"Kehujanan terus. Gak bosan?"
Komentar jengah dari Suga, Jimin yang ada didepan pintu cafe cuma pasang cengiran bocahnya seperti biasa.
"Hehe, hujan ditaman."
"Ngapain lagi disana?"
"Gambar," Jimin angkat sedikit tas selempang hitamnya,
"Perlu mocha hangat?"
"Ya, kamu yang antar."
"Gak, sibuk."
Omongannya sibuk, tapi handuk kecil putih dilempar kearah Jimin. Reflek ditangkap, Suga beralih balik badan melenggang pergi.
Jimin loading sebentar, lalu senyumnya merekah sambil tutup kepalanya dengan handuk kecil ditangannya tadi.
;
"Sepi daritadi?"
"Ada beberapa tadi, mungkin karena hujan,"
"Padahal disini yang hangat banyak juga. Penyejuk mata apalagi,"
Suga mengernyit, sementara Jimin santai sruput mocha lattenya. Kepala masih ditutup handuk kecil, bahkan baju kaos hitamnya sedikit lagi kering, basahnya gak terlihat.
"Penyejuk mata apanya?"
"Interior cafenya, waitressnya. Terus bosnya juga,"
"Gombal picisan."
"Yah, aku serius."
"Ya, bilang biru sekali lagi aku bogem,"
"Biru yang manis?"
Jimin reflek ketawa karena ekspresi Suga yang berubah semakin aneh. Mengernyit seolah tidak suka, tapi entah dimata Jimin itu lucu. Kalo rasa suka memang buta, ya Jimin buktinya.
"Stres kena hujan?"
"Mungkin, gambarku luntur. Stres,"
"Sok stres, bocah."
Jimin bergumam sekilas, "Siapa yang bocah?"
Tangannya bergerak acak rambutnya sendiri dengan handuk putih dikepalanya. Suga terdiam sebentar, "Umurmu berapa?"
"Dua puluh dua."
"Oh, bener bocah."
Jimin menegakkan posisi duduknya, wajah ditangkup handuknya sendiri. Sedikit raut muka kaget, "Aku bocah? Kamu?"
"Lebih tua dua tahun dari Jimin."
;
"Dasar tua."
"Tua produktif,"
Jimin mendecih, menyalakan rokok yang dijepit ujung bibirnya dengan pematik seperti biasa. Asap rokoknya dihembuskan santai, Suga disini memperhatikan tanpa sadar.
"Merokok sejak kapan?"
Pertanyaan duluan, Jimin merobek kertas gambar dari bukunya perlahan. Rokoknya dijepit dikedua jarinya. Asapnya sedikit mengganggu, tapi Suga tau batas.
"Menengah atas? Ketergantungannya setelah masa kuliah,"
Suga berdecak, "Ketergantungan berat?"
"Ya, kata orang."
Jimin senyum tipis sambil meletakkan kertas gambar diatas meja dan sebuah pensil. Lalu beralih tatap manusia didepannya setelah kegiatannya itu rampung, tinggal gambar.
Rambut hitamnya setengah kering, dan Suga sedikit bangun dari duduknya, poni hitam Jimin disibak kesamping sedikit belah tengah.
"Jimin,"
"Iya kenapa?" Jimin masih menunduk, tangannya bergerak serius menggoreskan sesuatu diatas kertas gambar.
"Potong rambutnya, terlalu panjang. Nanti risih,"
"Maunya begitu, tapi tunggu ditraktir ke barber."
Suga terkekeh pelan, "Siapa yang mau traktir?"
"Ada, Suga rajin potong rambut?"
Suga memperhatikan Jimin yang masih berujar tanpa menatap, pandangan jelas fokus kearah gambaran diatas meja. Dan sedikit mengangguk jadi jawaban,
"Ya, rambut panjang risih."
"Rajinnya, nanti traktir ke barber juga dong?"
Percakapan ringan dan mengundang tawa dari kedua belah pihak, gambaran Jimin setengah jadi. Suga beralih ambil kertas gambar yang diletakkan empunya, diperhatikan sedikit lama.
"Bunga? Biru pula warnanya,"
"Ya, ayo pacaran."
Gamblang, tapi Jimin sukses berbicara lancar tanpa hambatan. Suga bungkam beneran, tapi senyum kecilnya terbentuk.
"Pacaran? Jimin sama Suga?" Kertas gambar diletakkan lagi diatas meja, Suga beralih tatap manusia didepannya dengan tangan menumpu dagu,
"Iya, mau?" Jimin menjetikkan abu rokok di asbak hitam cafe,
"Oke,"
"Diterima?"
Suga tiup poni birunya santai, "Halo, pacar baru."
Jimin reflek terkekeh, telinganya memerah panas. Matanya menyipit jadi hilang karena tertawa. Iya, Jimin baru saja bahagia.
"Sialan, manis sekali ya kamu,"
"Jangan gombal picisan. Aku belum sayang sama kamu,"
"Iya ngerti. Rasa sayangnya nyusul ya, Suga."
"Siap, Jimin?"
Hari ini dari balik kaca cafe yang berembun dingin, ada dua manusia yang baru saja membangun hubungan dari arti gambar bunga berwarna biru.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Mark the date!
Akhirnya ya jim, lo ga jombs lagi.
Hore w ditinggal jombs sendiri. Hhh.Officially dating, dan rasa sayang nyusul ya ihik ㅋㅋㅋㅋㅋㅋ
Gimana? Ampuni saya ya boz :')