Kau tengah berbaik hati. Sepertinya. Menyelipkan setangkai bunga bahagia di sakuku. Entah gerangan apa artinya. Meski bunga itu terlihat layu tak diperdulikan. Kau terlihat ceria sore tadi. Melempar senyum kepadaku, riuh memanggil-manggil namaku, bahkan kau sempat melambaikan tangan ke arahku. Apa pula maksudmu itu?
Tak ayal aku kembali berpikir. Ingatanku mengeras perihal apa yang kau lakukan akhir-akhir ini. Dilema jadi makanan penutupku malam tadi. Ah dasar kau, betina! Kau beda dari hari kemarin. Sedetikpun tak kau rasa senang saat menatapku. Wajahmu memasam bak gulai yang berhari-hari t'lah ditinggalkan dan tak dipanasi. Mimikmu bergelagat seakan-akan bertemu hantu.
Kapan lagi kau 'kan seramah ini padaku? Akan kutunggu waktu itu. Akan kuceritakan padamu sekisah tentang gunung-gunung dan riaknya laut. Akan kuajak kau menikmati sepotong senja, berteman kopi pekat dari biji kintamani ramuanku. Akan kubuktikan padamu bahwa rasaku tak memiliki tanggal kadaluwarsa. Kamu mau kan, Chels?
Tak usah terburu-buru. Aku tak menuntutmu untuk menyukaiku. Kau bahkan hidup di duniaku yang lain. Pada saat-saat lelapnya manusia, pada waktu-waktu sepi menyambangi sinar bulan, saat itu juga kau datang menyandingku, mengajakku bertamasya menuju taman imaji.
Semua ini untukmu. Untukmu yang kerap tersenyum manja di benakku, untukmu yang menggetarkan hatiku di saat pagi, untukmu yang membuatku resah saat nyatanya kita kembali tersekat.
Pulanglah, ke sini. Saat dunia merenggut senyummu itu. Ikutlah denganku, kita susuri alam yang benar-benar nyata yang tersimpan dalam diam. Biarkan hati dan rasaku yang berbicara. Lalu kita rebut kembali senyummu itu.
RilloPaduppai
Makassar, November13-17
KAMU SEDANG MEMBACA
DELUSI & EKSPEKTASI
PoetrySang Imajiner tak pernah benar-benar ada. Ia tak hidup dalam apa yang manusia sebut realita. Betah berlama-lama dalam lubang pengharapan. Mengais kepeduliannya dalam mimpi-mimpi. Begitu nyata dalam sebuah paralelisasi. Begitu rajin menampakkan delus...