"Cinta fisik itu munafik."
Gumam seseorang, dan Hoseok berhasil menghentikan aktivitas meracik biji kopi di hadapan. Menoleh dengan tatapan bingung.
"Bilang apa lo?"
"Malas ulang."
Mari dilihat dari sisi Suga. Sudah lewat seminggu semenjak kandasnya hubungan biru dengan seorang Jimin. Tidak ada yang berubah, hanya sofa pojokan yang selalu kosong tiap dirinya melirik.
Bukan berarti mengharapkan, hanya gak terbiasa. Suga mendoktrin pikirannya sendiri dengan ego, nurani tersembunyi dan bahkan tidak terdengar. Percuma.
"Yoon, lo kesini bukan minta pencerahan soal putus cinta lo sama Jimin kan?"
"Buat kopi kok,"
Hoseok menghela nafas, meletakkan racikan biji kopinya sedikit tersembunyi dibelakang cream. Kemudian punggung menyender santai di pinggiran meja. Menghadap Suga, tatapan jengah.
"Kenapa putus?"
"Cinta fisik itu munafik."
"Tau darimana?"
Gak ada jawaban, Suga mengalihkan pandangan. Hoseok mendekat, menepuk puncak kepala yang kini berambut hitam itu. Sedikit diacak, gemas.
Suga jelas risih, mengerutkan dahi tidak suka. Tatap Hoseok sengit seolah musuh, dibalas senyum pemuda rambut merah itu cerah sekali.
"Sok minta putus tapi dia galau sendiri."
"Diem,"
"Gak kemana-mana. Gue disini. Jimin dateng tadi, gak mau disusul?"
Iya, Suga gak salah dengar. Mata mengerjap kemudian bangun dari tempat duduk biasa, mata berpendar di seluruh penjuru cafe.
Masih sama, gak ada siapapun.
"Udah pulang, lima belas menit yang lalu. Katanya pemotretan."
"ㅡoh."
Satu kata yang kemudian menutup pembicaraan. Suga kikuk, lantas masuk kedalam ruangannya sendiri. Hoseok sedikit menahan tawa, geleng kepalanya sekilas.
Jangan tanya Hoseok soal isi hati Suga saat ini. Jangan tanya siapapun. Cukup Suga yang tau. Percaya, ada alasan konyol yang diyakini biru satu ini. Masih sayang?
;
"Hai?"
"...."
Jimin mengulum bibir bawahnya sendiri, sambungan di seberang sama sekali tidak ada jawaban. Memang diangkat, tapi pemiliknya diam.
Dikira suka?
"Suga, kamu biruku. Bukan bisu, jawab."
"Apa?"
Oh, segala beban yang tertahan di pundak rasanya hilang terbang bersamaan dengan suara rendah yang mengalun ketus di sambungan telepon.
"Gak, cuma panggil."
"Gak berguna."
"Iya, maaf."
"Tadi ke cafe?"
Kamera dipangkuan untungnya gak cium lantai mengingat Jimin saat ini terkekeh gemas. Perasaan bilang pasti ditanya, dan pikirannya benar. Lucu, sialan. Dia jatuh cinta.
"Iya, kenapa?"
"Cuma tanya."
Di seberang sana Suga mengetuk meja kerjanya sendiri dengan jari. Beberapa berkas tentang penjualan dibiarkan berserakan.
Suara Jimin terlalu manis. Aura jenaka dari seorang Jimin terasa segitunya, Suga kikuk. Entah harus reaksi apa, jelas kata selesai kemarin cukup disesali.
"Kenapa minta selesai?"
Ini yang Suga hindari. Seminggu, tujuh hari dan ratusan jam Suga sengaja gak memikirkan apapun. Berusaha dipenuhi soal penjualan dan tetek bengek masalah cafe. Menutupi segala pikiran tentang alasan putus.
Baru tadi dibilang bahkan, Suga bergumam cinta fisik itu munafik. Boleh jujur Suga saat ini labil, sekedar bilang selesai tanpa maksud yang jelas.
Jimin sabar, bukan berarti menerima.
"Jimin,"
"Ya?"
"Gak ada alasan apapun."
Di sisi Jimin saat ini hela nafasnya pelan, terdengar hembusan samar dari sambungan telepon. Suga menggigit bibir bawah, lalu menjauhkan handphone pada akhirnya.
Mati, dan alasan tepat belum ditemukan. Butuh Jimin, percuma. Penjilat itu sesuatu yang memalukan, sumpah mati.
Butuh Jimin. Iya.
;
"Jadi, sekarang galau?"
Kim Taehyung, pemuda teknik sekaligus desainer modelling yang saat ini menumpu dagu diatas kanvas.
Memperhatikan pemuda yang duduk diam memandang kanvasnya sendiri. Kosong bahkan, palet dengan cat warna hitam dan putih ditangan. Cukup terlihat bodoh sebagai seorang seniman.
"Galau itu apa,"
"Lo sekarang,"
"Gak galau,"
"Lalu?"
"Mau Suga."
Taehyung tahu betul perasaan seorang lelaki yang ingin seseorang sebagai pendamping. Apalagi dari setengah cerita yang disampaikan Jimin, sohib ini baru saja dapat kata-kata putus.
Perihal sama seperti Jungkook zaman menengah atas kemarin, diputus dan ditinggal tanpa alasan jelas.
"Sana cari, lo duduk diem disini ya dia mana ada."
"Datang kalau dia sayang."
"Lalu gak datang sekarang berarti dia gak sayang,"
Ah, menohok hati. Jimin memandang Taehyung miris sekaliㅡdatar sebenarnya, tapi mirip anjing terbuang. Kasihan tapi mirisnya masih berkelas, bukan merana.
Taehyung memutar bola matanya malas, merebut palet yang dipegang Jimin lalu diletakkan kasar diatas meja.
"Cari sekarang, lo batalin semua jadwal pemotretan karena masalah percintaan sama sekali gak membantu. Sumpah."
Jelas jengah, Jimin seenak jidat membatalkan segala aktivitas dan jalan ke forum lukis tempatnya mencari inspirasi lalu duduk melamun disini, memandang kanvas kosong nyaris gila.
Siapa yang kesal?
"Taehyung. Lo tau gue." Jimin meletakkan kuas yang dipegangnya tadi, mengambil jaket kulit yang biasa dipakai.
"Tau apa?"
"Pasti gue gak melakukan hal yang lo bilang."
"Lalu mau kemana sekarang?"
"Cari hatinya Suga."
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Hujan.
Malam minggu.
Ayam goreng.
Comfy bed.
Dan para manisku.
Perfect.
Selamat malam, pelengkap hari♡