2. Curse and Destiny

47.2K 4.2K 162
                                    

Chapter 2 is here!

Happy reading all~

"Jadi kalian satu SMP?" Tante Oni jelas merasa terkesan dengan kebetulan itu. "Dunia sempit sekali."

Naura hanya tersenyum kecil. Dia sempat mempertanyakan kedekatan antara papanya dan om Evan, karena mereka tidak saling tahu kalau para anak pernah satu sekolah. Namun sejurus kemudian dia teringat dengan betapa tingginya jam terbang dua pria super sibuk itu. Pasti ada bisnis lain yang lebih penting dibanding membicarakan hal kecil, seperti kehidupan para anak.

"Kami juga baru tahu," tambah bundo sambil menoleh pada Rafisqi yang duduk di samping Dharma. "tapi syukurlah. Berarti ini bukan pertemuan pertama?"

"Bukan, Tante."

Bagaimana cara membatalkannya?

Naura kembali sibuk dengan pikirannya sendiri untuk mencari jalan keluar.

"Lalu, kalian dulu berteman?" Sekarang giliran Dharma yang mewawancarai Naura.

Berteman? Cih!

Namun Naura tidak mungkin mengucapkan kata hatinya barusan secara blak-blakan. "Nggak juga, Mas," jawabnya sambil tersenyum ala anak baik-baik. "Tapi siapa yang tidak kenal Rafisqi? Satu sekolahan merasa kehilangan pas dia pindah ke Amerika di pertengahan kelas tiga." Kalimat terakhir Naura gunakan untuk menyindir.

"Berarti kalian baru ketemu lagi sekarang?" Naufal ikut nimbrung.

Naura tersenyum tipis. Sialnya, iya.

"Ah! Kau yang sering jadi perwakilan PMR waktu rapat dengan OSIS?"

Naura nyaris tidak percaya seorang Rafisqi mengajaknya bicara secara langsung.Sejujurnya, dia juga tidak menyangka kalau Rafisqi ingat hal itu. Sebagai balasan, dia mengangguk.

"Lalu kau kan ..."

Naura mulai berkeringat dingin mengira-ngira apa yang akan diucapkan pria itu selanjutnya. Dia melihat Rafisqi sedang memasang tampang berpikir. Pria itu tidak tahu saja kalau Naura sudah melihatnya dengan tatapan membunuh.

Sekarang apa? Apa dia akan bilang aku dulu menyukainya? Lalu dia menolakku dengan sadis?

"... dulu di kelas B. Benar?" lanjut Rafisqi dengan sikap santai yang sangat menyebalkan di mata Naura.

Namun setidaknya Naura bisa menghela napas lega. Untuk sesaat dia aman.

"Benar. Tidak seperti kau yang selalu bertahan di kelas A."

Diana menyikutnya dari samping dan Naura akhirnya sadar kalau nada bicaranya barusan terkesan tidak sopan.

"Dan menurutku itu keren!" tambahnya cepat-cepat sambil memaksakan sebuah senyum.

"Makasih." Rafisqi balas tersenyum tipis.

Sementara itu di dalam hati Naura, Aku memujinya? Demi apa?

"Ngobrolnya lanjut nanti saja." Papa menginterupsi. "Makan malam dulu, ayo!"

Semuanya beranjak menuju ruang makan. Naura berjalan paling belakang bersama Naufal dan kesempatan itu dia manfaatkan untuk melayangkan protes.

"Uda, aku enggak mau tahu! Pokoknya perjodohan ini tidak boleh dilanjutkan!"

"Loh? Kenapa? Fiqi kan teman SMP-mu?" Naufal terlihat bingung. "Artinya dia bukan orang asing lagi dong. Harusnya lebih mudah."

Naura memutar bola mata malas. Mudah apanya? "Uda nggak tahu saja-"

"Naufal? Naura? Ada apa?"

"Nggak apa-apa, Bun." Naufal menyahuti pertanyaan bundo, lalu kembali menoleh ke Naura. "Kita lanjutkan nanti, ya."

[End] Impossible PossibilityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang