Manisnya

10.1K 1.5K 371
                                    












Semanis malam, semerdu gelapnya dunia.



"Kenapa biru tua?"

"Buat warna pemandangan malam,"

"Oh."

Kembali terdiam sambil melipat tangan di dada, memperhatikan pemuda yang sibuk duduk manis depan kanvas, tangan bergerak serius memegang kuas.

Jimin tersenyum sedikit, niatnya mendekat tapi urung. Nanti diganggu berakhir galak lagi, susah. Tapi sayang.

Ah gamblang, bahkan kata-kata hiperbola kurang bisa deskripsi jelas bagaimana rasa sayang Jimin untuk seseorang di depannya.





Tadi setelah tutup cafe, Suga seketika memegang lengan baju, berkata ragu ketika Jimin tanya 'Kenapa?'

Dan jawaban Suga saat itu memang buat senyuman Jimin nyaris pecah saking senang.

"Melukis, di tempatmu. Boleh?"

Jimin gak mungkin menolak sih, berakhir disini juga pada akhirnya. Di forum komunitas pelukis freelancer yang kosong, anggotanya memutuskan pulang saat jam delapan tadi.

Beruntung juga, Jimin dipercaya bawa kunci. Dan sesuka hati menggunakan kanvas baru untuk pemudanya.






"Gambarmu hampir mirip kota cafemu. Sengaja?"

Jimin tidak tahan buat diam, keheningan memang temannya. Tapi sekarang ada pujaan hati, tidak mungkin Jimin memilih diam daripada pemudanya tersayang, nanti cemburu. Susah lagi.

Suga terdiam sejenak, sedikit memiringkan kepala. Kuas yang dipegangnya berhenti mengoleskan cat diatas kanvas, tidak balas menatap Jimin.

"Gak tau, sengaja gak sengaja." Suga mengedikan bahunya cuek, kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda.

Jimin tergelak, "Seni sekali ya, berbuat sesuatu seringnya tanpa alasan."

"Memang begitu kan dari dulu."

"Termasuk minta selesai kemarin ya?"



Suga tidak menjawab, mengoleskan titik cat kuning diatas hamparan warna biru tua yang menyerupai dasar.

"Bintang?" Suara Jimin terdengar lebih dekat, hembusan nafasnya terasa di samping pipi. Mint, Suga hafal betul. Apalagi tangan Jimin merambat, merangkul pundak manisnya lembut.

Afeksinya sederhana, tapi Suga berhasil memerah. Kan gila. Keduanya merasakan pipi masing-masing bersentuhan, lembutnya berbeda.

"Maunya kunang-kunang, tapi kamu bilang bintang," jawaban Suga santai, berceletuk sambil menata titik kuningnya lebih rapi.

Bisa dibayangkan gambar Suga tidak terlalu bagus, sekedar goresan sketsa dengan cat. Dibuat seolah tidak niat, seberantakan mungkin.

Persis jiwa Suga saat ini yang gugup nyaris mati rasanya. Setumben ini untuk ukuran seorang Suga. Kubilang padahal sekedar rangkulan dari Jimin yang hangat sekali, apalagi rambut halus Jimin yang terasa membelai pipi putih pucatnya.


"Kunang-kunang macam apa ada di dekat rumah tengah kota? Di tengah langit pula," Jimin berujar menilai, jemarinya menunjuk titik kuning yang dibuat Suga.

Suga merengut sekilas, "Kamu lumayan ya,"


Jimin sedikit menoleh, sialan hidungnya bersentuhan sedikit dengan pipi. Suga gak menoleh, bisa merah telak nanti. Berakhir malu sendiri, gak mau.

"Lumayan apanya? Ganteng?"

"Lumayan kejam,"


Iya Suga santai, celetuk sambil mengoles cat hijau terakhir diatas kanvas untuk warna tanaman. Jimin menatap datar Suganya dari samping.

"Kejam kenapa, Sugaku."

"Kejam menilai lukisan orang," Suga meletakkan kuasnya, Jimin bergerak menjauh karena Suga beralih balik posisi menghadap dirinya.

"Oh, sakit hati kunang-kunangnya aku bilang bintang?"

"Gak sakit hati," Suga geleng kepalanya, "Tapi baru sadar sesuatu,"


Jimin merasa pembicaraannya serius, apalagi Suga menatap lurus. Bening sekali, matanya memang setajam kucing. Ada raut wajah sendu yang terlihat polos, dibingkai poni rambut hitamnya yang tergerak karena angin dari jendela.

Suga semanis ini, otaknya melayang teringat kejadian suatu malam dimana mereka berdua jadi satu.

Oh, sialan.


"Merah tuh," ini Suga celetuk sambil tahan tawanya sedikit, jemarinya terulur menarik kemeja hitam Jimin untuk mendekat.

Jimin menghela nafas, menggaruk belakang kepalanya sambil sedikit merunduk. Melupakan maksud kata Suga sebelumnya, tentang sadar apanya.

Sebelum mencium halus bibir pemudanya, didepan kanvas dengan sinar bulan dari jendela. Bersama dengan angin, beberapa hasil lukisan Jimin yang dipajang rapi jadi saksi, ketika keduanya memilih ciuman lebih dalam.

Bayangannya indah, ketika ada siluet tangan Suga sedikit naik memeluk leher Jimin yang sibuk mencium aktif.




































;

"Sadar apa kamu?"

Langkah menuju gedung apartemen dekat sekali, sekitar sepuluh langkah lagi. Sementara genggaman keduanya semakin erat, iya gak mau lepas.

Suga alisnya naik sebelah, "Sadar apa?"

Jimin mengedikkan bahu, "Tadi ada bilang sadar sesuatu,"

"Oh, sadar itu."

"Itu?"

Jimin penasaran, tersenyum tipis. Suga memilih mengalihkan pandangan kearah lain,


"Sayang kamu, Jimin."



Sialan, gamblang mati. Jimin lantas terkekeh puas, matanya menyipit nyaris hilang saking lebar tawanya. Mentertawakan lucunya jujur seorang Suga yang jarang sekali, bahkan sumpah mati manis.

Iya, Suga rambut hitam manisnya keterlaluan. Sadar kan?

"Sadar sayangnya baru tadi ya?"

Pintu lift terbuka, Suga geleng sekilas kepalanya sambil melangkah masuk. Agak sedikit menarik tangan Jimin, pemuda itu masih puas menahan tawa. Setan.

"Gak tadi,"

"Lalu kapan?"

"Jimin berisik,"

"Iya kamu manis,"

Beruntung sama sekali gak ada orang dalam lift. Mengingat hari sudah malam dan siap menyambut esok pagi.

Jimin diam lama, tawanya netral sekarang. Nafasnya stabil, gak ketawa lagi. Nanti marah lagi manisnya, susah.

"Jimin,"

Suara rendah suara surga, begitu hiperbolanya seorang Jimin. Lantas menoleh ketika nama dipanggil, kecupan halus di hidung jadi hadiah.


"Ucapan, selamat malam? Tidur di kamarmu ya."













Hoi, Jimin bahagia telak.
























............
Padahal aku upnya sore. Hng. Soalnya draft semalam si. Hng.
Ya gapapa anggap ucapan selamat sore menjelang malam ya, manisku.
Untuk semua pesan manis yang dikirim lewat pesan wp ataupun dm instagram, terima kasih banyak ya huhuhu
Benar moodbooster sekali dan penyemangat hari, maaf untuk komentar yang belum aku balas kapan hari, aku sayang kalian kok💕

Charm ㅡpjm x mygTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang