Betapa indah sore itu
Kau riang gembira menunggu
Aku berpulang dengan senyum palsu dan lesu
Tetiba raut wajahmu memasam. Ah, sungguh
kau adalah perempuan yang paling paham
dan perhatian akan cerita yang didiamkan binar mataku, selaluKita susuri sore itu perlahan-pelahan
Merasakan dekapan angin menilisik masuk
melalui sela-sela jaket. Senja datang malu-malu saat itu. Ia berteman awan-awan kecil di kanan-kirinya
Kau membisik di telingaku tentang senja hari itu, sambil melingkarkan tangan
di pinggangku kau tersenyum
dan menyandarkan kepala di bahu kiriku
Memelototiku yang memfokuskan pandangan ke jalan di depan."Senja itu ibarat perumpamaan dirimu. Menurutku!" katamu. "Karena?" tanyaku seperti penasaran lagi terlihat serius.
"Iya. Senja itu ibarat perumpamaan dirimu. Datang tak berkabar. Ditunggu dan saat hadir tak tentu juga dalam keadaan baik."
"Jadi kamu menginginkanku hanya pada saat baik saja?"
"Tidak. Aku menginginkanmu selalu. Aku menyukai hal-hal aneh darimu."
Sesekali kucuri pandang
Memperhatikan kibasan rambutmu yang dibuai sepoi angin
Menelaah dalam matamu yang segaris itu
Seakan merahasiakan sesuatu yang kau pun tak tahu mesti mengucapkannya bagaimanaTenanglah, Puan. Sekalipun raga kita terasa sangat akrab. Aku tak akan memaksa apa-apa darimu. Aku hanya suka dengan keadaan yang menjadikan kita begitu dekat. Meski nyatanya kita benar-benar dipermainkan sekat
RilloPaduppai
Perbatasan Makassar-Gowa
21.05, November5-17
KAMU SEDANG MEMBACA
DELUSI & EKSPEKTASI
PoesiaSang Imajiner tak pernah benar-benar ada. Ia tak hidup dalam apa yang manusia sebut realita. Betah berlama-lama dalam lubang pengharapan. Mengais kepeduliannya dalam mimpi-mimpi. Begitu nyata dalam sebuah paralelisasi. Begitu rajin menampakkan delus...