Di tengah kekalutannya, satu-satunya tempat yang terpikirkan oleh Naura hanyalah rumah. Dia butuh bicara dengan Naufal secepatnya. Namun, setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam dan berkorban ongkos taksi yang tidak sedikit, udanya malah sedang ke luar kota.
"Besok siang juga pulang kok, Ra."
Naura menghentikan kegiatannya mengobrak-abrik lemari dan menoleh ke Diana yang sejak tadi duduk di pinggir tempat tidur.
"Iya, Uni. Urgent sih," Dia meraih sebuah baju ganti dan kembali menutup pintu lemari. "tapi mau gimana lagi."
"Terjadi sesuatu?" Kakak iparnya itu meraih boneka panda yang ada di samping selimut dan membawanya ke pelukan. "Soalnya tumben pulang mendadak. Kalau tahu, Uni bisa masak dendeng balado dulu."
Di tengah perasaannya yang masih berkecamuk, perhatian kecil itu berhasil membuat Naura mengukir senyum. Itu salah satu lauk favoritnya dan dendeng balado buatan Diana memang tidak ada yang bisa menandingi.
Setelah selesai berganti pakaian, Naura ikut duduk di samping Diana.
"Buat besok saja, Ni." Dia cengengesan. "Kayaknya aku bakalan lama di sini."
Perkataannya barusan ternyata membuat Diana mengerutkan kening.
"Ngomong-ngomong, gimana kabar keponakanku yang ini?" Naura buru-buru membelokkan arah pembicaraan dan menaruh tangannya di perut Diana yang sudah terlihat sangat besar. "Sebentar lagi, kan?"
Diana tersenyum tipis dan ikut meletakkan tangannya di atas punggung tangan Naura. "Perkiraannya bulan depan dan dia laki-laki."
"Oh ya?" Naura exited mengetahui jenis kelamin calon keponakannya. "Semoga dia mirip Uni." Setelah mengusap perut Diana sekali, Naura menarik tangannya kembali. "Altan terlalu mirip uda. Bosan lihat wajah itu melulu," candanya ketika teringat keponakan pertamanya yang benar-benar jadi fotokopiannya Naufal. "Lalu bundo bilang apa?"
"Tidak masalah. Bundo cuma bilang yang penting dia sehat, tapi," Diana memberikan senyum tipis. "sebaiknya kau siap-siap."
Dasar bundo dan obsesinya punya cucu perempuan.
Naura menghela napas berat. Setelah ini bundo pasti akan makin menuntutnya untuk cepat-cepat menikah. Padahal mau menikah cepat atau lambat, tidak ada jaminan Naura akan punya anak perempuan, kan?
Lagi pula ... bagaimana mau menikah?
"Si ganteng apa kabar?"
"Siapa?" Sejujurnya Naura cuma terpikirkan satu orang waktu mendengar pertanyaan barusan. Namun, dia memutuskan untuk berlagak bodoh saja.
"Dia tinggi, lumayan putih dan rambutnya hitam pendek." Diana tertawa dan menimpuk bahu Naura dengan boneka panda di tangannya. "Jangan sok amnesia! Jadi? Gimana Fiqi?"
Mood Naura yang tadinya agak membaik berkat dendeng balado dan calon keponakan laki-laki, kembali anjlok ke titik terendah.
"Sehat." Dia langsung rebahan dan membenamkan kepalanya di bantal. "Uni, aku ngantuk."
"Naura." Suara Diana berubah serius dan Naura tahu dia tidak akan bisa lagi mengelak dengan mengalihkan pembicaraan. "Ada apa? Kalau semua baik-baik saja, kau tidak mungkin pulang mendadak dan panik mencari uda."
Naura mengangkat wajahnya dari bantal dan memandangi Diana lekat-lekat.
"Uni cinta uda?"
"Sweetheart, kau akan punya dua keponakan. Sudah terlambat menanyakan itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Impossible Possibility
RomancePernah dengar istilah "First Love Never Dies"? Naura Alraisa Anhar sudah paham betul makna istilah yang satu itu. Selama belasan tahun, ingatan tentang cinta pertama itu selalu melekat di pikirannya. Tidak pernah mati dan mengikutinya ke mana-mana...