/Part2/
.
.
.Begitu pintu terbuka, Naura langsung ditarik ke rengkuhan hangat yang terasa sangat familier. Dia heran dengan keadaan Naufal yang terkesan tidak biasa. Dengan kondisi kemeja yang rada basah oleh keringat dan napas yang masih ngos-ngosan, udanya terlihat seperti baru habis lari marathon. Naufal merengkuhnya di dekat dada, membuat Naura bisa mendengar debaran jantung udanya yang tidak stabil.
"Uda, apa yangㅡ"
"Rafisqi."
Naura tersentak mendengar nada suara yang digunakan Naufal untuk menyebut nama Rafisqi. Naufal memang tidak lagi berteriak seperti di telepon tadi, tapi suaranya yang terkesan dingin barusan tetap saja merupakan pertanda buruk. Naura melirik Rafisqi yang masih terdiam di ambang pintu apartemen.
Perasaannya tidak enak.
"Jangan menemui Naura lagi."
Ultimatum singkat barusan ibarat bom yang dijatuhkan tanpa peringatan.
"Aku akan segera menemui Mas Dharma dan membicarakan pembatalan perjodohan."
"Uda!"
"Uda?"
Naura dan Rafisqi mengucapkan kata itu bersamaan, tapi dengan intonasi sama sekali berbeda.
"Lalu berhenti memanggilku 'Uda'," tegas Naufal. "Kau tidak layak."
Dan saat itulah Naura menyadari perubahan pada gestur Rafisqi. Tadinya dia cuma berdiri disana dengan kening berkerut samar, terlihat kaget dan juga kebingungan seolah semua yang terjadi terasa tidak masuk akal baginya. Namun, dalam hitungan detik ekspresi dan pembawaannya kembali berubah terkendali. Tatapannya tertuju lurus ke Naufal. Kedua tangan mengepal di sisi tubuh.
Alarm tak kasat mata dalam diri Naura kembali membunyikan tanda bahaya. Suasana hati Rafisqi memburuk. Lagi.
"Uda!" Dia buru-buru melepaskan diri dari rengkuhan Naufal. "Ini apa-apaan?"
Naura tidak tahu Naufal kerasukan apa sampai bertindak tiba-tiba begini, tapi yang pasti, udanya itu baru saja memperburuk semuanya.
"Kau seharusnya langsung mengantarnya pulang." Naufal mengabaikan pertanyaan Naura. "Sekarang katakan, apa maksudmu membawa Naura kesini?"
Pertanyaan barusan membuat Rafisqi tersentak dan gesturnya kembali berubah. Naura mendapati Rafisqi menatapnya sekilas dan mengalihkan pandangan beberapa detik kemudian. Naura berhasil menangkap sebersit rasa bersalah dalam tatapan itu.
"Uda, sebenarnyaㅡ"
"Naura. Biar dia yang jawab."
Naura menghembuskan napas kesal. "Rafisqi, bilang ke Uda kalau aku sendiri yang ingin berkunjung."
Tadinya Rafisqi memang berniat melakukan hal buruk dan bahkan nyaris membuat Naura melompat dari beranda. Namun, Naura yakin dia berhasil membuat Rafisqi berubah pikiran di saat-saat terakhir. Itulah yang terpenting.
Naura berusaha mengisyaratkan Rafisqi agar mendukung pernyataannya barusan. Namun, pria itu tetap diam, jelas sekali berusaha menghindari tatapannya.
"Jangan diam saja!" Naura tidak terima. Kalau Rafisqi tetap bungkam begini, sama saja dengan menanamkan prasangka buruk ke Naufal. Dan benar saja, Naufal langsung melangkah maju.
"Rafisqi, kau!"
"Uda!" Naura meraih lengan Naufal. "Jangan!"
Hari Naura sudah cukup melelahkan tanpa harus ditambah mengurusi dua pria yang baku hantam.
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Impossible Possibility
RomancePernah dengar istilah "First Love Never Dies"? Naura Alraisa Anhar sudah paham betul makna istilah yang satu itu. Selama belasan tahun, ingatan tentang cinta pertama itu selalu melekat di pikirannya. Tidak pernah mati dan mengikutinya ke mana-mana...