"Itu apa?"
"Surat. " Tangan kanan Naura masih mengulurkan sebuah amplop putih, yang sejak tadi cuma dipandangi Gilang dengan tatapan curiga.
"Aku tahu itu surat." Gilang meraih amplop tersebut dan mengamatinya. "Surat cinta? Sorry, Ra. Pantang balikan sama mantan."
Naura langsung menghadiahkan jitakan untuk pria yang duduk di sebelahnya itu.
"Cuma bercanda!" Gilang bersungut-sungut sambil mengelus pelipisnya.
"Tolong serius, Lang. Biar cepat. Aku nggak mau kepergok, terus ada yang lapor ke Egi." Atau lebih gawat lagi, ketahuan mata-matanya Rafisqi.
Sambil berpikir begitu, Naura kembali memindai sekelilingnya. Dia sengaja mengajak Gilang ke taman paling ujung yang ada di dekat kamar jenazah. Seperti biasa, taman itu sangat sepi. Awalnya Naura sempat heran dengan keputusan rumah sakit untuk membuat taman di dekat ruangan beraura seram itu, tapi sekarang dia agak bersyukur. Tempat itu cukup menjamin privasi dan sejauh ini kondisi masih aman. Disana cuma ada mereka berdua dan tidak mungkin ada yang menguping selain para makhluk tak kasat mata.
"Yang dibilang Egi waktu itu ... tolong abaikan." Gilang menunduk, terlihat serius memperhatikan amplop di tangannya. Namun Naura tahu kalau pria itu sedang berusaha menghindari tatapannya. "Aku tidak akan menjauhimu."
Rasanya seperti deja vu. Naura pernah bilang hal yang sama pada Rafisqi, tentang tidak akan menjauhi Gilang. Mendengar Gilang juga berkata begitu tentangnya sukses membuat mata Naura berkaca-kaca karena terharu.
"Disuruh pilih antara tunangan dan sahabat itu konyol, Ra! Aku nggak bisa!" lanjut Gilang dengan nada frustrasi. "Tapi tenang. Aku pasti bisa bujuk Egi."
Secara tidak langsung Gilang menyampaikan kalau dia masih belum bisa menenangkan Egi. Padahal sudah lewat tiga hari sejak kejadian itu.
"Lalu apa-apaan ini," Gilang memutar tubuh menghadap Naura dan menggoyang-goyangkan amplop di tangannya. "Nona Anhar?"
"Surat rekomendasi," balas Naura. "Kau bisa kerja di rumah sakit keluargaku."
Gilang tersenyum tipis. "Kemana Naura yang paling anti dengan memanfaatkan-nama-keluarga-demi-tujuan-pribadi?"
Pertanyaan barusan memang menohok, tapi Gilang tidak salah. Selama ini Naura memang paling anti menggunakan nama besar keluarganya dalam kondisi apa pun. Dia bahkan lebih memilih bekerja di rumah sakit lain dibanding rumah sakit milik keluarganya. Dia tidak mau dianggap "masuk kerja karena koneksi". Kata "Anhar" di belakang namanya terlalu berat untuk dibawa-bawa dan Naura lebih memilih menyembunyikannya dari sebagian besar orang. Awalnya dia cuma meniru Naufal, tapi lama-kelamaan dia memahami alasannya. Seandainya semua orang tahu kalau mereka berasal dari keluarga terpandang, yang punya perusahaan dan rumah sakit dimana-mana, maka ucapkan selamat tinggal pada hidup normal dan katakan selamat datang pada para penjilat yang bersembunyi di balik topeng.
Waktu SMP dia masih bisa bertahan untuk tidak merengek seperti anak manja dan melapor agar pem-bully-nya dihukum berat, tapi sekarang berbeda. Kalau Rafisqi menggunakan kekuasaannya untuk mengirim Gilang jauh-jauh, maka Naura akan memakai wewenangnya demi membuat Gilang tetap tinggal. Untunglah Gilang punya track record yang cemerlang sebagai dokter muda. Hal itu memudahkan Naura untuk meminta rekomendasi dari pamannya yang menjabat direktur Rumah Sakit Anhar Medika.
"Jangan melanggar prinsipmu demi aku." Gilang menaruh amplop tersebut di atas pangkuan Naura tanpa sempat membuka dan melihat isinya. "I'm okay."
"Tapi ... ini salahku." Naura kembali mengulurkan amplop yang masih tersegel itu. "Tolong diterima, Lang. Disana Rafisqi tidak akan bisa mengusikmu. Kau tidak harus pergi ke rumah sakit yang jauh itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Impossible Possibility
RomancePernah dengar istilah "First Love Never Dies"? Naura Alraisa Anhar sudah paham betul makna istilah yang satu itu. Selama belasan tahun, ingatan tentang cinta pertama itu selalu melekat di pikirannya. Tidak pernah mati dan mengikutinya ke mana-mana...