"Oke selesai." Naura menggantungkan tabung infus yang masih penuh itu di bagian atas tiang. "Sudah saya ganti ya, Bu. Apa ada lagi yang lain?"
Seorang wanita berjilbab yang sejak tadi berdiri di sebelahnya menggeleng. "Makasih, Suster."
Naura membalas senyum wanita itu. "Jangan lupa bangunkan Eki sejam lagi ya, Bu." Pandangan Naura tertuju pada seorang anak laki-laki yang sedang tertidur pulas di atas dipan rumah sakit. "Dia harus minum obat."
"Baik, Suster. Terima kasih."
Setelah itu Naura bilang permisi dan keluar dari ruang rawat inap. Ponselnya bergetar tepat setelah dia menutup pintu dan Naura terkesiap saat mendapati nama "Rafisqi" muncul di layar.
Sejak kejadian malam itu, Naura dan Rafisqi nyaris tidak saling bicara dengan satu sama lain. Keesokan harinya, pada hari Minggu, Dharma mengumumkan kalau waktu liburan mereka terpaksa diperpendek karena Balqis ada urusan mendadak. Mereka terpaksa kembali ke kota pagi harinya, bukan sore hari seperti rencana semula.
Untuk kali ini, Naura bersyukur liburan berakhir lebih cepat. Dia tidak sanggup berada di dekat Rafisqi lebih lama. Pria itu memang tidak menunjukkan tanda-tanda akan marah atau pun membalas perbuatannya. Rafisqi tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa, sementara Naura dengan sejuta rasa bersalahnya malah bingung harus bersikap bagaimana. Seharusnya dia minta maaf 'kan? Tapi gimana Naura bisa minta maaf kalau memulai bicara dengan Rafisqi saja dia tidak berani?
Dan sekarang, tiba-tiba saja Rafisqi meneleponnya, dengan bertubi-tubi pula. Naura baru mengangkatnya pada panggilan yang keempat.
"Halo?"
"Lama amat jawabnya," balas Rafisqi dari seberang telepon. "Sedang apa sih?"
"Aku? Baru selesai mengurus pasien," jawab Naura canggung. Setelah itu dia terdiam cukup lama karena tidak tahu harus bicara apa lagi.
Kau sedang bicara dengan SATU-SATUNYA orang yang pernah kau TAMPAR.
Hatinya tidak bisa mengindahkan fakta tersebut.
"Kenapa? Kau merasa bersalah padaku?" tanya Rafisqi santai, terlalu santai malahan.
"Eh?" Sementara Naura yang tidak menduga datangnya pertanyaan tepat sasaran seperti itu malah semakin kehilangan kata-kata.
"Satu atau dua tamparan tidak ada pengaruhnya padaku, kau tahu? Aku tidak akan mengadu ke Papih, lalu merengek minta perjodohanku dengan gadis bar-bar sepertimu dibatalkan. Kau salah besar kalau berpikir begitu." Pria itu menutup kalimat panjangnya dengan kekehan menyebalkan.
"Kalau begitu... sayang sekali." Seulas senyum tipis terukir di bibir Naura tanpa permisi. Artinya dia tidak perlu merasa bersalah lagi 'kan? Naura lega, tentu saja. Dia tidak pernah menyangka seorang Rafisqi bisa memberinya perasaan positif seperti 'lega'.
"Jadi benar kau merasa bersalah?" goda Rafisqi di seberang telepon.
"Berisik!"
Rafisqi mulai bersikap menyebalkan seperti bisa. Naura malah merasa bodoh karena sempat-sempatnya merasa bingung untuk memulai percakapan dengan pria itu.
"Lalu kenapa tidak balas chat-ku?"
Naura menarik napas dalam-dalam. "Rafisqi, mau mati, ya? Kau lupa siapa yang melempar ponselku ke laut?" Saat ini Naura menggunakan ponselnya yang lama, yang kameranya hanya 1 MP, tanpa kamera depan, tanpa layar touchscreen dan tentunya tanpa aplikasi chatting. Tapi setidaknya ponsel yang ini akan tetap nyala walaupun Naura melemparnya ke kepala Rafisqi berkali-kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Impossible Possibility
RomancePernah dengar istilah "First Love Never Dies"? Naura Alraisa Anhar sudah paham betul makna istilah yang satu itu. Selama belasan tahun, ingatan tentang cinta pertama itu selalu melekat di pikirannya. Tidak pernah mati dan mengikutinya ke mana-mana...