"Selamat siang, Ibu. Ada yang bisa saya bantu?"
Naura memandangi resepsionis di depannya dengan canggung. Untuk yang kesekian kalinya, dia memikirkan ulang keputusannya untuk datang.
"Itu... Rafisqinya ada?" tanyanya ragu-ragu.
"Bapak Rafisqi Mavendra?" Wanita berblazer abu-abu itu memandangi Naura penuh selidik meski senyum sopan tetap terulas di bibirnya.
Naura mengangguk, diam-diam merasa risih di bawah pandangan menganalisis yang ditujukan padanya. Bahkan dua orang resepsionis lain yang kebetulan ada di dekat sana juga ikut mencuri-curi pandang.
"Apa anda sudah membuat janji?"
Ya ampun! Ketemu Rafisqi saja kok repotnya minta ampun?
"Ya? Sepertinya... begitu," gumam Naura tidak yakin. Sebenarnya dia datang cuma karena disuruh datang. Tidak ada yang bilang dia harus membuat janji sebelumnya.
"Mohon tunggu sebentar." Resepsionis itu tersenyum formal dan meraih gagang telepon di dekatnya. "Maaf sebelumnya. Ini dengan Ibu siapa?"
"Nau-"
"Naura?"
Naura menoleh ke arah suara lembut yang barusan menyerukan namanya. Dia spontan tersenyum sumringah karena pada akhirnya menemukan wajah familiar di lingkungan yang asing ini.
"Mbak Balqis!"
Melalui sudut mata, Naura melihat tiga orang resepsionis disana serentak berdiri.
"Selamat siang, Bu Balqis." Dengan teramat sangat sopan, resepsionis yang tadi melayani Naura menyapa Balqis.
"Siang, Rika," balas Balqis, dan berikutnya dia kembali fokus pada Naura. "Tumben kesini, Ra."
Naura tertawa canggung. "Berkat adik ipar Mbak yang suka seenaknya itu."
Balqis ikut-ikutan tertawa kecil. "Begitu?" Setelahnya dia kembali menoleh ke resepsionis yang bernama Rika. "Rafisqi ada di ruangannya?"
"Mohon tunggu sebentar, Bu." Resepsionis tersebut berbicara sebentar di telepon. "Bapak Rafisqi sedang ada rapat, Bu."
Balqis mengangguk sambil menggumamkan terima kasih.
"Kalau gitu ikut Mbak dulu, Ra." Balqis langsung menggandeng Naura. "Tunggu di ruangan Mas Dharma saja."
Memangnya Naura punya pilihan lain? Segera saja dia mengangguk dan berjalan mengikuti Balqis. Sayangnya, telinganya masih sempat menangkap suara orang berbisik-bisik di balik pungungnya. Sudah pasti asalnya dari tiga resepsionis tadi.
"Mbak, masa' baru pertama kesini aku langsung digosipin sih?"
Apa jangan-jangan dandanannya terlihat sangat mencolok di lingkungan perkantoran ini? Apa dresscodenya tidak sesuai? Soalnya Naura memang cuma memakai blouse ungu lengan panjang dan celana jeans putih saat ini. Rambutnya juga cuma diikat ekor kuda simpel. Siapa pun pasti langsung tahu kalau dia datang kesana bukan untuk urusan bisnis.
"Pertama kalinya ada perempuan datang kesini mencari Fiqi." Balqis tersenyum penuh arti pada Naura. "Lalu perempuan itu juga mengenalku dan Mas Dharma. Menurutmu apa yang akan mereka pikirkan?"
Tidak butuh waktu lama bagi Naura untuk memahami kalimat Balqis dan dia langsung menyesal datang kesana.
Seharusnya aku tidak datang. Bodohnya.
***
"Kau kesini mengantar bekal?"
Di depannya Dharma tersenyum penuh arti. Pandangannya tertuju pada tas berisi kotak makanan yang ada di samping Naura.
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Impossible Possibility
RomancePernah dengar istilah "First Love Never Dies"? Naura Alraisa Anhar sudah paham betul makna istilah yang satu itu. Selama belasan tahun, ingatan tentang cinta pertama itu selalu melekat di pikirannya. Tidak pernah mati dan mengikutinya ke mana-mana...