27. No Way Out

26.3K 2.6K 123
                                    

Hari ini sepulang kerja Naura diajak Syila ke butiknya Balqis. Awalnya dia kira itu cuma untuk ngobrol-ngobrol cantik seperti biasa, tapi waktu melihat disana juga ada Dharma, Naura buru-buru mempersiapkan hati.

Please, jangan bilang ini tentang pernikahan. Pleaseee.

Pembicaraan bahkan belum dimulai, tapi Naura sudah memanjatkan puluhan do'a dalam hati. Dia masih belum siap merasakan perubahan drastis lain di dalam hidupnya.

"Silahkan ngobrol. Aku ke bawah dulu," izin Balqis yang sedang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Naura kecewa waktu tahu Balqis tidak ikut dalam pembicaraan. Entah kenapa kali ini dia merasa risih ditinggal begitu saja dengan dua Mavendra di depannya.

Pintu ditutup dari luar dan suasana berubah hening. Naura bahkan masih bisa mendengar suara langkah kaki Balqis yang sedang menuruni tangga menuju tempat kerjanya. Lantai dua butiknya Balqis ini memang cuma diperuntukkan sebagai tempat istirahat dan tempat penyimpanan berbagai jenis bahan kain. Seandainya keadaan tidak sepelik sekarang, Naura pastinya sudah berkeliling untuk mengamati berbagai kain cantik dan rancangan setengah jadi yang bertebaran di ruangan.

Naura cuma duduk mematung di salah satu sofa panjang di sudut ruangan, sementara Syila duduk tepat di hadapannya. Dari tadi wanita itu cuma diam sambil mengaduk-aduk cangkir teh di depannya. Perhatian Naura fokus pada gerakan tangan Syila. Wanita itu baru saja memasukkan sendok gula yang keempat ke dalam cangkirnya dan seakan itu bukan apa-apa, dia memasukkan yang kelima. Sementara itu Dharma berdiri menyandar di samping jendela. Satu tangannya memegang ponsel dan apapun yang sedang terpampang di layar benda itu berhasil membuat ekspresinya berubah kecut.

Dharma yang kesal dan Syila yang sedang tidak fokus adalah hal kedua yang paling tidak ingin Naura hadapi hari ini. Posisi pertamanya masih dipegang Rafisqi, tentu saja.

Merasa risih dengan keheningan yang mencekam itu, Naura akhirnya berdehem pelan. Sukses, perhatian dua orang itu langsung tertuju padanya. Setidaknya Naura baru saja berhasil menahan Syila memasukkan sendok gula keenam ke dalam cangkirnya.

"Lalu... sebenarnya ada apa?" tanya Naura lambat-lambat. Dia berinisiatif untuk bicara duluan karena dua orang di dekatnya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan buka mulut. Syila dan Dharma saling melempar pandangan, seolah saling mengisyaratkan untuk memulai pembicaraan duluan.

Belum sempat Naura mendapatkan jawaban, ponselnya bergetar heboh. Dari Rafisqi.

Dia memandangi Syila dan Dharma bergantian. Tadinya Rafisqi memang bilang akan menjemputnya di rumah sakit. Tapi Syila sudah lebih dulu "menculik"nya.

"Jangan diangkat," instruksi Dharma. Terdengar agak dingin di telinga Naura.

Setelah menimbang-nimbang sesaat, akhirnya Naura memutuskan untuk patuh. Dia membiarkan ponsel itu terus bergetar dalam genggamannya, hingga akhirnya berhenti sendiri. Telepon-telepon berikutnya menyusul tidak lama kemudian dan tentunya juga diabaikan oleh Naura.

"Bagaimana menurutmu Fiqi yang sekarang?" Akhirnya Dharma memulai pembicaraan. Pria itu akhirnya menyimpan ponsel di saku jas hitamnya dan sedikit memutar tubuh menghadap Naura.

"Rafisqi yang sekarang?" Naura sama sekali tidak menduga akan dapat pertanyaan seperti itu. Terlebih lagi dia tidak tahu harus menjawab apa. Setidaknya dia bisa bersyukur ini bukan pembicaraan tentang tanggal pernikahan.

"Nggak apa-apa. Jujur saja," ujar Syila yang akhirnya berhenti mengaduk tehnya.

"Aku tidak yakin, tapi... dia terasa aneh."

"Aneh bagaimana?" tanya Syila lambat-lambat, seulas senyum menenangkan terulas di bibirnya. Tatapan matanya yang tertuju lurus pada manik mata Naura terasa hangat, kalem dan menenangkan. Sama sekali tidak terasa menghakimi dan mengintimidasi, seolah apapun yang Naura ucapkan setelah ini tidak akan jadi masalah sedikitpun.

[End] Impossible PossibilityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang