Suaranya Rafisqi terdengar sangat jelas. Terlalu jelas. Pria itu seolah bicara tepat di dekat telinganya Naura. Belum lagi aroma cologne khas pria yang tiba-tiba menginvasi penciuman, membuat Naura sesaat mengalami disorientasi arah. Dia tidak tahu ada dimana, sedang apa dan kenapa tiba-tiba terjebak di kondisi seperti ini. Lalu hangatnya napas Rafisqi yang menerpa puncak kepala, kedua lengannya yang mengungkung tubuh Naura... Semua itu cuma mempertegas betapa dekatnya posisi mereka saat ini.
Naura kewalahan dengan banyaknya hal yang menyerbu inderanya di waktu bersamaan. Pikirannya blank seketika dan dia terlalu kaget untuk memberikan reaksi apapun.
"Jangan pergi." Lagi-lagi Rafisqi menggunakan nada suara rendah yang kesannya dingin dan mengerikan itu. "Pembicaraan kita belum selesai."
Syukurlah akhirnya Naura berhasil menemukan kembali akal sehatnya. "Lepas!" Sejurus kemudian dia langsung meronta-ronta, berusaha meloloskan diri.
"Dan membiarkanmu kabur lagi? No."
"Lepaskan! Ini tempat umum! Kau gila, ya?!" Sekarang Naura bahkan mulai mendorong tubuh pria itu sekuat tenaga. Tapi Rafisqi tidak bergerak sedikit pun, malah makin erat memeluknya.
Naura tidak pernah menyukai kontak fisik seperti ini. Terlebih dengan seorang pria yang bukan siapa-siapanya. Sebut saja Naura aneh, tapi yang pernah memeluknya cuma kelurga dan sahabatnya yang perempuan. Naufal selalu bilang kalau anak gadis harus bisa menjaga diri baik-baik, supaya tidak disentuh sembarang orang dan itulah yang terus dipegang teguh Naura. Tapi sekarang....
"Stop. Tolong hentikan. Lepaskan aku." Naura sudah diambang tangis karena rasa takut, marah dan frustrasi yang bercampur jadi satu. Tubuhnya mulai gemetaran. Dia tidak tahan dengan para pejalan kaki yang mulai memandang aneh sambil berbisik-bisik. Rasanya Naura ingin menghilang saja dari muka bumi. "Rafisqi...."
"Naura? Maaf, aku...."
Rafisqi akhirnya melonggarkan pelukannya. Kesempatan itu Naura gunakan untuk meloloskan dirinya dari kuncian lengan pria itu dan berkelit menjauh. Tapi Rafisqi kembali berhasil mencengkram lengan kirinya sebelum Naura sempat melarikan diri lagi.
"Naura." Rafisqi mendekat satu langkah.
"Jangan mendekat!" Naura berteriak sambil mundur menjauh, sejauh yang diizinkan lengannya yang masih dicengkram erat.
Rafisqi kembali mendekat dan lagi-lagi Naura mundur untuk menekan jarak sejauh mungkin. Mereka terus melakukan hal yang sama hingga beberapa detik ke depan. Hingga akhirnya Rafisqi terlihat hilang kesabaran dan kembali menarik Naura ke arahnya. Untungnya Naura bisa berhenti tepat sebelum dia menabrak pria itu lagi.
"Ini cuma kegilaan dan obsesi sesaat! Tolong hentikan!"
Naura sudah tidak peduli lagi ini tempat umum atau bukan. Dia cuma ingin cepat-cepat lepas dari situasi ini. Diam-diam dia merasa bodoh karena sering menjerit ala fangirl tiap kali melihat adegan seperti ini di drama Korea. Tapi setelah mengalaminya sendiri, ternyata rasanya tidak semanis itu. Sangat jauh dari kata romantis. Memalukan baru iya. Bikin emosi, apalagi.
Rafisqi tidak mengatakan apa-apa untuk membalas hujatan barusan. Dia cuma mengeluarkan ponsel dari saku dengan tangannya yang bebas, menyentuh-nyentuh layar benda itu dan mendekatkannya ke telinga. Sementara tangannya yang lain sudah seperti borgol saja di pergelangan tangan kiri Naura.
"Halo, Pih," ujarnya tidak lama kemudian. "Ya. Aku sehat."
Rafisqi diam sesaat. Sepertinya lawan bicaranya sedang mengatakan sesuatu. Sambil mendengarkan apa yang dikatakan orang di telepon, tatapannya tidak lepas sedikit pun dari Naura.
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Impossible Possibility
RomancePernah dengar istilah "First Love Never Dies"? Naura Alraisa Anhar sudah paham betul makna istilah yang satu itu. Selama belasan tahun, ingatan tentang cinta pertama itu selalu melekat di pikirannya. Tidak pernah mati dan mengikutinya ke mana-mana...