Sudah cukup lama Naura menunggu, tapi lawan bicaranya di seberang telepon tidak juga kunjung bicara. Apa pertanyaannya sesulit itu? Seharusnya sih, tidak.
"Gian." Naura bangkit dari duduknya dan mulai mondar-mandir gelisah mengelilingi kamar. "Jangan diam saja. Aku mulai berpikir macam-macam."
Mengenai Gian, Naura memutuskan untuk mencari tahu sendiri. Rafisqi pernah bilang kalau Gian-lah dalang kejadian 12 tahun lalu dan Naura harus memastikan itu tidak benar. Setelah serangkaian berita buruk semalam, dia tidak mau lagi mendengar bukti lain dari kegilaannya Rafisqi.
"Apa benar?" Naura mengulangi pertanyaannya karena Gian tidak juga bersuara. "Gosip 12 tahun lalu beawal darimu?"
Terdengar helaan napas berat.
"Benar." Suara Gian seperti gumaman, nyaris tidak terdengar. "Naura, aku ... aku betul-betul menyesal."
Genggaman Naura pada ponselnya menguat dan tangan kanannya mengepal tanpa sadar. Sedetik kemudian, Naura berusaha mati-matian menahan diri agar tidak berteriak saat itu juga.
"Jelaskan," perintahnya singkat.
"Waktu itu aku tidak langsung pergi setelah menaruh surat. Aku mengintip dari jendela, penasaran dengan reaksimu, tapi," Gian tertawa hambar. "kau sama sekali tidak butuh waktu untuk mempertimbangkan perasaanku, kan? Karena Rafi."
Kali ini giliran Naura yang menghela napas berat. Dia mendudukkan diri di pinggir kasur dan mulai memijat kepalanya yang terasa pening mendadak. Gian salah paham. Dulu Naura menolaknya karena memang tidak ingin pacaran. Bukan karena Rafisqi.
"Lalu Rafi muncul. Waktu itu aku bersedia melakukan apa pun agar ada di posisinya, Ra. But no, that arrogant guy acted as if he was the king of the world. Seandainya jadi dia, aku akan langsung sujud syukur karena disukai olehmu."
Naura menyadari pergantian suasana hati Gian dari tekanan suaranya dalam berbicara. Sedih, kemudian kesal, lalu kecewa.
"Dan diriku yang kekanak-kanakan cuma mau membalas dendam karena ditolak cinta pertama." Setelah itu Gian kembali terdiam cukup lama. Naura bisa mendengar deru napas pria itu. Apa pun yang akan diucapkannya setelah ini, pastilah itu hal yang sangat berat. "Aku sungguh minta maaf. Aku kesal dan tanpa pikir panjang malah menyebarkan ke yang lain kalau kau menyukai Rafi. Aku ... tidak menyangka itu menyebar tidak terkendali dan makin lama makin menyimpang dari cerita aslinya."
"Itu saja?"
Seandainya sekarang Gian ada di hadapannya, Naura tidak akan segan melemparinya dengan kursi.
"Naura, maafkan aku. Kau sudah sangat tersiksa karena ulahku, tapi ... tapi aku terlalu pengecut untuk meluruskan semuanya. Aku takut seisi sekolah berbalik menyerangku."
JADI LEBIH BAIK BIARKAN SAJA AKU YANG DISERANG. BEGITU?
Betapa Naura ingin meneriakkan itu sekuat tenaga. Namun, yang terlontar dari mulutnya malah, "Egois sekali ya, Gian." Hatinya hancur dan Naura tidak menyangka dirinya masih punya tenaga untuk tertawa. "Kau luar biasa."
"Aku selalu menyesali ini, Ra. Dua belas tahun aku selalu diikuti rasa bersalah-"
"Seandainya kau tahu trauma yang mengikutiku selama ini," sela Naura. Tanpa sadar dia kembali ke kebiasaan buruknya menyela pembicaraan tiap kali merasa sangat kesal. Dia tidak punya stok kesabaran untuk mendengarkan pembelaan yang tidak lagi diperlukan.
Baginya palu sudah diketukkan tiga kali. Gian terbukti bersalah.
"Aku selalu mencarimu. Kita bertemu waktu reuni enam tahun lalu, tapi kau bersama pacarmu dan aku-"
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Impossible Possibility
RomancePernah dengar istilah "First Love Never Dies"? Naura Alraisa Anhar sudah paham betul makna istilah yang satu itu. Selama belasan tahun, ingatan tentang cinta pertama itu selalu melekat di pikirannya. Tidak pernah mati dan mengikutinya ke mana-mana...