Setiap kali menyambut pagi, diam merenung adalah kegiatan pertama. Bukan beranjak ke toilet ataupun membuat kopi, merenung sudah jadi teman. Apalagi ketika otak tidak memproses apapun, hanya membiarkan sinar matahari pagi menyentuh kulit untuk vitamin.
Terdengar biasa saja, dan rutinitas itu Jimin jalani nyaris separuh hidup. Membiarkan tidak ada yang berubah, dan bertahan di zona nyaman.
Lingkaran pertemanan Jimin itu luas, pribadi terbuka mampu membuat Jimin punya nama sebagai seorang fotografer freelancer untuk beberapa project terkenal. Kesetiaannya pada seni hening digambarkan dari gerak ataupun raut wajah model adalah kegemaran,
Tapi berbeda urusan, jika seni yang dimaksud adalah seorang Suga.
Pemuda yang awalnya membuat tertarik karena rambut biru mencolok ditengah kerumunan warga kota, raut wajah datar yang menyimpan banyak rahasia, dan aroma kopi menarik hingga membuat Jimin takluk.
Takluk pada pesona seorang Suga.
Ah, memikirkannya saja membuat lengkungan tipis di bibir Jimin terbentuk, mata mengikuti dengan pandangan tersenyum pada matahari pagi.
Kembali pada keadaan dan beranjak bangun sambil memasang celana kolor sembarang, membiarkan diri telanjang dada berjalan menuju pintu keluar, dan aroma pertama yang menyambut adalah harum kopi.
"Rajin sekali," celetuk Jimin sambil menguap lebar nyaris mengacak rambut belakangnya kusut, memperhatikan seseorang yang berdiri rapi dengan campuran kopi diaduk rata diatas meja.
"Selamat pagi, Jimin."
Suara rendah menenangkan hati lagi, tau Jimin tersenyum saking lebar nyaris merobek wajah? Tangan melipat di depan dada terlihat seperti papa bangga dengan gaya ala kakek penuh perhatian.
"Selamat pagi, panggil akunya sayang. Jangan Jimin, bosan."
"Bahkan dalam satu hari ada ratusan orang panggil namamu, bodoh."
"Iya kan beda lagi. Kamu kan beda, Suga."
Suga namanya, memutar bola mata malas sekalian mendorong cangkir kopi kearah Jimin.
"Beda gak beda aku masih manusia,"
Jimin mencebik, menggeleng tidak setuju. Terlihat konyol, seorang pemuda sok serius dengan celana kolor hitam garis biru sepaha atas plus telanjang dada, bonus jika dibayangkan tapi mengerikan jika didepan mata, plis.
"Bukan, bukan manusia." Jari telunjuk bergerak kanan ke kiri, geleng sekilas tidak setuju.
Suga tatapannya masih datar, "Lalu? Monster?"
Jimin tersenyum nyaris puas seolah kakek menantikan cucunya tidak sabar untuk mendengarkan dongeng zaman dahuluㅡa proud grandpa.
"Pendampingku seumur hidup, kan manusia itu jackpotnya. Parasnya semenawan kamu bonusnya, terus cintamu jadi hadiah utamanya,"
Tawa ditahan nyaris tersedak kopi yang di sruput halus, Jimin terkekeh melihat reaksi didepannya, "Aku salah?"
"Jorok, Jimin setan. Gak lucu,"
"Ya, gak lucu tapi cincinnya rapi sekali di jari manis."
Ah, mau tutup jari manis kiri yang dihias lingkaran perak berkilau karena sinar matahari juga terlambat, Suga reflek memerah, mengalihkan pandangan sambil meminum kopinya lagi.