Jalan malam yang ketiga kali, mungkin kalau niat dihitung. Disini Jimin dengan senyuman cerahnya jalan santai disamping Suga.
Kenapa jalan kaki terus?
"Tunggu motorku bener, nanti kita jalan ke tempat lain yang lebih jauh,"
Suga senyumnya tipis, ya jelas tiba-tiba Jimin celetuk hal begitu. Kan lucu, apalagi diantara keheningan.
"Bebas sih, aku lebih suka jalan kaki,"
"Pantas langsing,"
"Kata siapa?"
"Kata Jimin,"
Jimin tunjuk dirinya sendiri, Suga berubah ekspresi jadi datar. Tangannya melayang sedikit pukul lengan Jimin gak niat, hasilnya malah dorong cowok itu menjauh dari posisinya.
Jimin ketawa, "Bercanda, kamu gendut berarti,"
"Terserah, aku makan enak,"
"Sombong, temanmu kesusahan makanan ini. Traktir manusia pucat terus setiap jalan malam,"
"Gak ikhlas?"
"Canda, biru."
Suga mengalihkan pandangan, kedua tangannya berkait dibelakang punggungnya. Jimin memperhatikan sejenak,
Rambut biru dengan background lampu jalanan malam. Seni berani sumpah.
"Suga,"
"Ya?"
Beralih saling tatap, Jimin berhenti sejenak dari langkahnya. Dan Suga reflek ikut berhenti, raut tanda tanya.
Jimin pandangannya kosong, tapi menatap jauh kedalam mata. Heran kan, sebelum tanya lebih lanjut, Suga melangkah lebih dekat.
Jarak lima puluh senti, Jimin mau mati.
"Kenapa? Baik-baik aja kan?"
Pertanyaan gamblang. Dan Jimin masih bungkam, Suga didepan dengan rambut biru kesukaannya, dan jarak terbilang dekat. Masih beda satu tangan ditekuk sembilan puluh derajat.
"Setiap jalan begini, kita kasih nama jalan malam, ya?"
Suga reflek memiringkan kepala, Jimin memejamkan mata sekilas karena kesalㅡ bukan itu yang mau dia bilang tolol.
"Oke? Jalan malam namanya, nama dari Jimin."
"Ya, ada lagi tapi."
"Apa lagi? Dua menit, jagung bakar nanti habis."
Lebih rileks dengan kata jagung bakar, Jimin reflek terkekeh, teringat apa yang mau dibilang tadi rasanya terlalu cepat. Apalagi untuk birunya, yang berniat jadi tempatnya untuk serius.
"Gak jadi, ayo lanjut jalan,"
Jimin melenggang pergi duluan, Suga mengernyit aneh, lalu susul langkah Jimin secepat mungkin dan beralih pukul pundak cowok itu sedikit keras.
"Ayo pacaran," ㅡhati Park Jimin jam 09.45 pm
;
"Beli satu?"
"Iya, kenapa?"
"Gak makan juga?"
"Kenyang liatin orang makan,"
Suga berubah ekspresi sedikit mencebik pegang jagung bakarnya ditangan, Jimin reflek ketawa, "Apa? Aku harus beli juga?"
"Kurus kering, makan yang banyak,"
Dengan kata-kata itu Suga melenggang pergi duluan kearah kanan, Jimin terkekehnya manis sekali, gelengin kepalanya sekilas, sebelum menghadap mbak pedagangnya lagi,
"Pedas manisnya satu lagi ya."
;
"Beli juga akhirnya,"
Jimin mengedikkan bahu, gigit jagungnya santai, "Ada yang cerewet suruh makan yang banyak,"
"Siapa cerewet?"
"Rambutnya biru, terus tenggelem di mantel hitamㅡ"
Suga kakinya bergerak tendang paha manusia disampingnya, lalu jalan semakin cepat. Jimin meringis awalnya, tapi beralih menyusul dibelakang birunya,
"Oi rambut biru,"
Gak ada jawaban, Suga masih melangkah sambil gigit jagungnya yang sisa semakin sedikit.
"Oi, pacar."
Dan Suga berhenti, toleh kebelakang, ekspresinya datar. Masih sama seperti biasa. Jimin ikut berhenti, tangan masuk kedalam kantong dan pandangannya beralih kearah lain,
"Keceplosan kan, makanya jawab aku panggil,"
"Siapa pacar?"
"Ada tadi, yang rambut biru jalan didepan mata. Bukan pacar sih sebenarnya,"
Jimin lancar jaya omongannya, tapi Suga balas mengernyit dan rasa bumbu jagung itu hilang seketika di indera pengecap.
"Aneh-aneh."
"Iya, kamu belum jadi pacarku kok, Suga."
Jimin senyumnya seperti biasa, Suga beralih mengalihkan pandangan kedepan. Tidak ada jawaban, tapi yang jelas. Ada rasa hangat menjalar dari hati birunya yang manis.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Ea, belom ditembak boz.