"Rafi. Lama nggak ketemu," sapa Ditya seperti biasa. Mungkin pria itu memang heran melihat Rafisqi disana, tapi dia bisa mengendalikan ekspresinya dengan baik. Tidak seperti Naura yang sudah berubah jadi patung berekspresi shock.
"Hai, Dit." Rafisqi balas menyapa Ditya. Pria itu benar-benar mengabaikan Naura.
"Silahkan duduk. Mau pesan-"
"Tidak perlu," potong Rafisqi. Pembawaannya yang tenang mulai tidak sejalan dengan ekspresinya yang terlihat dingin dan serius.
Naura kenal ekspresi itu.
Rafisqi memasang wajah yang sama tepat sebelum dia melempar ponsel Naura ke laut. Pertanda buruk. Naura merasakan urgensi untuk membawa Rafisqi jauh-jauh, jauh dari café, dan pastinya jauh dari Ditya.
"Aku cuma mau jemput Naura."
Firasat buruk Naura menjadi nyata beberapa detik kemudian.
"Jemput?" Ditya menoleh pada Naura, yang memutuskan untuk langsung mengalihkan pandangan.
Sekarang Rafisqi malah tertawa kecil. "Jangan heran," serunya dengan nada bercanda. "Sudah tugasku, kok."
"Begitu?" Ditya tetap tersenyum kalem meski jelas-jelas dia terlihat tidak mengerti.
"Oh, aku belum bilang ya?" Nada suara Rafisqi mulai terdengar berbahaya di telinga Naura.
Jangan. Jangan katakan.
Naura sudah panik sendiri dan dia benci dirinya yang tidak tahu harus berbuat apa.
"Aku tunangannya Naura."
Dan Rafisqi mengatakannya. Dari sekian banyak orang, dia malah terang-terangan mengatakan itu tepat di hadapan Ditya. Demi apa? Naura merasa separuh nyawanya hilang tertiup angin. Rasanya ingin kabur saja dari sana.
"Begitu?" Ditya mengulangi kata yang sama. Dia lagi-lagi menoleh ke Naura, yang kali ini tidak lagi bisa mengelak. Bagaimana mungkin dia bisa mengalihkan pandangan kalau saat ini Ditya sedang memandanginya sambil tersenyum tulus?
"Jadi orangnya kau, Raf?" Ditya mengembalikan pandangan pada Rafisqi, tertawa dan menepuk-nepuk bahunya pelan. "Dunia sempit sekali. Selamat untuk kalian berdua."
Naura terdiam.
Aah, lagi-lagi seperti ini, erang Naura dalam hati.
Tapi kali ini dia memutuskan untuk tersenyum pada Ditya. "Terima kasih, Dit."
Bodohnya kau, Naura. Jatuh ke lubang yang sama berkali-kali.
Untuk pertama kalinya sejak dia datang, Rafisqi bicara pada Naura. "Pergi sekarang? Uda bilang harus sampai rumah sebelum jam 8." Tanpa diminta, Rafisqi meraih tas kertas berisi kado-kado yang ada di samping kursi Naura.
Ternyata orang suruhan udanya adalah Rafisqi.
"Oke." Naura mengangguk dan mengambil tasnya yang ada di atas meja. "Aku pulang dulu, Dit."
"Ya," sahut Ditya. "Hati-hati di jalan."
Tanpa berbalik ataupun berkata apa-apa lagi, Naura mengikuti Rafisqi keluar café.
Rasanya seperti mengulangi kejadian waktu di taman bermain. Merasakan harapannya melambung tinggi hanya untuk dijatuhkan sekeras-kerasnya ke dasar jurang. Tadinya Naura merasakan harapan baru saat Ditya bilang kalau Arin hanya adiknya. Namun harapan tersebut hancur dalam sekejap waktu pria itu mengucapkan selamat padanya dan Rafisqi dengan tanpa beban.
Tapi kali ini Naura akan memastikan harapan tersebut tetap berada di dasar jurang. Dia tidak akan menangisinya lagi karena semua akhirnya jelas.
Ditya memang tidak pernah mencintainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Impossible Possibility
RomancePernah dengar istilah "First Love Never Dies"? Naura Alraisa Anhar sudah paham betul makna istilah yang satu itu. Selama belasan tahun, ingatan tentang cinta pertama itu selalu melekat di pikirannya. Tidak pernah mati dan mengikutinya ke mana-mana...