Aku termangu sore ini. Kuracik kopi dengan pemanis yang berlebihan. Sungguh egois. Seakan tak percaya lagi akan keseimbangan.
Kau buat tak berdaya, aku rebah dijatuhkan waktu. Tertelan sunyi saat jauh-jauh memikirkanmu. Terbujur kaku melemah dikoyak suasana. Lalu-lalang kau kitari isi kepalaku, berbisik malu-malu seakan terasa nyata bagiku. "Masihkah memikirkanku? Apa tak ada yang terasa nyata selain hadirku bagimu?" Sungguh, buruk sekali, bahkan imajinasiku berusaha menyudutkanku. Berada di sudut ruang yang tak seorang pun menginginkan kehadiranku.
Tak ayal, senja kurasa berada di ambang pilu sore ini. Menantiku mengucap sapa sebelum ia jatuhkan diriku. "Sedih lagi? Dia lagi?" katanya. Tentu saja. Aku tak berucap apa-apa. Selain tatapan kosong sebagai penanda yang membenarkan perkataannya.
Aku merasakan sesal menunggu senja kali ini. Tetiba ingin teriak dan mengeluarkan khayal yang tertampung dan beriak untuk disampaikan. Senja tak menunjukkan manifestasi kebaikan akhir-akhir ini. Senja nampak abu-abu.
"Apakah saat memikirkanmu aku berpikir untuk apa semua itu? Apakah saat tak berbuat apa-apa tentangmu aku memikirkan alasan untuk itu? Apa kau berpikir untuk tidak memikirkanku saat ini? Apa kau pikir aku betah merasa tersakiti selain bukan kau jadi alasan semua itu?"
RilloPaduppai
Samata, Gowa 16.15
November18-17
KAMU SEDANG MEMBACA
DELUSI & EKSPEKTASI
PoetrySang Imajiner tak pernah benar-benar ada. Ia tak hidup dalam apa yang manusia sebut realita. Betah berlama-lama dalam lubang pengharapan. Mengais kepeduliannya dalam mimpi-mimpi. Begitu nyata dalam sebuah paralelisasi. Begitu rajin menampakkan delus...