"Jimin, ini apa?"
Kamera berada didepan mata menampilkan sebuah foto. Jimin terdiam memperhatikan, mug putihnya mengambang tidak jadi menyentuh bibir. Uap mocha hangat seolah mencium hidung.
Ah, hatinya sedikit mencelos. Rasa sakit hati terlihat. Jimin beralih mengedikkan bahu lalu sedikit menjauhkan wajah, meletakkan mug dan duduk lagi.
"Menurutmu apa, biru?"
"Fotoㅡoke, tapi diambil kapan?"
"Seminggu sebelum natal. Desember kemarin."
Suga mengernyit, kamera Jimin diletakkan kembali diatas meja. Jimin melirik, tapi tidak bereaksi. Datar sekali, asik memandang pemandangan malam.
Seperti biasa menghabiskan waktu disini. Dan Suga melipat tangannya diatas meja, poni birunya disibak kesamping. Tatapan matanya serius, Jimin bahkan gak berkutik dari keadaan memandang kaca.
"Bisa perjelas?" Pertanyaan Suga serius, bahkan Suga menatap sedikit tajam. Tau Suga tidak suka hal tersembunyi? Padahal dirinya suka sembunyi perasaan, kan egois.
Tapi beda konteks,
"Jelasin apa?" Jimin ambil batang kedua rokoknya, mata beralih tatap.
"Kenapa? Kalo waktu itu memang ada kenapa gak datang?"
"Sibuk sih, kamunya."
Jimin jepit rokok diujung bibir, menyalakan dengan pematik. Dagu ditumpu tangan, tersenyum tipis.
"Memang inget aku, waktu itu?"
Pertanyaan menohok, Suga mengetuk jari diatas meja. Wajah mendekat, Jimin menghembuskan asap iseng. Birunya menghindar, menatap kearah lain.
"Kan? Mana bisa jawab."
"Jangan negatif, Jimin."
"Positif, selalu positif soal kamu, Suga."
Suga menghela nafas, mengusap tangannya sendiri yang mendingin. Entah, kalau diceritakan, ya foto yang diributkan mereka cuma sekedar foto samar dua orang yang berjalan berdua.
Dengan rambut biru salah satunya, dirangkul seseorang yang lain. Berjalan membelah jalanan malam setelah keluar dari cafe.
Chapter orang asing, ketika ada kehadiran cinta pertama.
Jimin terlalu berkelas dibilang sebagai penguntit, mengelak dalam hati. Tapi Suga bahkan byaris berpikir begitu sebelum Jimin celetuk sambil jepit rokok di pinggiran asbak hitam diatas meja.
"Salah besar kamu pikir aku penguntit, gak ada urusan soal itu."
Jimin minum mocha dari mug putihnya lagi. Masih menatap birunya yang memandang kaca. Ganti posisi ya rasanya, bau-bau masalah baru berawal dari Jimin.
Sebenarnya, Suga gak masalah soal foto.
Masalah hanya sekedar keberadaan Jimin yang ternyata ada saat itu, tapi sama sekali gak muncul didepannya. Siapa yang suka?
Suga mendengus, rasanya mau beranjak tapi ya malas. Pikiran bahkan fokus dengan kata-kata Jimin Pembohong yang tertahan di tenggorokan.
"Jangan diem, marah?" Tangan Jimin terulur memegang lembut tangan Suga, sayang ditepis halus. Suga melipat kembali tangannya sendiri diatas meja.
Jimin diam, menjauh tangannya lagi lalu angguk sekilas kepalanya, "Oke, biruku marah."
"Pendusta."