"Itu mobilnya?"
Naura mengikuti arah telunjuk Naufal dan mengangguk waktu melihat sebuah mobil putih terparkir di sisi kiri jalan. Mobil yang dikemudikan Naufal perlahan melambat dan berhenti tepat di belakang mobil tersebut. Naura melepas sabuk pengaman dan memperbaiki posisi tudung jaket abu-abu yang dikenakannya, memastikan benda itu cukup efektif untuk membuat wajahnya tidak terlalu terlihat. Setelah itu dia celingukan mengamati sekitar, berharap tidak ada kendaraan mencurigakan atau orang asing yang mengikutinya.
"Masih belum mau cerita?"
Lagi-lagi Naura mendapat pertanyaan yang sama dan kali ini pun dia cuma bisa memberikan tatapan menyesal terbaiknya. "Maaf, Uda. Nanti, kalau semua sudah jelas."
"Kalian aneh." Naufal menghela napas. "Di luar sana banyak kaum jomlo yang cintanya bertepuk sebelah tangan, Ra. Sudah sangat jelas Fiqi juga menyukaimu, tapi kau malah−" Uda berhenti bicara, memberi Naura tatapan heran dan kembali menghela napas. "Apa yang membuatmu ragu?"
Naura tahu Naufal masih berusaha memancingnya agar bercerita, tapi ... bagaimana caranya? Kondisi Rafisqi bukan sesuatu yang bisa diceritakan kepada siapa saja. Terlalu rumit, terlalu banyak pihak yang terlibat, terlalu banyak rahasia.
"Makanya aku harus bicara dengan orang ini, Uda." Naura memutar kepala menghadap mobil putih di depan. "Ada yang mesti kucari tahu. Setelah itu aku akan menemui Rafisqi."
"Baiklah." Naufal perlahan mengalah, seperti yang selalu dilakukannya tiap kali Naura menolak untuk bercerita. "Masa depanmu, kau yang menentukan. Ini memang perjodohan, tapi keputusan akhir tetap di tanganmu. Yang terpenting, apa pun yang kau rencanakan, tolong jangan terluka."
Mungkin aku sudah terluka, Uda.
Namun, alih-alih mengatakan itu terang-terangan, Naura memilih menanggapinya dengan candaan. "Aku bukannya terjun ke medan perang. Jadi pasti baik-baik saja."
"Entahlah, Ra, tapi Uda nggak suka tiba-tiba ada perasaan mengganjal begini." Kening Naufal mulai berkerut samar. "Atau Uda tunggu saja sementara kalian bicara?"
"Uda terlalu berlebihan. Katanya ada rapat dadakan." Naura mengambil tangan kanan Naufal dan membawanya ke kening. "Sana ke kantor. Ini cuma pembicaraan biasa. No need to worry."
***
"Welcome!"
"Maaf telat." Naura menghenyakkan tubuh di kursi samping pengemudi dan menutup pintu mobil. "Penyakit suka khawatirnya uda kambuh." Disaat bersamaan, dia melihat mobil Naufal melaju melewati mereka dari samping kanan dan perlahan menjauh.
Pria berkacamata itu tertawa. "Aku jadi ingat pas udamu ke kantor mengajak Fiqi makan siang, lalu ujung-ujungnya mewawancarinya habis-habisan."
Naura nyaris tersedak ludahnya sendiri. "Kapan?"
"Sudah lama. Sebelum acara tunangan."
Seharusnya Naura tidak kaget lagi. Mengingat sifat Naufal, udanya itu pasti sudah terlebih dahulu menyelidiki Rafisqi. Namun, sepertinya Naufal tidak tahu terlalu dalam. Ataukah memang Rafisqi yang terlalu lihai menyembunyikan masa lalunya?
"Ngomong-ngomong, kita mau kemana, Dav?" tanya Naura. Di telepon, David bilang akan membawanya ke suatu tempat dan sampai sekarang Naura belum tahu akan dibawa kemana.
"Lihat saja nanti," tukas David sok misterius. Dia menghidupkan mesin dan mulai menjalankan mobil. "Bagaimana Fiqi? Masih berusaha menghubungimu?"
"Dia menelepon tiap jam, memborbardirku dengan ratusan pesan dan mencoba menemuiku di rumah." Naura menghela napas berat. "Tolong suruh dia berhenti."
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Impossible Possibility
RomancePernah dengar istilah "First Love Never Dies"? Naura Alraisa Anhar sudah paham betul makna istilah yang satu itu. Selama belasan tahun, ingatan tentang cinta pertama itu selalu melekat di pikirannya. Tidak pernah mati dan mengikutinya ke mana-mana...