkannya. Naura membuka mata dan buru-buru menoleh ke samping. Didapatinya Rafisqi memandanginya dan lengan kirinya bergantian. Seolah paham dengan hal yang Naura perhatikan sebelumnya, dia menurunkan lengan kiri dari kemudi, melipatnya di depan perut dan menutupinya dengan lengan kanan.
"Aku cuma memperhatikan jam tanganmu." Naura mengucapkan kebohongan pertama yang terlintas di pikirannya. "Baru ya?"
Kali ini Rafisqi mulai memandanginya aneh. "Biasanya juga pakai yang ini."
Naura angkat bahu. "Bukan tipe yang suka memperhatikan." Kalau yang ini dia memang jujur. Seandainya Naura lebih perhatian sedikit saja, pasti dia sudah menyadari bekas luka itu sejak dulu.
"Jadi, apa saja yang kau dengar dari Mas Dharma dan Kak Syila?"
"Rencananya mereka mau ngundang badut pas pesta nanti." Naura memilih tetap mengikuti alur skenario yang diciptakan Dharma dan Syila. "Lalu, makanannya-"
"Naura." Nada suara Rafisqi mulai terdengar serius. Santai, tapi penuh penekanan di dalamnya. Tenang, tapi terasa membahayakan. "Aku tidak sebodoh itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Impossible Possibility
RomancePernah dengar istilah "First Love Never Dies"? Naura Alraisa Anhar sudah paham betul makna istilah yang satu itu. Selama belasan tahun, ingatan tentang cinta pertama itu selalu melekat di pikirannya. Tidak pernah mati dan mengikutinya ke mana-mana...