/1/
"Ada jeda di antara pagi menuju malam. Ada saat di mana senja memulai timbul lalu tenggelam. Ada jarak yang terbentang dari kota menuju rumah." Bocah itu terisak tangisnya, ratap menjelas pada wajahnya yang sendu. "Mungkin ia rindu bapak-mamanya!" Kaurindu, bukan? Kita sama. Kauhalang rindu yang bejat itu, bagaimana bisa?
/2/
138KM menuju rumah. Tak masalah. Empat jam membakar diri di perjalanan. "Ibu masak apa hari ini?" lambat laun hari makin imajiner sebab rindu. Anak-anak rantau menanggung malu segera pulang dan tak membawa apa-apa-- teh panas dan sore bersama bapak, tawa riang menuju senja di selasar, tenang dan berkesan.
Akupulang. Harus pulang. "Silakan, hati-hati, Tuhan bersamamu, semoga!" bocah itu riang, menyeka pipi dan mengataiku pecundang!
RilloPaduppai
Gowa, Januari02-18
KAMU SEDANG MEMBACA
DELUSI & EKSPEKTASI
PoesiaSang Imajiner tak pernah benar-benar ada. Ia tak hidup dalam apa yang manusia sebut realita. Betah berlama-lama dalam lubang pengharapan. Mengais kepeduliannya dalam mimpi-mimpi. Begitu nyata dalam sebuah paralelisasi. Begitu rajin menampakkan delus...