Berkali-kali Naura menanyakan kemana Rafisqi akan membawanya, tapi pria itu mengabaikannya dan terus mengemudi seperti kesetanan. Setelahnya Naura memilih diam sambil menggenggam sabuk pengamannya erat-erat. Dirinya tidak menyangka akan berada di situasi seperti ini lagi. Terjebak di mobil dengan Rafisqi yang sedang emosi bukanlah sesuatu yang ingin dirasakannya dua kali.
Mobil berhenti di basement sebuah apartemen asing dan begitu turun Rafisqi langsung menariknya memasuki elevator.
"Rafisqi!" Usaha Naura untuk meloloskan pergelangan tangannya dari cengkraman Rafiqi sama sekali tidak membuahkan hasil. "Kau membawaku kemana?"
Jelmaan es yang bernama Rafisqi itu hanya diam dan menekan tombol bertuliskan angka 8.
"Dengar." Naura mencoba bicara baik-baik saat lift mulai bergerak naik. "Meski sudah tahu semuanya, aku−"
"Itu bukan sesuatu yang seharusnya kau tahu, Naura." Akhirnya Rafisqi bicara. Suaranya nyaris menyerupai gumaman. "Tidak. Seharusnya kau tidak tahu."
Elevator yang mereka naiki berdenting pelan dan pintunya perlahan membuka. Kali ini Rafisqi menyeretnya melewati koridor dengan kamar-kamar yang berjejer di kedua sisinya.
"Kau berencana menyembunyikannya sampai kapan?" Naura tidak terima dengan jawaban tidak jelasnya Rafisqi. "Ternyata kau tidak seserius itu denganku!"
Tanpa bicara, Rafisqi memencet-mencet panel password yang ada di samping pintu besi bertuliskan nomor 809. Saat itulah Naura sadar kalau dia sedang berada di apartemen pria itu. Hati dan pikirannya mendadak panik.
"Tunggu−"
Namun, Rafisqi terlanjur mendorongnya masuk.
Naura memandangi pintu besi yang ada di balik punggung Rafisqi. Pintu itu sudah tertutup rapat dan tubuh menjulang Rafisqi menghalangi jalan keluar satu-satunya tersebut.
"Aku mencoba bicara baik-baik," Naura menghempaskan tangannya yang masih dicengkeram Rafisqi. Kesabaran yang berusaha dia pertahankan sejak tadi mulai menipis mendekati titik kritis. "tapi ini balasanmu?"
"Kau pikir setelah tahu semuanya, aku akan melepaskanmu?" Suara Rafisqi terdengar berbahaya. "Kau tidak akan kemana-mana lagi, Naura."
"Kau berencana mengurungku?" Naura tidak percaya dengan apa yang barusan di dengarnya. Disaat dia mengira kegilaan Rafisqi sudah mencapai titik maksimal, pria itu selalu saja mengejutkannya dengan tindakan lain yang lebih parah.
"Kalau aku membiarkanmu pergi sekarang, aku akan kehilanganmu lagi." Rafisqi menggeleng pelan. Sekarang Naura bisa melihat kepanikan dalam tatapan matanya. "Kau juga akan meninggalkanku saat tahu kondisiku yang sebenarnya. Aku−"
"Buktinya aku tidak melarikan diri!" sela Naura. "Aku sudah tahu, tapi aku tetap bersedia bicara denganmu."
"Untuk mengakhiri semuanya, kan?"
"Bukan!" Naura benci merasa tidak didengarkan seperti ini.
"Setelah tahu semuanya kau pasti benci dan jijik padaku. Apa kau juga menganggapku monster?"
Naura terdiam mendengar pertanyaan itu. Benar, dia memang sempat menganggap pria itu 'monster', tapi itu sebelum dia tahu kejadian selengkapnya.
"Rafisqi, aku memang membencimu karena melakukan itu ke teman-temanku, tapi−"
"They deserved it," sela Rafisqi dingin. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda penyesalan.
"Tapi bukan berarti semuanya tidak bisa diluruskan." Naura sudah separuh berteriak. "Lanjutkan terapimu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Impossible Possibility
RomancePernah dengar istilah "First Love Never Dies"? Naura Alraisa Anhar sudah paham betul makna istilah yang satu itu. Selama belasan tahun, ingatan tentang cinta pertama itu selalu melekat di pikirannya. Tidak pernah mati dan mengikutinya ke mana-mana...