"Kita mulai saja."
Naura membuka sesi 'mari-saling-mengenal' siang itu. Jangan dikira dia melakukannya dengan senang hati. Naura cuma tidak tahan ditanyai orang di rumah terus-terusan. Dia sudah tahu kalau Rafisqi itu brengsek dan menyebalkan, dan itu sebenarnya sudah lebih dari cukup.
"Makanan kesukaan?" Naura melontarkan pertanyaan pertama.
"Sushi," jawab Rafisqi yang mulai menyantap makanannya santai.
Bundo, gimana aku belajar buat sushi? Sekalian saja kirim aku ke Jepang!
"Aku benci ikan mentah itu." Naura bergidik waktu teringat pengalaman muntahnya setelah makan sushi. Pengalaman pertama itu langsung merangkap jadi pengalaman terakhir dan Naura bersumpah tidak akan menyentuh makanan itu lagi. "Minuman kesukaan?"
"Greentea."
Perhatian Naura tertuju ke cangkir putih di samping piring Rafisqi. Benar juga. Itu greentea, minuman yang entah kenapa di lidah Naura selalu saja terasa seperti obat. Dia lebih suka mint tea atau teh yang biasa saja.
"Kalau film?" Naura melontarkan pertanyaan ketiga.
"Horor."
Naura terdiam sesaat dan mengambil kesempatan itu untuk menghela napas pelan. "Warna kesukaan?"
"Hitam."
"Hobi?"
"Tidur."
"Cukup," putus Naura pada akhirnya. Dia kembali menyesap minumannya sendiri. "Kita terlalu berbeda. Tidak perlu dilanjutkan. Lima pertanyaan tadi lebih dari cukup."
Naura percaya kalau hubungan yang baik bisa dimulai dengan menemukan kesamaan minat dan kesukaan, tapi kalau faktanya seperti ini ... rasanya dia ingin menyerah saja. Mungkin belum terlambat untuk membatalkan pesta pertunangan minggu depan.
"Memang ini ide siapa?" bantah Rafisqi tidak mau kalah.
"Iya deh," tukas Naura yang sudah letih dengan lima pertanyaan. Lagipula itu memang idenya sejak awal. "Kau tidak balas menanyaiku?"
"Aku tidak terlalu peduli. Sungguh."
Aku bahkan tidak peduli dan tidak menganggapnya sedikit pun.
Perkataan Rafisqi barusan berhasil memicu kenangan buruk dari 12 tahun lalu. Naura berdiri dari duduknya dan meraih tas yang sebelumnya dia letakkan di kursi sebelah. Dia siap untuk pergi saja dari sana.
"Oke. Oke. Silahkan duduk lagi, Naura," tukas Rafisqi dengan nada mengalah. "Aku akan bertanya."
Dari suaranya, langsung ketahuan kalau Rafisqi merasa enggan. Level antusiasmenya nol persen dan jelas sekali dia memang tidak tertarik tahu sedikit pun tentang Naura.
Oh, betapa Naura benci pria itu.
"Jadi, hal yang paling kau benci?"
"Kau," jawab Naura dengan sepenuh hatinya.
"Sayang sekali. Padahal aku cinta diriku." Sungguh suatu kenarsisan tingkat tinggi. "Kau benar. Kita sangat berbeda."
"Aku pulang sekarang," desis Naura. Terserahlah, toh dia bisa mengarang jawaban saja kalau ditanyai lagi tentang Rafisqi.
Rafisqi ikutan berdiri. Naura tersentak waktu pria itu menaruh kedua tangan di masing-masing bahunya. Dia sudah siap untuk berkelit menghindar, tapi ternyata Rafisqi cuma ingin mendorongnya agar kembali duduk.
"Tempat favorit?" Rafisqi kembali menempatkan diri di kursinya dan melontarkan pertanyaan kedua.
"Laut."
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Impossible Possibility
RomancePernah dengar istilah "First Love Never Dies"? Naura Alraisa Anhar sudah paham betul makna istilah yang satu itu. Selama belasan tahun, ingatan tentang cinta pertama itu selalu melekat di pikirannya. Tidak pernah mati dan mengikutinya ke mana-mana...