39. The One That Pulled The Trigger

25.6K 2.4K 66
                                    

Seseorang menarik kursi yang ada di seberang meja dan bunyi gemeretak yang dihasilkannya membuat Naura mengalihkan atensi dari pemandangan di luar jendela. Dia mengubah posisinya yang sejak tadi bertopang dagu menjadi duduk tegak dan memperhatikan Rafisqi yang mengambil tempat tepat di depannya. Pria itu menyatukan kedua tangannya di atas meja dan memandangi Naura lekat-lekat. Naura sudah mempersiapkan diri untuk menerima kata-kata tajam dalam bentuk apa pun, tetapi Rafisqi hanya diam.

Naura akhirnya mengalihkan pandangan pada hitungan ke-sepuluh. Setelah menyadari bagaimana perasaannya yang sebenarnya, menatap mata Rafisqi mulai terasa tidak segampang biasanya.

"Kau tidak bisa dihubungi dan kabur tiap kali melihatku." Rafisqi akhirnya bicara, menggunakan nada datar terkesan sinis yang paling dibenci Naura. "Sekarang kau sendiri yang minta bertemu. Kenapa?"

Setelah tiga hari bermain kucing-kucingan, akhirnya Naura mengambil keputusan untuk menghadapi Rafisqi secara langsung. Bermodalkan nekad, dia akhirnya mengirimi pria itu pesan dan mengajaknya ketemuan di coffee shop dekat rumah sakit.

"Banyak yang harus diluruskan." Naura mencoba memperoleh ketenangan dengan memperhatikan pepohonan yang berjejer di luar jendela. "Banyak sekali."

Selain itu Naura merasa harus lebih memastikan perasaannya pada Rafisqi, diam-diam berharap dia juga salah menafsirkannya kali ini. Bagaimana pun, dia belum tahu apakah "mencintai Rafisqi" akan memperbaiki keadaan atau malah membuat semuanya makin runyam.

"Soal Gilang, aku tidak akan berubah pikiran." Dari sekian banyak hal, Rafisqi justru memilih untuk menegaskan hal yang satu itu. Naura menahan diri untuk tidak langsung mendengkus sebal. "Dan mengenai Ditya-"

Naura kembali memutar kepala menghadap lawan bicaranya. "Ditya kenapa?"

"Oh, aku baru saja melihat kalian berduaan." Rafisqi tersenyum tipis. "Kau menjauhiku, tapi malah mengobrol akrab dengannya. Aku nggak suka, Naura. Jauhi dia."

Durasi pertemuan mereka bahkan belum sampai lima menit, tapi Rafisqi sudah sukses membuat emosi Naura naik ke ubun-ubun. Ingatkan Naura untuk mulai mengukur tensinya tiap kali habis bertemu Rafisqi. Tindakan preventif akan sangat diperlukan. Dia tidak ingin terkena darah tinggi karena bawaannya selalu pengen mengamuk tiap kali bertemu pria yang satu itu.

"Masalah Gilang belum selesai, Rafisqi." Naura menepikan gelas cappucino beserta ponsel di depannya dan ikut menyatukan kedua tangan di atas meja. Dia memandang Rafisqi tepat di manik mata sembari berusaha keras untuk tetap tenang. "Sekarang kau menyuruhku menjauhi orang lain lagi? Lalu siapa selanjutnya? Kau berniat membuatku sendirian?"

"Kau tidak akan sendirian. Ada aku."

Naura mendengkus. "Mengerikan." Tatapannya menajam. "Berhenti ikut campur. Aku punya kehidupan sendiri."

"Maaf, Naura." Untuk pertama kalinya, tatapan Rafisqi melembut. "Sekali. Cuma sekali, aku teledor memberi kebebasan ke orang yang kucintai ... dan 'sekali' itu membuatku mengalami kehilangan besar."

Naura mengernyit bingung. Ini Rafisqi sedang membicarakan tentang Juwita atau si gadis berambut cokelat?

"This is my way to keep you safe. Tolong mengerti."

"Kau sedang membicarakan siapa?" Naura memutuskan untuk bertanya langsung. Sesuai dugaannya, Rafisqi memutuskan untuk tidak menjawab. "Oke. Siapa pun itu, aku bukan dia, Rafisqi," lanjutnya dengan memberi penekanan pada setiap kata. "Jangan memperlakukanku seperti kau memperlakukannya. Kami orang yang berbeda."

Setelah jeda beberapa detik, akhirnya Rafisqi tertawa kecil. "Jangan salah paham. Kalian memang berbeda. Aku ingin melindungimu, sementara yang paling ingin kulakukan padanya adalah membunuhnya."

[End] Impossible PossibilityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang