Yak, ini dia bagian kedua dari chapter sebelumnya 😁
***
"Kenapa tidak cerita?" Rafisqi memutar kepala menghadap Naura. Akhirnya pria itu tidak lagi menatapnya dengan pandangan dingin seperti sebelumnya. Alih-alih begitu, sekarang tatapannya terlihat lebih sendu dan Naura berhasil menangkap secercah rasa sedih disana.
"Lesty benar-benar cerita semuanya, ya?" Naura tersenyum tipis dan mengalihkan pandangan pada pepohonan di sebelah kirinya. "Lagian tidak penting juga."
"Naura!"
Padahal Naura kira Rafisqi sudah berhasil melewati fase emosi bergejolaknya. Namun lagi-lagi dia dibentak. Siklus emosi seorang Rafisqi benar-benar tidak bisa diprediksi. Kalau diibaratkan grafik di elektrokardiograf, garisnya pasti sedang naik turun tidak beraturan.
"Tidak penting, kau bilang?! Lalu kenapa kau masih ketakutan waktu bertemu Angel dan Ratu? Di restoran waktu itu, kau menangis bukan karena kucingmu kan? Pasti ada hubungannya dengan Angel. Kenapa tidak jujur saja? Seandainya kau jujur-"
"Memang apa untungnya aku jujur?"
Naura tidak tahan lagi untuk menyela. Dia tidak suka mendengar pertanyaan beruntun yang diucapkan Rafisqi dengan nada menghakimi. Pria itu bersikap seolah semua adalah kesalahan Naura. Seolah Naura layak dimarahi karena menyembunyikan semua itu darinya. Memang Rafisqi siapa sampai bisa berbuat seenaknya begitu?
"Lupa ya, siapa penyebab semuanya?" Naura mendengus pelan dan kembali memutar tubuh menghadap Rafisqi. Kali ini dia terang-terangan menatap pria itu di manik mata. "Kemana saja kau 12 tahun yang lalu, Rafisqi? Sekarang jawab aku. Kejadian pagi itu, kau cerita ke siapa?"
Naura ingat sekali kalau waktu itu cuma ada dia, Rafisqi dan Lesty di dalam kelas. Naura menolak mencurigai Lesty. Setelah semua yang dilakukan gadis itu untuknya, mulai dari terlibat adu mulut, cakar-cakaran, hingga berakhir di ruang BK, Naura tidak sedikitpun meragukan Lesty. Dia bahkan lebih mempercayai sahabatnya itu dibanding dirinya sendiri. Karena itu, satu-satunya orang yang berpotensi menyebarkan berita itu cuma Rafisqi.
Namun Rafisqi malah menyangkalnya.
"Aku tidak cerita ke siapa pun."
"Siapa lagi?" Tentu saja Naura tidak percaya. "Mungkin kau keceplosan bilang kalau ada gadis bodoh yang-"
"Naura! Aku tidak cerita ke siapa pun!"
"Lalu kenapa kau ikut-ikutan kesal ke diri sendiri?" Naura mengingatkan. "Kalau kau memang tidak terlibat, kenapa ikut merasa bersalah?"
Kali ini Rafisqi terdiam. Dia memutus kontak mata dengan Naura dan beralih menatap lurus ke depan.
"Kau tahu aku dibully?" tanya Naura lambat-lambat.
Butuh waktu lama bagi Rafisqi untuk menjawab pertanyaan itu. Tadinya Naura mengira pria itu kembali ke aksi marah dengan cara mogok bicara seperti tadi, tapi kemudian Rafisqi mengangguk samar.
"Aku tahu."
Naura tidak mengerti kenapa mendadak muncul rasa perih di dadanya. Seolah ada tangan tak terlihat meninjunya tepat di ulu hati setelah mendengar pengakuan Rafisqi barusan.
"Oh, kau tahu." Naura sadar nada suaranya langsung melemah waktu mengucapkan itu. Dia merasa... entahlah. Mungkin kecewa? Sepertinya jauh di lubuk hatinya, ada secuil harapan kalau Rafisqi benar-benar tidak tahu semua itu. Mungkin dulu pria itu terlalu sibuk dengan hidupnya, sampai-sampai tidak tahu ada seorang gadis yang menderita karena pernah menyukainya. Seandainya begitu, pasti akan lebih mudah bagi Naura untuk memaafkannya.
Namun ternyata itu cuma harapan kosong.
"Ya, aku tahu ada siswi yang dibully dan dikucilkan oleh orang satu sekolah. Aku... baru tahu kalau itu kau."
Entah kenapa rasanya semakin sakit saat mendengar itu langsung dari mulut Rafisqi.
"Jadi kau tahu, tapi tidak berniat sedikit pun meluruskan gosip itu."
"Naura...." Rafisqi mengulurkan tangannya untuk menyentuh lengan Naura.
"Lalu pindah sekolah begitu saja seolah tidak terjadi apa-apa." Naura menepis tangan Rafisqi dan melanjutkan kata-katanya tanpa memberi pria itu kesempatan untuk bicara. Lagi pula apa lagi yang harus dibicarakan? Semua sudah jelas. Rafisqi tidak bisa lagi membela diri.
"Karena kupikir itu bukan urusanku-"
"Bukan urusanmu?" Naura tertawa sinis. "Rafisqi. Aku dikurung di toilet, disiram air, dan dikata-katai orang satu sekolahan cuma karena sempat menyukaimu, dan aku bahkan tidak pernah nembak secara langsung. Kau hanya datang di waktu yang salah dan tiba-tiba saja mendengar pembicaraanku dengan Lesty. Oke, mungkin kau tanpa sengaja keceplosan curhat ke temanmu, lalu beritanya menyebar dan membesar tidak terkendali. Tapi kenapa kau tidak kepikiran untuk meluruskan semuanya? Kau malah-"
"Makanya aku marah pada diriku sendiri!" sela Rafisqi, nyaris berteriak. "Above all, I hate myself so much! Seandainya aku tahu itu kau, aku-"
"Oh? Kau merasa bersalah karena kebetulan aku orang yang kau cintai saat ini?" Naura memberi penekanan pada kata 'kebetulan' dan terkekeh pelan. Dia berusaha mengabaikan betapa hatinya terasa semakin hampa seiring dengan semakin banyaknya dia tertawa. Naura akhirnya mendapat kejelasan tentang semuanya, tapi dia tidak menyangka rasanya akan sesakit ini. "Dulu aku bukan siapa-siapa, makanya kau tidak peduli? Seandainya sekarang kau tidak mencintaiku, kau pasti akan tetap masa bodoh 'kan?"
Naura menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Di sebelahnya Rafisqi benar-benar terdiam. Pria itu bahkan tidak lagi berusaha untuk membela diri. Artinya cuma satu. Semua yang Naura katakan barusan benar-benar tepat mengenai sasaran.
"Please enjoy your karma, Rafisqi." Naura menaruh kunci mobil Rafisqi di atas dashboard dan membuka pintu di sampingnya. "You deserve it. Farewell."
Setelah itu Naura melangkah keluar. Sebelum menutup pintu mobil, masih terlihat jelas olehnya Rafisqi yang terdiam dan tetap mematung di tempat duduknya. Tanpa bilang apa-apa lagi, Naura berjalan cepat menyusuri trotoar di bahu kiri jalan. Rafisqi tidak lagi mengejar dan menahannya kali ini.
Naura sudah mengatakan semua yang perlu dikatakan. Dia sudah membuktikan kalau Rafisqi bersalah dan dendamnya selama 12 tahun sama sekali tidak salah. Mungkin dia harus segera lapor Lesty supaya gadis itu langsung menjalankan hasratnya untuk membuat Rafisqi kehilangan masa depannya. Sekalian saja Naura bilang kalau memang tidak ada yang namanya keajaiban dan Rafisqi memang terlibat dengan semuanya. Artinya tidak ada alasan untuk mencoba mencintai pria itu lagi 'kan?
Akhirnya Naura punya alasan kuat untuk membatalkan perjodohannya. Dia cuma perlu bilang ke Naufal dan udanya itu akan mengatur semuanya. Kebebasan sudah di depan mata dan Naura bisa kembali mendekati pria manapun yang dia mau.
Bukankah harusnya Naura merasa lega? Keinginannya selama dua setengah bulan ini sebentar lagi terkabul. Dia akan lepas dari Rafisqi selamanya. Dia tidak perlu bertemu pria itu lagi. Urusannya dengan Rafisqi selesai sampai disini.
Sebuah isakan lolos dari sela bibirnya, bersamaan dengan setetes air mata yang jatuh ke pipi. Naura buru-buru menghapusnya, tidak ingin memancing perhatian dari orang-orang yang berlalu lalang. Namun kenapa semakin diseka, air matanya malah mengalir semakin deras?
***
Nggak tahu kenapa, aku secara pribadi suka sama chapter "Welcome, Karma" ini
*ketawa jahat*Makasih udah baca sampai sinii ^^
Salam sayang,
MTW
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Impossible Possibility
RomancePernah dengar istilah "First Love Never Dies"? Naura Alraisa Anhar sudah paham betul makna istilah yang satu itu. Selama belasan tahun, ingatan tentang cinta pertama itu selalu melekat di pikirannya. Tidak pernah mati dan mengikutinya ke mana-mana...