Tamparan itu sukses membuat kepala Naura tertoleh ke samping. Perih dan panas menyebar cepat di permukaan kulitnya. Sensasi berdenyut menyusul tidak lama kemudian dan tanpa perlu bercermin pun Naura bisa membayangkan semerah apa pipi kirinya sekarang.
Kejadian barusan tentunya menarik perhatian pengunjung cafe tempatnya berada. Namun Naura tidak peduli lagi. Dia cuma mau menertawakan kemirisannya. Padahal belum sampai satu jam yang lalu dia menampar orang, siapa kira balasannya bakal datang secepat ini?
"Egi!"
Gilang ikut berdiri di sebelah gadis berambut pendek yang baru saja memberikan tamparan. Kedua tangannya menahan bahu gadis itu sementara tatapan kecewanya tertuju ke Naura. Naura mengenal Gilang cukup lama untuk tahu kalau pria itu juga sedang berusaha menahan emosinya sendiri.
Naura menunduk, tidak sanggup lagi menatap dua orang di depannya.
Setelah membaca curhatan Gilang di grup, mengenai pertengkaran hebat antara dia dan tunangannya, Naura memutuskan bercerita sejujurnya pada dua sejoli itu. Tentu saja Egi, tunangannya Gilang, langsung berang waktu tahu siapa yang membuat pernikahan yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari jadi tertunda.
Rafisqi memang pihak yang harus disalahkan, tapi bagaimana pun Naura juga terlibat. Dia ikut merasa bertanggung jawab dan tamparan barusan memang pantas diterimanya.
"Maafkan aku." Mengabaikan pipinya yang semakin berdenyut sakit, Naura mengulangi dua kata itu untuk yang kesekian kalinya sejak sepuluh menit terakhir.
"Sudah kubilang kan!?" teriak Egi sambil menepis lengan Gilang dari bahunya. "Aku nggak suka melihatmu masih berhubungan sama mantan! Sahabatan pula! Sekarang lihat! Tunangannya cemburu 'kan?"
Naura yang mendengar itu lagi-lagi hanya bisa membatinkan kata maaf.
"Sayang, tenang dulu. Ini bukan salah Naura. Tunangannya memang agak posesif." Gilang terlihat berusaha keras menenangkan gadis itu.
"Dia juga salah!" Tatapan murka Egi tertuju ke Naura. Seandainya tidak ada Gilang, mungkin dia tidak akan ragu menerjang meja yang membatasi mereka dan menjambaki rambut Naura sekuat tenaga. "Aku benci orang-orang seperti kalian! Memanfaatkan uang dan kekuasaan untuk membuat orang lain susah. Aku benci! Kau pikir mempersiapkan pernikahan itu gampang!?"
Melihat Egi yang marah-marah sambil berurai air mata membuat penyesalan Naura bertambah berkali lipat. Dia bahkan tidak berniat mengatakan apa pun untuk membela diri.
"Jangan begini," tukas Gilang lembut, masih berjuang keras untuk menenangkan tunangannya. "Kita cari jalan keluarnya."
"Kau membela mantanmu!?" Egi semakin meradang. Telunjuknya mengarah ke Naura. "Lang, mulai sekarang jangan berhubungan dengannya!"
"Tapi-"
"Aku atau mantanmu? Kalau kau pilih dia, pernikahan kita batal!"
Naura ikut kaget. Dia tidak percaya Egi sampai hati memberi Gilang pilihan seperti itu.
Setelah mengatakannya, gadis berambut pendek itu melangkah pergi, sama sekali tidak mengindahkan Gilang yang menyerukan namanya.
"Sebentar, Ra."
Gilang berlari menyusul Egi, meninggalkan Naura dengan beberapa pasang mata yang masih memperhatikannya. Bagus. Orang-orang pasti mulai berpikir kalau dia adalah seorang mantan yang melakukan comeback dan banting setir menjadi pelakor. Namun rasa malunya karena menjadi tontonan berhasil tertutupi oleh rasa marah. Pada Rafisqi dan pada dirinya sendiri.
Mereka baru saja menghancurkan kebahagiaan orang lain.
Seseorang duduk di depannya, tepat di kursi yang tadi ditempati Egi. Naura cuma bisa memaksakan senyum pada David yang sedang memandanginya dengan sorot simpati. Dia tidak tahu pria itu masih ada disana. Padahal tadi sudah disuruhnya pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Impossible Possibility
RomancePernah dengar istilah "First Love Never Dies"? Naura Alraisa Anhar sudah paham betul makna istilah yang satu itu. Selama belasan tahun, ingatan tentang cinta pertama itu selalu melekat di pikirannya. Tidak pernah mati dan mengikutinya ke mana-mana...